Belasungkawa Guru “Syahid”

Seorang guru gugur setelah dianiaya muridnya di SMU Negeri Sampang (Madura). Segenap guru di kabupaten Sampang, mengenakan pita hitam tanda belasungkawa selama tujuh hari. Beberapa ulama ber-fatwa, bahwa guru (muda) itu, gugur sebagai “syahid.” Guru (honorer) Ahmad Budi Cahyono, gugur dalam perjalanan pulang setelah mengajar. Tragedi Sampang menjadi puncak kegelisahan kalangan ke-guru-an, karena ancaman fisik dan kriminalisasi semakin sering terjadi.
Kekerasan terhadap guru, bukan sekadar ancaman. Melainkan realita yang semakin kerap terjadi. Ironisnya, kekerasan terhadap guru disebabkan dendam dari dalam kelas. Tindakan guru di dalam kelas, anehnya, dirasakan sebagai kekerasan yang harus dibalas oleh murid. Sampai melibatkan wali murid. Tak jarang, guru dihadang, dan dihajar di tengah jalan. Pada kasus lain, guru dilaporkan ke Kepolisian, karena menghukum murid.
Maka kekerasan terhadap guru semakin komplet. Dianiaya sampai meninggal dunia. Sering pula di-kriminalisasi, berkait dengan pelaksanaan profesi di dalam kelas? Padahal, tidak mudah menjadi guru, terutama tingkat pendidikan dasar (SD dan SMTP) dan menengah (SMU dan sederajat). Selain wajib ber-ijazah setara sarjana, juga dituntut uji khusus ke-guru-an.
Tetapi syarat paling berat, adalah tuntutan sosial. Guru, wajib berlaku bagai “malaikat.” Bahkan akronim Jawa menyatakan, guru harus patut di-gugu lan di-tiru (dipercaya dan diteladani). Sebagai balasan ke-profesi-an, guru dianggap sebagai manusia paling mulia. Tuntutan sosial (paradigma masyarakat) itu pula yang diadopsi ke dalam undang-undang (UU) Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
UU Sisdiknas pada pasal 40 ayat (2), memapar tiga kewajiban guru. Pada huruf a, dinyatakan, “menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis.” Kewajiban tenaga pendidikan, dilanjutkan pada pasal 40 ayat(2) huruf c, dinyatakan, “memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.”
Tuntutan UU terhadap guru, juga terasa cukup berat. Pada pasal 42 ayat (1), dinyatakan, “Pendidik harus memiliki kualifikasi minimm dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.” Sedangkan tujuan pendidikan, bukan sekadar pintar matematika dan bahasa Inggris (intelectual quotient), melainkan meng-utama-kan pencerahan mental dan moralitas.
Tujuan pendidikan nasional, tertulis dalam UU Sisdiknas pada pasal 3. Dinyatakan, “bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Sehingga seluruhnya (asah kecerdasan otak, sampai moralitas) dibebankan kepada guru. Maka guru menjadi pilar utama kinerja kependidikan. Boleh jadi, sekolah tanpa gedung, dan tanpa kurikulum resmi. Tetapi mustahil, sekolah (dan model pendidikan lain) tanpa guru. Ironisnya, balasan yang diterima pendidik sering tidak se-hebat tuntutan profesi.Terutama upah untuk menopang kesejahteraan. Seperti guru Ahmad Budi Cahyono, yang gugur, honornya cuma Rp 300 ribu per-bulan!
Padahal UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, tidak sekadar membebani guru. Melainkan juga meng-amanat-kan hak memperoleh penghasilan dan jaminan kesejahteraan yang pantas dan memadai. Bahkan pada pasal 40 ayat (1) huruf d, dinyatakan berhak memperoleh”perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan intelektual.” Realitanya, hak-hak guru seringterabaikan.
Harus diakui, hingga kini, pemerintah (dan daerah) serta segenap masyarakat, masih “berhutang” pada guru. Bahkan “hutang” tidak akan pernah terbayar, manakala guru masih terancam peng-aniaya-an, dan kriminalisasi.

——— 000 ———

Rate this article!
Tags: