Belasan Korban Erupsi Semeru Mengungsi di Rumah Sopir Truk Malasan Kulon Kabupaten Probolinggo

Korban erupsi Semeru yang mengungsi di rumah sopir truk Malasan Kulon.[wiwit aguspribadi/bhirawa]

Pemkab.Probolinggo, Bhirawa
Belasan korban erupsi gunung Semeru Lumajang, mengungsi ke Desa Malasan Kulon, Kecamatan Leces, Kabupaten Probolinggo. Sejak Minggu (5/12), mereka tinggal di rumah Sugianto, sopir truk pasir Lumajang. Dengan keterbatasan tempat dan fasilitas, mereka pun tidur dan istirahat di lantai.

Para korban bencana erupsi Semeru itu, tumpukan pakaian terlihat di ruang tengah rumah Sugianto. Sementara belasan pengungsi itu berkumpul di ruang tamu dan ruang tengah. Setidaknya, ada 12 jiwa yang mengungsi di rumah Sugianto. Empat di antaranya masih anak-anak.

Sugianto, Kamis (9/12) mengatakan, dirinya adalah sopir truk yang biasa mengangkut pasir Lumajang. Biasanya, dia mengambil pasir di depan rumah Gupat, 75, warga Kampung Renteng, Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro, Lumajang.

Saat erupsi Semeru terjadi pada Sabtu (4/12) sore, truk Sugianto baru selesai diisi pasir. Saat itu sekitar pukul 15.00. Dia pun keluar dari Candipuro, dalam perjalanan pulang. Baru sampai jalan raya, terdengar kabar ada erupsi Semeru.

“Untungnya saya sudah keluar dari kampung Renteng. Kalau masih di sana, bisa jadi truk dan saya tertimbun abu erupsi Semeru,” katanya.

Begitu mendengar Semeru sedang erupsi, sore itu juga Sugianto langsung menelepon keluarga Gupat. Namun, telepon tidak terhubung. Lewat tengah malam sekitar pukul 01.00, baru telepon ke Gupat terhubung.

Sugianto pun mendapat kabar, rumah Gupat terkubur abu erupsi. Bahkan, tujuh keluarga Gupat hilang saat itu. Tiga di antaranya lantas ditemukan dalam kondisi meninggal. Sedangkan empat lainnya masih dalam pencarian.

“Karena rumah mereka terkubur abu erupsi, jadi saya ajak mereka mengungsi ke rumah. Karena, mereka sudah seperti keluarga bagi saya. Yang mengungsi ini ada delapan orang dewasa dan empat anak-anak. Ya mereka tinggal seadanya di rumah ini,” terangnya.

Gupat, yang ikut mengungsi di rumah Sugianto menceritakan, tidak ada firasat apapun atau peringatan bahwa Semeru akan erupsi. Sore itu saat erupsi, dia diminta keluar rumah dan dibonceng naik motor oleh anaknya, Semi.

Awalnya, ia mengungsi di rumah menantunya di Desa Kamar Kajang, Candipuro. Tapi, ternyata rumah menantunya juga terdampak erupsi. Akhirnya, dirinya bersama keluarga lainnya mengungsi di rumah Sugianto.

“Ada tujuh anggota keluarga yang hilang, tiga orang sudah ditemukan meninggal. Dua anak-anak (kakak adik) dan satu orang dewasa (paman korban),” paparnya.

Gupat mengaku bersyukur bisa selamat dari bencana erupsi tersebut. Erupsi itu menurutnya adalah yang paling parah dibanding yang sudah-sudah. Akibat erupsi itu, rumahnya habis tertimbun abu. Dirinya tidak tahu sampai kapan akan mengungsi.

“Butuh makan minum, tempat tidur, dan kebutuhan anak-anak,” harapnya.

Erupsi Semeru merupakan yang terbesar dari erupsi sebelumnya dan tidak ada peringatan diri akan adanya erupsi tersebut. Akibatnya banyak korban jiwa yang harus kehilangan keluarga dan harta bendanya. Ini sangatlah memilukan. Untuk itu kami sejeluarga akan tetap mengungsi hinga situasunya lebih baik lagi, tandasnya.

Dengan keadaan ini maka perkebunan yang ka miliki sudah tidak dapat ditanami lagi, desa kami bagaikan desa yang hilang tanpa penghuninya, sudah selamat sangatlah bersukur, kami hanya bisa berharap situasinya akan membaik dan tidak aka nada lagi erupsi maupun lahan panas dan lahan dingin, tabahnya.(Wap)

Tags: