“Berburu” Sekolah Favorit

Karikatur Ilustrasi

Sekolah semester genap baru dimulai tiga hari. Tetapi pendaftaran murid baru tahun ajaran 2018-2019, sudah ramai dilakukan. Bahkan beberapa sekolah favorit sudah menyatakan “full seat.” Tak lama, PPDB (Pendaftaran Peserta Didik Baru) akan menyisakan sekolah di pinggiran. Ironisnya, banyak SD (Sekolah dasar) Negeri, di-merger karena kekurangan murid. Begitu pula SMP swasta, selalu paceklik, karena SMP Negeri semakin banyak.
Di berbagai kota besar (Jakarta, Bandung, dan Semarang) banyak SD Negeri di satu lokasi, terpaksa di-merger. Semula diduga sepinya murid SD disebabkan keberhasilan program KB (Keluarga Berencana). Tetapi anehnya, semakin banyak yayasan mendirikan SD swasta. Terutama yayasan berbasis ormas keagamaan. Realitanya, SD swasta berbasis agama selalu laris diburu orangtua murid. Bahkan sudah tutup PPDB sebelum semester akhir tahun ajaran.
Di Surabaya dan Sidoarjo, beberapa SD (unggulan) yang dikelola kelompok nahdliyin (NU) telah tutup PPDB. Ini diluar dugaan, karena sekolah NU di-citra-kan kurang bermutu. Padahal kenyataannya, SD terbaik di Jawa Timur, mayoritas dikelola yayasan yang dibawahkan kalangan NU. Begitu pula SD berbasis keagamaan yang lain (Katolik, dan Kristen) telah kelebihan murid. Beberapa sekolah yang dikelola Muhammadiyah, juga di-antre masyarakat.
Bulan Januari (2018) ini, sekolah swasta sudah memulai PPDB. Baliho dan poster sudah mulai dipajang di jalan-jalan. Tak kalah dengan iklan out-door produk barang, baliho PPDB juga menyertakan prestasi akademik. Selain status akreditasi sekolah, juga prestasi akademik dan non-akademik muridnya. Terutama, kelulusan Unas (Ujian nasional), biasanya 100%. Khusus SMK, baliho PPDB juga memapar serapan lapangan kerja.
Mendaftarkan anak-anak sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, bukan hal mudah. Lebih dari 7,5 juta peserta didik telah sukses mengikuti ujian nasional (Unas) dan Usek (Ujian Sekolah, SD). Sebagian terbesarnya (90%) diperkirakan bakal melanjutkan. Sisanya (yang 10%) terpaksa putus sekolah. Boleh jadi, sebagiannya akan terlambat masuk sekolah, disebabkan cara pendaftaran. PPDB, menggunakan sistem zonasi, serta cara online.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menerbitkan peraturan berkait PPDB. Selain bertujuan akuntabilitas, juga untuk pemerataan pendidikan. Di ujungnya diharapkan, seluruh sekolah berlabel “favorit.” Seluruh sekolah sama (mutunya) baik. Terutama sekolah negeri.Walau sesungguhnya, label “favorit” bukan dibuat oleh pemerintah. Melainkan berakar pada “produk” lembaga sekolah, manakala alumninya melanjutkan.
Label “favorit” merupakan keniscayaan, juga berkait dengan sarana dan prasarana yang dimiliki sekolah. Tidak semua fasilitas sekolah (negeri) berasal dari pemerintah maupun pemerintah daerah. Banyak sarana sekolah berasal dari bantuan orangtua murid. Terutama di perkotaan.Sehingga sekolah “favorit” semakin berpeluang meningkatkan kinerja.
Kenyataannya, murid kelas akhir sekolah favorit (kelas 6, 9 dan 12), memiliki potensi rata-rata akademik lebih baik dibanding sekolah bukan “favorit.” Alumninya, banyak diterima pada sekolah (jenjang pendidikan) lebih tinggi yang favorit pula. Di setiap kabupaten dan kota, selalu memiliki sekolah “favorit.” Mulai tingkat SD, SMP (dan sederajat) dan SLTA favorit, selalu diburu orangtua murid.
Pemerintah konon, ingin menghapus label “favorit.” Diantaranya melalui peraturan tentang PPDB, dengan kriteria zonasi. Artinya, lembaga sekolah harus “dihuni” secara mayoritas oleh calon peserta didik yang terdekat (tempat tinggalnya). Kriteria (zonasi) ini sekaligus untuk “meng-aman-kan” perjalanan murid, dari rumah ke sekolah. Sisanya yang 10%, disediakan untuk calon murid yang mengalami perpindahan domisili, serta berprestasi (5%).
Tetapi mayoritas orangtua murid, terpaksa meng-utamakan kebutuhan dasar pendidikan.Beli buku paket, buku tulis, dan mengganti seragam yang sudah lusuh. Itupun terasa telah “menindih” perekonomian rumahtangga.

——— 000 ———

Rate this article!
Tags: