“Berburu” Pejabat (Korup)

karikatur korupsi

Bagai “sangkakala” pertanda bahaya paling besar telah berbunyi. Status tersangka tindak pidana korupsi (tipikor) terhadap 41 anggota DPRD Kota Malang, wajib dijadikan warning keras. Operasi tangkap tangan (OTT) yang semakin kerap, nyata-nyata menjerat banyak pejabat politik. Menjadi tersangka (sampai terpidana) kasus tindak pidana korupsi (tipikor) nyaris menjadi hal biasa. Hanya dianggap sebagai apes (kurang beruntung). Tetapi nampak suasana mencekam.
Dikhawatirkan pejabat politik, dan Aparatur Sipil Negara (ASN) akan tersedot habis masuk penjara. Keadaan “darurat tipikor” tidak boleh dianggap sepele. Mendesak, segera diperlukan pencegahan lebih sistemik. Karena berbagai modus suap, commitment fee (perburuan rente) dan korupsi, telah menyusup ke seluruh sistem anggaran. APBN dan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) bagai menjadi penambangan liar pejabat busuk.
Indonesia telah memiliki benteng pencegahan korupsi melalui UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Dengan UU itu, secara lex specialist, UU tentang Pemberantasan Tipikor tahun 1999, telah direvisi. Namun anehnya, ancaman pidana paling singkat 4 tahun sampai 20 tahun (ditambah denda pula), tidak menyurutkan aksi tipikor. Terbukti, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) makin kerap melancarkan OTT, berdasar informasi masyarakat.
Ke-khawatir-an terhadap OTT (Operasi Tangkap Tangan), terang-terangan dinyatakan kalangan parlemen (politisi). Bahkan Ketua MPR-RI, khawatir, pejabat Indnesia bisa habis karena terjaring OTT KPK. Harus diakui, KPK jilid IV saat ini terasa gemar ber-OTT. Sudah ribuan anggota parlemen (termasuk DPRD Propinsi serta kabupaten dan kota), menjadi terdakwa tindak pidana korupsi (Tipikor).
Bagai tiada hari OTT (Operasi Tangkap Tangan). Walau KPK sedang diliputi upaya kriminalisasi sistemik. Sepanjang tahun (2018) ini, KPK telah melakukan OTT 19 kali. Sebanyak 15 Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, dan Walikota) digelandang sebagai tersangka. Termasuk gubernur Jambi. Serta sebelumnya (tahun 2017) gubernur Bengkulu, terkena OTT.
Profesi tersangka (terjaring OTT) juga semakin beragam, tak terkecuali hakim. Antaralain Ketua Pengadilan Tinggi Sulawesi Utara), harus memakai “rompi oranye” (kostum tersangka KPK). Turut ditangkap pula anggota DPR-RI Komisi XI (khusus pembahas APBN). Yang terbaru hakim adhock (non-karir) Tipikor Sumatera Utara, terciduk (Agustus 2018). Sudah banyak hakim adhock tipikor dari berbagai daerah telah menjadi narapidana tipikor.
Ironisnya, hampir seluruh OTT KPK tersangkut pula anggota legislatif pusat dan daerah. Menambah daftar panjang politisi (anggota parlemen) yang tersangkut Tipikor. Selama tahun 2017, telah ditangkap lebih dari 120 anggota DPR-RI, DPRD Propinsi serta DPRD Kabupaten dan Kota. Sebanyak 15 Gubernur, serta 60 Bupati dan Walikota, telah ditangkap.
Seluruh pejabat publik, terkait dengan partai politik (parpol). Tak terkecuali kader perempuan. Seluruhnya pula, hasil pemilihan umum (pemilu legislatif maupun pilkada). Maka wajar kalangan politisi kebat-kebit, bagai menunggu antrean. Sebagian (pada kasus DPRD Kota Malang), banyak anggota DPRD mengembalikan uang suap. Tetapi yang lain memilih “melawan” KPK dengan upaya pra-peradilan.
Sebagian berhasil, diantaranya Ketua DPR-RI. Juga seorang Bupati di Jawa Timur, tetapi masuk lagi dengan kasus yang sama. Upaya perlawanan terhadap sangkaan tindak pidana korupsi (Tipikor), tidak menghapus catatan keterlibatan. Sangat mungkin, KPK akan memperbaiki Sprindik (Surat Perintah Penyidikan), dan menerbitkan status tersangka yang diperbarui.
Maka julukan super-body KPK (berdasar penjelasan UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK), seyogianya dibuktikan dengan meningkatkan kinerja. Terutama merespons laporan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), dan OTT. Tak perlu khawatir pejabat politik akan habis. Toh mudah mencari pengganti dan melantik pejabat baru.

———– 000 ———–

Rate this article!
Tags: