Benang Kusut Dana Desa dan Kesejahteraan Rakyat Desa

Oleh :
Abdus Salam
Direktur Kedai Jambu Institute

Jika warga tidak berdaulat, partisipasi hanya menjadi dagangan elit demi melanggengkan kekuasaan,

Apa yang kita bayangkan saat penetapan UU Desa pada tahun 2014 lalu oleh SBY. Desa mandiri dan berdaualat yang bisa mengatur dan mengelola secara leluasa mengenai Desa sesuai dengan budaya dan potensi yang dimiliki masing-masing desa.

Harapannya, desa mampu menjadi pendulum perubahan yang bergerak lebih cepat untuk memenuhi kebutuhan warganya. Desa lebih kuat secara ekonomi bahkan yang berkaitan dengan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) tidak hanya mengandalkan kucuran dana dari kementerian sosial melalui PKH dan aneka ragam program nasional yang lain.

Kedaulatan desa, kemandirian desa tentu tidak hanya berputar dilingkaran elit desa. Sementara warga desa sebagai target kesejahteraan berjalan ditempat. Perubahan yang terjadi masih dalam area lingkaran elit. Masyarakat desa tidak sepenuhnya menjadi subyek pembangunan yang sejatinya mampu meraih kemakmuran, kemandirian dan kesejahteraan yang selama ini diidamkan.

Lantas apa yang berubah dan perubahan apa yang bisa kita lihat dengan kucuran dana desa yang fantastis ke desa. Jika kita lihat, dana yang mengalir ke desa dari tahun 2015-2021 mencapai 400,1 triliun. Jokowi menegaskan dan memerintahkan kepada pemda agar berhati-hati dalam pengelolaan dana desa sebagaimana dilansir oleh media www.cnnindonesia.com(20//12/21).

Bahkan pada tahun 2022 kucuran dana desa sebesar Rp.68 Triliun sebagaimana disampaikan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) Abdul Halim Iskandar (12/7/22)

Perbaikan infrastruktur, pembangunan pelayanan masyarakat seperti posyandu, Polindes irigasi desa, waduk dan bendungan dianggap obat mujarab bagi pemerintah untuk menggapai kesejahteraan. Sementara permasalahan masyarakat amat kompleks. Petani tak hanya bergelut dengan sosal bibit, irigasi, bendungan dan berbagai tetek bengik lainya. Yang dihadapi petani sangat kompleks, dari hulu sampai hilir tentunya juga menjadi perhatian pemerintah.

Logika dan pendekatan konvensional dijadikan metode efektif yang digunakan oleh negara. Asumsinya, jika irigasi desa, bendungan dan waduk sudah dibangun akan berkelindan terhadap kesejahteraan petani. Faktanya, tak semudah apa yang dibayangkan oleh pengambil kebijakan yang tidak kontekstual dan ahistoris dengan realitas sosial yang terjadi di lapangan

Produktifitas petani dengan hasil paninnya seringkali tidak berbanding lurus dengan pendapatan petani. Petani berdaya dan sejahtera hanya menjadi bualan politik elit negeri ini. Faktanya petani tetap saja miskin dan tidak kuasa bangkit dari dera deritanya.

Perjalanan panjang semenjak disahkan UU Desa dengan dana 468,1 triliyun terhitung mulai tahun 2015-2022 bukan dana sedikit yang menguras dana APBN. Jika kita asumsikan masing-masing desa akan mendapatkan minimal 700 juta yang mengalir ke desa setiap tahun. Apa yang berubah dengan jumlah dana yang begitu fantastis?kesejahteraan dan kemandirian warga atau kesejahteraan perangkat desa.

Pegiat pembangunan desa tentu sudah masyhur dengan buku Desa Membangun Indonesia. Buku setebal 124 halaman yang terbit tahun 2014 menjadi roadmap agar kedaulatan dan kemandirian desa tak sekadar bising dalam ruang diskursus semu yang tak berkesudahan.

Desa selama ini dinilai obyek pembangunan oleh pemerintah untuk menjalankan program pemerintah. Desa tidak memiliki kedaulatan dan kewenangan dalam menjalankan roda pemerintahan yang ada di desa. Bahkan dalam bahasa yang ekstrem Sutoro dkk menilai bahwa proyek atau program yang masuk ke desa dinilai mengimposisi atau hanya menjadi beban dan mengganggu otoritas desa.

Partisipasi masyarakat digerakkan oleh Bantuan Langsung Masyarkat (BLM) bukan berangkat dari kesadaran untuk memajukan desa. PNPM diibaratkan membangun rumah di atas pasir yang rapuh tidak kokoh dan mudah ambruk.

Pendekatan yang dilakukan selama ini bertumpu pada Money Driven Development. Pembangunan yang mengunakan pendekatan Community Driven Development (CDD), Market Driven Development atau State Driven Development justru merugikan desa dan membuat masyarakat tergantung dan manja. Alternatifnya pembangunan harus menggunakan pendekatan pembangunan dengan model Village Driven Development.(VDD)

Tentu pembangunan dengan menggunakan VDD ini menjadi media dan ruang partisipasi masyarakat dan pemerintah desa berkelindan dengan kesejahteraan desa. Warga desa bergerak dan berhimpun atas kesadaran berdesa dan memajukan desa. Bukan lantaran ada uang atau BLM sebagaimana yang diasumsikan sutoro Eko dkk.

Sepintas pendekatan VDD secara regulatif tentu patut diapresiasi. Bagaimana desa berdaulat secara kelembagaan. Bukan justru VDD melahirkan raja-raja kecil yang oligarkis dan hipokrit. RPJM Desa dan RKP desa hanya menjadi syarat formalitas yang seringkali abai terhadap kebutuhan dan permasalahan warga desa. Dan pada gilirannya perencanaan desa hanya sebatas selebrasi yang tidak menyentuh akar persoalan yang ada di desa

Sejatinya kedaulatan desa harus dibarengi dengan peningkatan kapasitas perangkat desa dan warga desa. Hal ini penting agar pendekatan VDD tidak hanya menjadi alternative pengganti CDD yang pada gilirannya tidak berimplikasi apa-apa terhadap kesejahteraan dan kemajuan desa

Kemajuan desa, kemakmuran desa dan kesejahteraan desa seolah menjadi tagline dan slogan politik elit jika tidak dibarengi dengan peningkatan kapasitas perangkat desa. Alih-alih akan memajukan dan meningkatkan kapasitas masyarakat desa, justru perangkat desa gagap dengan setumpuk regulasi desa sebagai landasan normatif dalam menjalankan pemerintahan desa.

Kesejahteraan masyarakat desa sulit digapai jika pendekatan yang dilakukan masih menggunakan charity, bersifat amal, bantuan sementara yang bersifat jangka pendek. Paradigma pembangunan selalu terjerembab dalam lingkaran ekonomi semata. Sementara pembangunan yang bertumpu pada pembangunan manusia dinilai tidak efektif dan menghabiskan anggaran saja.

———- *** ———-

Tags: