Bendera Terbalik dan Permintaan Maaf

Syaprin Zahidi

Oleh :
M. Syaprin Zahidi, M.A.
Dosen Pada Prodi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang
Insiden dicetak terbaliknya bendera Indonesia pada buku panduan Sea Games 2017 di Malaysia memantik perhatian serius dari masyarakat Indonesia. Apalagi Insiden tersebut diikuti dengan kesalahan yang sama pada salah satu Koran Malaysia yaitu Metro Ahad. Masyarakat Indonesia melalui media sosial banyak yang akhirnya mengecam tindakan Malaysia sebagai tuan rumah Sea Games dengan  Topik dalam tanda pagar (tagar) #ShameOnYouMalaysia.
Dalam hubungan antara negara-negara yang berdaulat didunia ini ada satu kebiasaan internasional yang telah diketahui dan diakui yaitu asas reciprocal (suatu tindakan yang dilakukan atas dasar timbal balik). Timbal balik yang dimaksud dalam konteks ini adalah saling menghormati kedaulatan masing-masing termasuk simbol negara masing-masing. Jika suatu negara melakukan suatu hal yang mencederai kedaulatan negara lain maka ada state responsibility (pertanggungjawaban negara) dari negara tersebut. Bentuk-bentuk pertanggungjawaban negara antara lain: Pelunasan, Perundingan Diplomatik, Pernyataan maaf secara resmi dari negara  yang bertanggungjawab dan Pembayaran ganti rugi.
Respon Malaysia sendiri sebagaimana kita ketahui bersama memang pada  akhirnya melalui Menteri Kepemudaan dan Olahraga Malaysia, Khairy Jamaluddin memohon maaf kepada Indonesia. Namun, apakah permohonan maaf saja cukup? Jawabannya jika ditinjau dari konteks pertanggungjawaban negara sebenarnya sudah cukup hanya saja yang menjadi masalah disini adalah yang melakukan kesalahan ini adalah Malaysia yang suka atau tidak memang dianggap oleh masyarakat kita sebagai biang masalah. Permintaan maaf tersebut juga jangan sampai hanya menjadi “lipstik” diplomatik Malaysia untuk menutupi kesalahannya yang sudah terlalu sering dilakukan kepada Indonesia.
Statement resmi dari Presiden kita menyebutkan bahwa beliau menunggu permintaan maaf secara resmi dari Pemerintah Malaysia dan meminta agar masalah ini tidak terlalu dibesar-besarkan. Dalam hal ini menurut penulis permintaan maaf itu harusnya datang dari Perdana Menteri Malaysia, bukan hanya dari Menteri Kepemudaan dan Olahraganya. Hal ini menjadi tolak ukur ketulusan Pemerintah Malaysia dalam meminta maaf kepada Pemerintah Indonesia.
Selain menuntut  permintaan maaf  harusnya Pemerintah Indonesia juga menuntut adanya tim independen yang mendalami insiden  ini agar dapat diketahui siapa oknum yang bersalah dalam insiden ini sehingga bisa ditindak atau dijatuhi sanksi. Walaupun dalam konteks ini kita juga sebagai negara yang beradab tentunya memberikan kewenangan itu kepada pemerintah Malaysia.
Insiden ini memang pada akhirnya membuat hubungan bilateral antara Indonesia dan Malaysia menjadi terganggu. Jika ditelusuri memang kita sering mengalami hubungan diplomatik yang pasang surut dengan negara tetangga kita ini. Tercatat ada beberapa kejadian yang menyebabkan pasang surut hubungan diplomatik kita dengan Malaysia diantaranya adalah Masalah TKI dan TKW yang diperlakukan kasar dan tidak dibayar sesuai dengan kesepakatan oleh Majikannya, Masalah Reog Ponorogo yang diakui sebagai warisan budaya Malaysia, Klaim Batik, Klaim Tempe, Klaim lagu rasa sayange, klaim angklung, Sengketa Sipadan dan Ligitan dan masih banyak lagi peristiwa-peristiwa lainnya yang memantik protes keras dari Indonesia.
Memang jika kaitannya dengan Malaysia apalagi setelah dimenangkannya sengketa Sipadan-Ligitan oleh Malaysia di Mahkamah Internasional memunculkan suatu rasa ketidakpuasan di level masyarakat Indonesia sehingga setiap isu sekecil apapun yang ada kaitannya dengan Malaysia pasti akan menjadi besar. Jika kita melihat sejarah memang bisa dikatakan konflik kita dengan Malaysia sudah di mulai dari era Presiden Soekarno, saat itu bahkan jargon “Ganyang Malaysia” menjadi jargon wajib. Ketidaksukaan Presiden Soekarno pada Malaysia malah sangat jelas terlihat ketika Indonesia pada tahun 1965 menarik diri dari keanggotaannya di PBB karena PBB menerima Malaysia menjadi anggota tidak tetap dewan keamanan PBB waktu itu.
Sindiran terhadap Malaysia pada akhirnya datang dari Wakil Ketua Komisi I DPR, Meutya Hafid yang secara tersirat menyindir Malaysia yang dianggap tidak becus sebagai tuan rumah Sea Games. Sebagai tuan rumah menurut Meutya harusnya Malaysia sudah melakukan persiapan yang komprehensif karena hajat Sea Games ini sebenarnya dengan kata lain merupakan hajat diplomasi olah raga dalam skala regional yang sangat besar sehingga menjadi wajib bagi siapapun tuan rumahnya untuk memverifikasi apa yang terucap, tertulis dan tergambar.Bisa dikatakan secara singkat  jika didasarkan pada pendapat Meutya maka Malaysia sebagai tuan rumah telah gagal dalam menerapkan tiga tahapan tersebut.
Hal yang menjadi penting pada akhirnya menurut penulis adalah Indonesia harus mengambil pelajaran dari kesalahan fatal Malaysia tersebut. Indonesia yang terpilih menjadi tuan rumah Asian Games 2018 tentunya harus benar-benar maksimal dalam menunjukkan kapasitasnya sebagai tuan rumah yang mampu menyambut semua negara peserta sesuai dengan standar yang layak dan tidak muncul kesalahan-kesalahan fundamental dalam penyambutan negara-negara peserta Asian Games tersebut. Kaitannya dengan Malaysia mudah-mudahan ini menjadi kesalahan terakhir Malaysia pada Indonesia dan tidak terulang lagi di masa datang.

                                                                                                               ————– *** ————–

Rate this article!
Tags: