Pemprov, Bhirawa
Keluhan Gubernur Jatim Dr H Soekarwo mengenai kondisi bendungan di Jatim belum mendapat respon pemerintah pusat. Akibatnya, sebanyak 193 bendungan dalam kondisi kritis sehingga tak bisa maksimal berfungsi mencegah banjir saat musim penghujan, dan menjadi sumber utama pengairan saat musim kemarau.
“Saya sudah sampaikan ke Pak Presiden langsung. Bahkan sudah dua kali presentasi ke Menko Perekonomian, tapi hingga kini belum ada tanggapan. Jika dibiarkan terus bendungan di Jatim akan semakin rusak,” kata Gubernur Soekarwo, Senin (22/8).
Menurut dia, jumlah bendungan peninggalan Belanda di Jatim mencapai 425 bendungan. Dari jumlah ini, sebanyak 193 di antaranya dalam kondisi rusak sehingga perlu segera dilakukan proses perbaikan.
Pakde Karwo, sapaan akrab Gubernur Soekarwo, menilai memperbaiki bendungan merupakan opsi yang murah dibandingkan membangun bendungan baru. “Sudah saya hitung, untuk memperbaiki 193 bendungan hanya butuh sekitar Rp 325 miliar. Bandingkan jika membuat satu bendungan baru biayanya bisa triliunan rupiah,” ujarnya.
Mantan Sekdaprov Jatim ini berharap, perbaikan bendungan ini bisa menjadi fokus pemerintah pusat dan diharapkan bisa dianggarkan pada 2017 mendatang. “Kita terus dorong agar pemerintah pusat lebih mendahulukan perbaikan bendungan daripada membuat bendungan baru,” ungkapnya.
Sementara itu, untuk mengatasi minimnya jumlah bendungan yang ada, Pemprov Jatim saat ini hanya bisa mengandalkan embung-embung kecil yang dibangun di berbagai wilayah. Sayangnya, embung ini tetap tidak bisa menjadi solusi jika hujan turun dengan cukup lebat.
“Banjir yang terjadi di Trenggalek kemarin merupakan contoh bagaimana air dengan cepat meluap karena tidak adanya bendungan. Makanya khusus Trenggalek, pemprov juga mengusulkan adanya pembuatan pintu-pintu air baru sehingga air tak cepat mengalir dan meluap,” ujar Pakde Karwo.
Selain itu, terowongan Niyama bikinan Belanda yang ada di Tulungagung juga akan dibersihkan, sehingga aliran air dari sunga-sungai yang ada di Tulungagung dan Trenggalek bisa cepat masuk ke laut sehingga tak sampai menimbulkan banjir di daratan.
Direktur Jenderal Sumberdaya Air (SDA) Kementerian PU dan Perumahan Rakyat Mudjiadi membeberkan separo lebih bendungan di Indonesia mengalami sedimentasi atau pendangkalan akibat endapan lumpur, sehingga membuat bendungan tersebut berada dalam kondisi kritis. Saat ini ada sedikitnya 98 bendungan yang tersebar di seluruh Indonesia mengalami sedimentasi cukup parah sehingga kondisinya kritis.
“Jumlah bendungan yang sudah mengalami pendangkalan ada sekitar 98 bendungan atau lebih dari separo bendungan yang dikelola Kementerian PUPR. Khusus di Jatim ada 20 bendungan yang kondisinya sangat kritis,” ujar Mudjiadi.
Menurut dia, jumlah bendungan yang dikelola Kementerian PUPR menurut kriteria Permen PUPR No 27/PRT/M/2015 ada 178 bendungan. Dari jumlah itu, sebanyak 55 persen dalam kondisi kritis. Selain dikelola Kementerian PUPR, ada pula bendungan-bendungan yang dikelola oleh pihak lain seperti bendungan yang dikelola oleh PT Indonesia Power juga mengalami pendangkalan.
Penyebabnya karena kondisi alami, hingga berbagai faktor yang diakibatkan oleh tangan manusia yang tak bertanggung jawab merusak lingkungan, sehingga membuat proses pendangkalan terjadi lebih cepat dari seharusnya.
Dari kacamata teknik, bendungan didesain memilki usia layanan yakni 30-50 tahun. Secara alami, bendungan tersebut akan mati setelah masa layanannya habis. “Usia layanan bendungan rata-rata adalah 30-50 tahun,” jelasnya. [iib]
Bendungan Kritis di Jatim
Nama Dibangun
Bendungan Karangkates/Sutami 1973
Bendungan Sampean Baru 1984
Bendungan Bening/Widas 1984
Bendungan Pacal 1933
Bendungan Tlogo Ngebel 1930
Bendungan Prijetan 1916
Bendungan Klampis 1976
Bendungan Kedung Bendo 1948
Bendungan Telaga Pasir/Sarangan 1931
Bendungan Dawuhan 1962
Bendungan Notopuro 1941
Bendungan Saradan 1935
Bendungan Sumberkepuh 1939
Bendungan Kedung Sengon 1978
Bendungan Lahor 1975
Bendungan Seloreho 1970
Bendungan Wlingi 1977
Bendungan Sengguruh 1988
Bendungan Pondok 1995
Bendungan Gondang 1986
Sumber: Kementerian PUPR