Beratnya Beban Jalan Kota Surabaya

Toat Tridjono

Toat Tridjono

Oleh:
Toat Tridjono
Pemerhati masalah transportasi dan perkotaan
Akhir-akhir ini, permasalahan kepadatan lalu lintas di Kota Surabaya semakin mengkhawatirkan. Walaupun upaya-upaya penanganan terus dilakukan oleh Pemerintah Kota Surabaya, namun hasilnya belum maksimal. Tentu kita semua harus memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya atas upaya Pemerintah Kota Surabaya, karena segala upaya dilakukan, mulai dari pelebaran jalan, pembangunan ruas jalan baru, rekayasa lalu lintas dan lain sebagainya. Bahkan yang sangat mengejutkan adalah Ibu Walikota Surabaya sekitar dua minggu yang lalu turun langsung ke jalan di depan Taman Pelangi Jalan A Yani untuk ikut langsung mengatur lalu lintas yang sedang macet total, pada saat jam pulang kerja sore hari dan saat itu hujan deras. Kita tahu bahwa di depan Taman Pelangi merupakan langganan macet di pagi, siang dan sore hari. Mungkin hanya tengah malam saja ruas jalan depan taman pelangi ini akan lancar jaya.
Dalam satu dasawarsa terakhir ini perkembangan kepadatan lalu lintas di Kota Surabaya memang luar biasa, hal ini tentu tidak terlepas dari perkembangan jumlah kendaraan yang sangat tinggi. Di Jawa Timur saja perkembangan sepeda motor mencapai sekitar 15 % pertahun, sebagai gambaran, tahun 2012 saja pertambahan sepeda motor baru mencapai 1 juta unit, belum lagi sepeda yang lama. Sementara itu pertumbuhan mobil berkisar 9 % pertahun, dan tentu angka ini di masa mendatang akan semakin tinggi karena hadirnya mobil-mobil murah (LCGC) akan meningkatkan daya beli masyarakat, dan harus diingat bahwa bagi sebagian besar masyarakat mobil masih menjadi ukuran status sosial, simbol harga diri, simbol kekayaan, apalagi DP masih terjangkau.
Dengan tingginya perkembangan jumlah kendaraan bermotor, tentu harus menjadi pertimbangan terpenting dalam mengatasi masalah kepadatan lalu lintas, atau lebih tepatnya mengatasi kemacetan, sehingga upaya-upaya konvensional, mulai dari pelebaran jalan, pembangunan jalan baru, rekayasa lalu lintas serta berbagai upaya lain hanya akan efektif pada batas kepadatan lalu lintas tertentu saja, selebihnya dapat dikatakan mubazir. Harap dimaklumi bahwa pertambahan lebar dan panjang jalan tidak pernah lebih dari 1 % pertahun, tentu ironis sekali bila dibandingkan dengan pertumbuhan jumlah kendaraan. Kalau hanya upaya-upaya konvensional, maka hasilnya akan seperti Jakarta, atau bahkan bisa lebih parah lagi.
Karena kecintaan saya kepada Kota Surabaya, ijinkan saya memberikan beberapa beberapa pemikiran, ini bukan kritik, tetapi hanya bahan renungan kita bersama. Pertama, Surabaya merupakan Kota Metropolitan, atau bahkan beberapa ahli sudah mengkategorikan sebagai Kota Megapolitan, sehingga penanganan parsial, konvensional atau inkremental hanya akan menyelesaikan masalah sesaat saja, lalu esoknya timbul masalah baru. Kita seringkali tidak berani untuk berfikir out of the box, atau berinisiatif terlalu jauh. Misalnya saja, kemacetan pada perempatan solusinya dengan membuat U turn, lalu beberapa bulan kemudian sudah tidak mampu mengatasi lagi, lalu dibuatkan traffic light. Sekitar 7 tahun yang lalu saya mengikuti seminar yang membahas pembangunan jalan layang Pasar Kembang, saya menentang keras pembangunan jalan layang tersebut, karena tidak efektif, tidak seimbang dengan besarnya biaya yang harus dikeluarkan. Penyebab kemacetannya jelas, karena banyaknya on street parking, antrian pada traffic light, bemo yang ngetem dan para pedagang burung pada sepanjang koridor jalan tersebut, kemacetan di situ masalahnya lokal, kenapa harus dengan jalan layang dengan biaya yang sangat besar ? Lalu sekarang, setelah jalan layang selesai dibangun, kemacetan menumpuk pada persimpangan Diponegoro dengan Kartini serta dan beberapa persimpangan berikutnya. Lalu sekarang dibuat persimpangan Jalan Pandegiling dengan jalan Urip Sumoharjo, tentu ini menambah kemacetan Jalan Urip Sumoharjo. Waktu itu saya usul, dari pada membangun jalan layang tersebut, lebih baik membangun jalan layang dari Jalan Sulawesi sampai Jalan Banyu Urip, melewati atasnya Jalan Pandegiling, maka permasalahan rendahnya akses kawasan timur-kawasan barat sebagian teratasi, tetapi usulan saya waktu itu ditertawakan oleh para peserta seminar, termasuk para pakar dari perguruan tinggi. Saya hanya ingin mengatakan bahwa Surabaya merupakan kota megapolitan, permasalahannya besar, apalagi permasalahan lalu lintas, ini permasalahan yang sangat besar, sehingga tidak bisa diselesaikan secara parsial.
Kedua, permasalahan transportasi di Kota Surabaya bukan hanya kewajiban Pemerintah Kota Surabaya, karena setiap hari tidak kurang dari satu juta penglaju (commuter) ikut menjadi penyebab kemacetan, mungkin warga Sidoarjo, Mojokerto, Pasuruan, Malang, Jombang, Madiun, atau bahkan luar Jawa Timur. Maka menjadi tidak adil apabila hanya dibebankan kepada Pemerintah Kota Surabaya. Mestinya semua pemerintah daerah yang warganya ikut memacetkan Kota Surabaya berkewajiban untuk mengatasi masalah kemacetan di Surabaya. Mana bisa begitu ? Tapi kenyataannya lalu lintas itu borderless, tidak bisa dipagari oleh batas administrasi. Intinya semua pihak yang terlibat harus ikut bertanggung jawab, mau bekerja sama, tentunya termasuk Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Pusat harus diwajibkan bertanggung jawab.
Ketiga, adalah kenyataan bahwa pertumbuhan jumlah kendaraan sangat pesat dan ini menjadi sumber utama kemacetan. Kenapa pertumbuhan kendaraan bermotor sangat tinggi? Karena ini merupakan indikator keberhasilan industri otomotif, dan kemacetan lalu lintas bukan urusan dan bukan tanggung jawab Kementerian Perindustrian. Kenapa umur kendaraan tidak dibatasi ? Karena beli mobil bekas saja susah, kok dibatasi ! Tapi konon katanya, pajak kendaraan itu sumber PAD andalan.
Kemacetan bukan hanya masalah polusi udara, polusi suara atau polusi kesabaran. Menurut beberapa penelitian, kemacetan Jakarta menyebabkan kerugian Rp. 50 T per tahun. Wow… tapi tentu Surabaya tidak sebesar itu, namun apabila diambil angka mudahnya, misalnya 10 % saja, maka kerugian Surabaya menjadi Rp. 5 T pertahun. Maka wajarlah kalau kemacetan sangat mengganggu iklim investasi, karena kemacetan menyebabkan ekonomi biaya tinggi yang luar biasa.
Lalu apa solusinya? Tentu tidak mudah, dan semua orang harus mengakuinya. Buktinya Pemerintah Kota Surabaya yang semua program pembangunannya selalu brilian, diakui luar biasa bahkan oleh Internasional, sampai saat ini belum maksimal mengatasi kemacetan. Bisa dipastikan jumlah kendaraan akan terus bertambah dan akan semakin tinggi tingkat pertambahannya. Tidak ada satu negarapun berupaya mengatasi kemacetan lalu lintas dengan melebarkan atau membangun jalan baru, meskipun itu negara kaya, misal Amerika Serikat atau Jepang atau negara-negara Eropa. Semua negara maju mengatasi kemacetan lalu lintas dengan membangun angkutan umum massal, dan itu berhasil. Tidak percaya ? Ayo coba kita bangun angkutan umum yang lebih nyaman dari mobil pribadi, yang lebih murah, yang terjadwal dan lebih tepat waktu, yang lebih aman. Cuma satu syaratnya agar pengendara sepeda motor mau beralih ke angkutan umum,  yaitu angkutan umum harus lebih murah, lebih cepat, lebih nyaman dan lebih aman dari sepeda motor. Insya Allah angkutan umum akan laris dan mampu mengatasi kemacetan. Dari pada untuk subsidi BBM, akan lebih baik kalau untuk subsidi bis kota atau subsidi karcis Kereta Api ataupun jenis angkutan umum lainnya yang senyaman mobil pribadi, aman, berjadwal dan tepat waktu, murah atau bahkan gratis. Buat pemerintah ini lebih menguntungkan, buat masyarakat ini lebih menyenangkan. Ada yang setuju ???

Rate this article!
Tags: