Bentuk Riset Demi Selamat Apel Kota Batu

Kepala Balitjestro Kota Batu, Dr.Ir.Joko Susilo Utomo, melakukan penandatanganan peresmian Pusat Riset Pengembangan Apel UMM.

Kepala Balitjestro Kota Batu, Dr.Ir.Joko Susilo Utomo, melakukan penandatanganan peresmian Pusat Riset Pengembangan Apel UMM.

Kota Batu, Bhirawa
Malang Raya terutama Kota Batu terkenal dengan ikonnya sebagai penghasil apel berkualitas. Namun ironisnya, produksi maupun lahan apel di Kota Batu terus terkikis. Kondisi ini membuat para praktisi dan peneliti tanaman hortikultura menjadi prihatin. Merekapun membentuk Pusat Riset Pengembangan Apel untuk menyelamatkan Apel Malang/Batu dari merebaknya keberadaan apel impor di negeri ini.
Kepala Badan Penelitian Jeruk dan Buah Subtropika (Balitjestro) Kota Batu, Dr Ir Joko Susilo Utomo mengatakan, sebelum tahun 2000 produksi apel di Malang Raya, terutama Kota Batu dan Kabupaten Malang sangat melimpah. Bahkan apel telah menjadi maskot Kota Batu dan Malang.
“Di saat itu konsumen akan lebih memilih Apel Malang/Batu dibandingkan apel impor. Tetapi saat ini produksi apel Malang/Batu terus menurun. Ini kenapa? Kita harus mencari tahu penyebabnya untuk menyelamatkan keberadaan Apel Malang/Batu ini,” ujar Joko Susilo dalam Focus Group Discussion (FGD) Pengembangan Apel Malang Sebagai Buah Unggulan Eksotik di Malang Raya, Selasa (19/5).
Diskusi yang digelar di Hotel UMM Inn ini melibatkan para akademisi dari Pusat Penelitian Hortikultura Universitas Muhammadiyah Malang , peneliti, dan praktisi apel di Malang Raya. Termasuk para petani apel dari Kota Batu dan Poncokusumo, Kabupaten Malang.
Dalam catatan Balitjestro, Kota Batu memiliki sekitar 7000 hektar lahan apel. Namun dengan pesatnya pembangunan, kini lahan apel di kota ini terus menyusut menjadi sekitar 2000 hektar saja. Bahkan di Kabupaten Malang dan Pasuruan kini hanya menyisakan 2100 hektar lahan apel. “Padahal sebelum tahun 2000 keberadaan Apel Malang/Batu mampu memenuhi kebutuhan apel mulai Aceh hingga Papua,”tambah Joko.
Akibatnya, Indonesia ‘diserbu’ oleh keberadaan apel impor. Di antaranya dari China, Selandia Baru, Afrika Selatan, dan Jepang. Di semester awal tahun 2013, pasokan apel impor ke Indonesia mencapai 83.918 ton. Kemudian di semester awal tahun 2014, angka ini melonjak menjadi 200.483 ton.
“Kondisi ini memaksa kita harus segera melakukan perbaikan dari hulu sampai hilir,”ujar Joko. Maksudnya, perbaikan dilakukan dengan memilih unsur yang cocok dengan kondisi tanah di Malang maupun Batu. Kemudian dilanjutkan dengan pemilihan bibit yang tepat, disertai konsep pemasaran yang tepat pula.
Saat ini, katanya, peluang bisnis dari produk apel masih sangat menjanjikan. Untuk itu ada langkah yang harus dilaksanakan secara bersama. Yaitu, mempertahankan wisata petik apel dengan kemasan paket terpadu. Karena konsep ini masih diminati oleh para wisatawan domestik. Kemudian meningkatkan industri minuman sari apel, dan juga meningkatkan produksi buah apel.
“Adapun peningkatan produksi apel sendiri bisa dilakukan dengan cara pemeliharaan tanaman secara kultur teknis budidaya tanaman apel, menjaga kesuburan lahan dengan pemberian bahan organik, dan pengendalian hama penyakit secara terpadu,”pungkas Joko.  [nas]

Tags: