Belanja Seragam Gratis Lebih Mahal dari Biaya Siswa Miskin

Foto: ilustrasi

Keterlambatan Picu Public Distrust Semakin Tinggi
Dindik Jatim, Bhirawa
Belanja seragam gratis SMA/SMK negeri se-Jatim menghabiskan anggaran sebesar Rp 61,7 miliar. Kendati sudah tidak terlalu dibutuhkan masyarakat, ongkos yang dikeluarkan dari program tersebut nyatanya jauh lebih tinggi dibanding alokasi anggaran Bantuan Khusus Siswa Miskin (BKSM) tahun ini, sebesar Rp 41 miliar.
Jika dihitung anggaran BKSM yang dialokasikan untuk 52.690 siswa. Setiap siswa tidak mampu mendapat subsidi biaya pendidikan sebesar Rp780 ribu per tahun. Maka, anggaran seragam gratis Rp 61,7 miliar itu setara dengan bantuan siswa miskin untuk 79.142 peserta didik. Sementara di lapangan, sekolah khususnya swasta, harus mengatur sendiri beban siswa tidak mampu yang mereka tampung.
Kepala SMA Dr Soetomo I Nengah Sudiana menuturkan pihak sekolah setiap tahun memberikan jatah khusus untuk siswa tidak mampu. Siswa tidak mampu tersebut mendapat fasilitas biaya SPP gratis senilai Rp 400 ribu per bulan. “Tahun ini kita baru menerima tiga siswa. Tapi masih dalam proses pendataan lagi. Tahun lalu ada enam siswa dan yang kelas XII ada empat siswa,” ungkap Nengah dikonfirmasi kemarin, Senin (17/7).
Menurut dia, biaya untuk seluruh siswa tidak mampu murni menjadi tanggungan sekolah. Pihaknya melakukan subsidi silang untuk membantu siswa dari keluarga tidak mampu. “Dari dulu kita selalu memberi tempat khusus bagi siswa tidak mampu,” tandasnya.
Disinggung terkait bantuan untuk siswa miskin yang dialokasikan menggunakan APBD Jatim, Nengah mengaku tidak mengerti banyak. Informasi tersebut, kata dia, belum ada sosialisasi hingga saat ini. “Mungkin hanya untuk sekolah negeri,” tutur dia.
Sementara itu, Kepala SMKN 2 Surabaya Djoko Priatmodjo menuturkan tahun ini pihaknya menerima 52 siswa tidak mampu. Jika ditotal, terdapat sekitar 200 siswa tidak mampu yang ada di sekolahnya. Mereka terbagi mulai kelas X, XI dan XII. Sejumlah siswa tidak mampu tersebut mendapat keringanan tidak membayar SPP. “Kecuali yang sudah memegang KIP (Kartu Indonesia Pintar). Mereka tetap membayar jika sudah ada pencairan dari pemerintah pusat,” kata dia.
Sementara untuk BKSM yang dialokasikan dari APBD Jatim, hingga kini pihaknya tidak tahu kapan akan direalisasikan. Otomatis, kata dia, beban siswa miskin di luar penerima KIP masih ditanggung oleh sekolah melalui subsidi silang.
Pakar kebijakan publik Universitas Airlangga (Unair) Gitadi Tegas mengaku, ada benarnya jika anggaran itu menjadi mubazir. Sebab, orangtua telah membeli seragam sendiri. Meski pun toh seragam itu nantinya masih bisa dipakai karena merupakan barang tidak habis pakai.
“Anggaran sebesar itu hanya untuk seragam sayang sekali. Karena, jika menggunakan hitung-hitungan bantuan siswa miskin, mampu membantu operasional pendidikan sepertiga dari jumlah siswa baru tahun ini,” ungkap Gitadi.
Apalagi, lanjut dia, bantuan itu disalurkan untuk warga yang tidak mampu.
Gitadi menilai, ada dua faktor yang menjadi kemungkinan lambatnya program tersebut direalisasikan. Pertama, kinerja dari birokrasi sangat rendah. Kalau birokrasi di Dindik Jatim ini cerdas dan memiliki analisis yang kuat, semestinya perencanaan sejak awal sudah matang. Termasuk kapan jadwal tahun ajaran baru dimulai.

Tags: