BEM Nusantara Protes Kebijakan Impor Garam

Para anggota Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang bergabung di dalam organisasi BEM Nusantara mendatangi DPRD Jatim, Senin (15/7) kemarin. [Gegeh Bagus Setiadi]

DPRD Jatim, Bhirawa
Puluhan anggota Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari berbagai perguruan tinggi di Jatim mendatangi DPRD Jatim, Senin (15/7) kemarin. Mereka menuntut pemerintah dapat membatalkan kebijakan impor garam yang kini mencapai 2,7 juta ton.
Dalam aksi ini, puluhan Mahasiswa tersebut langsung diterima oleh anggota komisi B bidang perekonomian DPRD Jatim, Zainul Lutfi di ruang Banmus.
Koordinator Nusantara Pulau Jawa BEM Nusantara, Cahya Nugraha menjelaskan bahwa kebijakan impor tersebut menyebabkan penyerapan garam produsen lokal berkurang. “Impor garam berdampak pada matinya produksi garam lokal di daerah-daerah penghasil garam,” katanya.
Pihaknya juga menilai bahwa kebijakan impor garam hanya menjawab permasalahan pelaku industri, namun merugikan penambak garam. Sehingga, hal ini sekaligus menggeser profesi masyarakat pesisir yang biasanya menjadi penambak garam yang kini semakin sedikit. “Mereka bersikap realistis karena tidak adanya kepastian penyerapan hasil produksi mereka,” jelasnya.
Oleh karenanya, lanjut dia, selain menuntut pembatalan impor garam, mahasiswa juga berharap pemerintah dapat meningkatkan kualitas produksi garam lokal sekaligus menetapkan harga penjualan pokok (HPP) garam. “Saat ini, harga garam anjlok mencapai Rp300 perkilonya. Kasihan para petani garam,” ujarnya.
Perwakilan mahasiswa pun diterima langsung oleh Anggota DPRD Jatim, Zainul Lutfi. Lutfi pada penjelasannya menerima aspirasi dari mahasiswa tersebut dan akan meneruskan ke jajaran pemerintah terkait.
Lutfi menjelaskan bahwa masalah impor garam selalu terjadi tiap tahun. Sebab, hingga saat ini belum ada solusi konkret untuk meningkatkan kuantitas maupun kualitas garam lokal. “Mau tidak mau, dampak masalah impor akan berhubungan langsung untuk masyarakat. Potensinya, 5-10 tahun akan begini terus,” katanya.
Lutfi juga akan memastikan data yang digunakan sebagai dasar impor tersebut. “Konstruksi program seharusnya berbasis data. Kalau data salah, maka programnya pun salah. Untuk itu, data tersebut perlu dipastikan,” kata Anggota Komisi B DPRD Jatim tersebut.
Data yang dimaksud Lutfi adalah defisit garam industri yang mencapai 2,7 juta ton. Dari kebutuhan 3,8 juta ton pertahun, produksi garam lokal disebut baru mencapai 1,1-1,2 juta ton. “Sebab, garam industri (dari impor) itu seringkali luber ke pasaran. Sehingga, bukan sekadar data BPS (Badan Pusat Statistik), namun harus ada data pendamping. Misalnya, data dari kampus,” katanya.
Selain itu, pemerintah juga harus menyiapkan solusi konkret untuk meningkatkan kualitas garam agar memiliki kualitas setara dengan garam luar. “Peran pemerintah kedepan ada dua. Dalam jangka panjang, harus ada pembinaan agar kualitas garam bisa masuk industri. Jangka pendeknya, pemerintah harus bisa membuat harga stabil kembali,” kata politisi PAN ini.
Untuk diketahui, tahun ini pemerintah memutuskan mengimpor 2,7 juta ton garam untuk kebutuhan industri. Impor sebanyak itu dilakukan pemerintah untuk mencukupi kebutuhan garam nasional yang mencapai 3,8 juta ton. Impor tersebut cenderung meningkat dibanding tahun sebelumnya, yang mana, pada 2017 mencapai 2,55 juta ton. Kemudian, impor pada 2018 naik menjadi sebesar 2,72 juta ton dan 2,72 juta pada 2019. [geh]

Tags: