Berani ‘Meroketkan’ APBD

Karikatur APBDMENJELANG masa reses (November 2014) DPRD Jawa Timur menyepakati  Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2015. Angka yang disepakati sekitar Rp23,720 triliun, atau bertambah Rp 1,169 triliun (sekitar 5,1%) dibanding usulan Gubernur. Angka ini tergolong lumayan berani, karena naik sekitar 17,26% dibanding P-APBD 2014. Tetapi belum tergolong berani benar dibanding provinsi lain (DKI Jakarta dan Jawa Tengah).
Senilai itulah (Rp 23,720 triliun) anggaran yang akan digunakan untuk membiayai pembangunan di Jawa Timur. Nilai itu termasuk gaji aparatur negara, yang ditunaikan oleh pemerintah pusat. Tetapi angka yang diajukan oleh pemprov tergolong masih rendah. Terutama jika mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi dan ragam unit usaha yang makin berkembang.
Kinerja keuangan SKPD “penghasil” dan BUMD sebenarnya masih bisa digenjot. Terutama menggali pendapatan yang lebih besar, sehingga per-angka-an APBD bisa berimbang sebesar Rp 25 triliun lebih. Walau selalu naik, tetapi persentase peningkatan APBD Jawa Timur nyaris “rutin.” Padahal daerah lain (Jawa Tengah) tahun ini APBD-nya akan naik 100%. Hal yang sama telah terjadi di Provinsi DKI Jakarta setahun lalu, APBD-nya naik 100 persen.
Nilai APBD ditentukan melalui asumsi belanja yang harus diseimbangkan dengan potensi pendapatan asli daerah (PAD). Konon Pendapatan yang dimiliki Jawa Timur di-pagu sebesar Rp 14,693 trilyun. PAD masih bertumpu pada Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB-KB). Selain PAD, pendapatan daerah juga diperoleh dari Dana Perimbangan sebesar Rp 3,493 trilyun, serta pendapatan lain-lain sebesar Rp 2,818 trilyun.
Tetapi sesungguhnya, Jawa Timur memiliki potensi PAD maupun non-PAD yang sangat besar. Kadang, potensi itu dirasa sulit menggalinya. Bahkan kadang tersembunyi. Beberapa “harta karun” yang dahulu sulit digali, kini sudah mulai bisa diraih. Diantaranya berupa Participating  Interest, sebagai mandatory Undang-Undang Migas.
Saat ini, participating interest dinikmati oleh pemerintah propinsi serta beberapa pemerintah kabupaten (diantaranya Bojonegoro, Tuban, Gresik dan Bangkalan). Pemerintahan Kabupaten yang telah menikmati participating interest menjadi kaya mendadak, dan APBD terdongkrak melejit. Beberapa permasalahan pembangunan bisa diselesaikan. Bahkan bisa “menabung” lebih besar dalam penyertaan modal pada perbankan BUMD.
Karena itu “harta karun” lainnya juga harus bisa digali. Misalnya, pajak atas pulsa telepon seluler (ponsel). Realitanya, Indonesia merupakan pengguna teknologi informasi dan komunikasi (ponsel dan internet) tersibuk ketiga di dunia. Dan Jawa Timur, terbesar kedua di Indonesia. Seluruhnya berkonsekuensi dengan pulsa yang terus berputar makin besar. Maka inilah harta karun yang tidak akan habis, selamanya.
Nomor ponsel area Jawa Timur bisa dikumpulkan pajaknya. Sebab setiap operator telekomunikasi telah memungut pajak atas pulsa ponsel. Maka wajar (wajib) manakala Jawa Timur memperoleh hak bagi hasil. Pemprop bersama DPRD harus menuntut pajak bagi hasil penjualan pulsa. Bila perlu mengajukan uji materi UU Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Terutama ketentuan tarif yang diatur pada pasal 26 sampai 29.
Judicial review terhadap UU telekomunikasi itu, pasti akan didukung oleh seluruh daerah, karena akan meningkatkan penghasilan asli daerah. Dengan APBD yang lebih besar, kinerja Pemprop bisa menjangkau obyek dan subyek pembangunan yang lebih besar. Hingga kini pendidikan dan layanan kesehatan masih membutuhkan kepedulian. Begitu pula kebutuhan infra-struktur, terutama jalan dan jembatan terasa tak sebanding dengan jumlah kendaraan.
Pada sisi lain, aksesi modal usaha tani belum bank-able. Realitanya, tidak mudah merealisasi kredit murah usaha tani. Sehingga petani (rerata hanya memiliki 0,3 hektar pula) masih dililit rentenir berkedok koperasi. Seluruh problem daerah, bermuara pada peningkatan APBD !

                                                                                                    ————– 000 —————-

Rate this article!
Tags: