Benang Kusut E-KTP dalam Pilkada

Oleh:
Ani Sri Rahayu
Pengajar Civic Hukum (PPKn) Univ. Muhammadiyah Malang

Persoalan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) yang menjadi dasar untuk menetapkan daftar pemilih di Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2018 masih menjadi masalah di sejumlah wilayah Indonesia. Padahal, seperti yang kita ketahui bersama hari pemilihan kepala daerah (pilkada) yang dilaksanakan serentak pada Juni 2018 pada dasarnya ialah pilkada serentak ketiga setelah Pilkada serentak 2015 dan terakhir Pilkada serentak 2017. Bahkan, bisa kita simpulkan kalau Pilkada 2018 menjadi salah satu momentum politik elektoral paling krusial dan berbeda dari dua kali pilkada serentak sebelumnya dimana ada beberapa variabel yang sangat mungkin tidak ditemukan pada pilkada serentak sebelumnya.
Ada tiga hal yang menyebabkan Pilkada 2018 sangat krusial. Pertama, daerah yang menyelenggarakan;. Kedua, waktu penyelenggaraan. Ketiga, penyelenggara atau pihak-pihak yang bertanggung jawab, ada banyak hal yang telah menjadi pembelajaran, evaluasi, dan perbaikan. Artinya, dalam kacamata penyelenggara atau pihak-pihak yang bertanggung jawab, ada banyak hal yang telah menjadi pembelajaran, evaluasi, dan perbaikan.
Persoalan E-KTP
Saat ini yag sangat urgent jelang hari pencoblosan Pilkada Serentak 2018 yang tersisa dua bulan dari sekarang salah satunya adalah menyangkut jutaan warga yang terancam kehilangan hak pilihnya. Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengungkap data bahwa hingga kini masih ada 6.768.025 pemilih yang belum memiliki KTP elektronik (e-KTP). Mereka ini bagian dari 152,9 juta pemilih di 171 daerah yang masuk daftar pemilih sementara (DPS).
Rupanya tidak hanya itu, 6,7 juta pemilih tersebut juga belum mengantongi surat keterangan (suket) yang berfungsi sebagai pengganti e-KTP dan bisa dibawa ke TPS pada 27 Juni nanti. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) buru-buru mengklarifikasi pernyataan KPU dan menyebut bahwa jumlah pemilih yang belum memiliki e-KTP dan suket hanya 4,6 juta karena ada 2,1 juta pemilih pemula yang baru saja berusia 17 tahun. Sesuai dengan aturan Undang-Undang No 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, penduduk yang belum berusia 17 tahun memang belum di­perbolehkan me­miliki e-KTP.
Jumlah warga yang tak mengantongi e-KTP sebanyak 4,6 juta ini setara 2,6 persen dari seluruh penduduk Indonesia wajib KTP yang jumlahnya 185.249.711 jiwa. Dari segi persentase angka 2,6 persen memang kecil. Namun jika bicara data pemilih itu tidak melulu soal besar kecilnya angka. Satu suara pun sangat berarti karena itu menyangkut hak pilih warga yang dijamin konstitusi. Sangat disayangkan jika banyak warga yang kembali harus golput hanya karena terkendala syarat administrasi.
Artinya jika kembali terjadi, pemerintah menurut saya kurang belajar dari pengalaman di dua pilkada serentak sebelumnya, yakni pada 2015 dan 2017. Saat itu kasus warga yang kehilangan hak pilihnya karena tak mengantongi e-KTP sudah mencuat. Pemerintah sebenarnya memiliki waktu yang cukup panjang untuk menyelesaikan perekaman e-KTP ini.
Namun, sayang, persoalan ini harus berulang di pilkada serentak tahap ketiga ini. Melihat kondisi ini, Kemendagri tidak punya pilihan selain berpacu dengan waktu. Jumlah warga yang tidak mengantongi e-KTP hingga hari pencoblosan harus bisa ditekan seminimal mungkin. Dengan kata lain, harus ada upaya keras untuk mendorong warga melakukan perekaman data di sisa waktu yang ada.
Alternatif solusi
Masalah proyek e-KTP ini ibarat benang kusut yang tidak juga kunjung terurai. Untuk itu kerja sama semua pihak sangat diperlukan. Perlu ada komitmen bahwa kasus warga terancam kehilangan hak pilih di pilkada ini adalah yang terakhir. Diharapkan masalah e-KTP tidak lagi ditemui pada pelaksanaan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden (pileg dan pilpres) yang akan digelar pada April 2019.
Peringatan ini penting karena data pemilih akan jauh lebih sensitif jika itu menyangkut pelaksanaan pilpres. Berikut ini, beberapa langkah yang bisa ditawarkan penulis, guna menguarai pesoalan E-KTP jelang Pilkada yang tinggal dua bulan ini.
Pertama, langkah jemput bola. Artinya, pelayanan pembuatan e-KTP bisa dilakukan keliling di sekolah, kampus, perkantoran, pusat perbelanjaan hingga pesantren-pesantren dan desa perlu terus dilakukan. Selain itu, dengan diungkapnya data oleh KPU saat ini, Kemendagri seharusnya bisa lebih mudah melakukan perekaman karena bisa mengetahui lokasi keberadaan pemilih yang tidak memiliki e-KTP.
Kedua, menumbuhkan kesadaran bersama. Artinya, perlu menjadi kesadaran kita bersama bangsa bahwa upaya menyelamatkan suara pemilih di pilkada tentu bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Seluruh stakeholder pilkada, termasuk masyarakat, harus ikut mendukung. KPU di 514 kabupaten/kota dan 31 provinsi harus mendukung dengan cara menuntaskan verifikasi data secara digital untuk mengetahui apakah calon pemilih di daerahnya sudah memiliki e-KTP dan melakukan perekaman atau belum. KPU seyogianya memanfaatkan akses ke data kependudukan yang diberikan Kemendagri.
Ketiga, perlu ekstra pengawasan penduduk yang melakukan perekaman lebih dari satu kali akan terblokir dan tidak akan pernah diterbitkan KTP elektroniknya. Karena untuk menghindari itu diharapkan Dirjen Dukcapil Kemendagri dan KPU melakukan kerjasama akses data. Artinya, agar data penduduk yang diverifikasi kebenarannya oleh KPU dapat langsung mengakses ke server Kemendagri.
Keempat, perlu adanya Kemendagri bekerjasama dengan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) untuk melakukan pemetaan dan perekaman bagi Warga Negara Indonesia (WNI) yang bertempat tinggal di luar negeri yang akan di laksanakan di 131 kantor perwakilan RI secara bertahap. Sehingga seluruh WNI dapat terdata dan memiliki NIK dan juga terekam sidik jari untuk memastikan penunggalan data yang bersangkutan.
Selain keempat langkah diatas yang tidak kalah pentingnya adalah upaya kita bersama menguatkan keterlibatan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) selaku pengawas juga perlu terlibat dengan memperbanyak posko pelayanan. Ini juga akan sangat membantu calon pemilih yang belum melakukan perekaman. Terakhir, diperlukan kesadaran dari warga untuk proaktif mendatangi tempat-tempat pelayanan perekaman, baik yang ada di desa/kelurahan, tempat perbelanjaan, kantor kecamatan atau kantor dinas dukcapil.
Singkat kata upaya keras pemerintah seyogianya didukung warga dengan proaktif melaporkan dirinya jika belum terdata. Langkah ini tentu jauh lebih menyelesaikan masalah ketimbang ramai-ramai protes karena tak bisa mencoblos saat pemungutan suara digelar. Proyek e-KTP ini ibarat benang kusut yang tidak juga kunjung terurai. Untuk itu kerja sama semua pihak sangat diperlukan. Perlu menjadi kesadaran kita bersama bangsa bahwa upaya menyelamatkan suara pemilih di pilkada tentu bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Seluruh stakeholder pilkada, termasuk masyarakat, harus ikut mendukung.

———— *** ————

Rate this article!
Tags: