Berburu Sekolah Negeri Melalui PPDB

Jalur Zonasi, Afirmasi, Potensi Akademik, dan Kriteria Usia

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior Penggiat Dakwah Sosial Politik

Perburuan sekolah negeri (dan swasta favorit) dimulai pekan ketiga bulan (Juni) ini. SMP dan Madrasah Tsanawiyah Negeri, serta SMA, Madrasah Aliyah, dan SMK Negeri, telah di-incar sejak libur panjang program “belajar di rumah.” Sekolah negeri diincar karena pertimbangan biaya yang lebih ringan, serta mutu yang baik. Tetapi tidak mudah masuk sekolah negeri, karena harus bersaing ketat. Selain dengan bentang jarak, juga nilai akademik turut menyokong penerimaan calon peserta didik baru.

PPDB (Pendaftaran Peserta Didik Baru), dalam dua tahun terakhir bagai perburuan sekolah negeri. Kriteria penerimaan peserta didik baru, bukan berdasar nilai akademik. Melainkan (terutama) berdasar zonasi, jarak antara tempat tinggal calon peserta didik ke sekolah baru. Dengan pola zonasi, sebenarnya tidak ada lagi status sekolah favorit. Karena sesungguhnya, setiap sekolah bisa menjadi favorit dengan dukungan orangtua murid.
Ironisnya dahulu, sekolah favorit hanya bisa dimasuki oleh calon peserta didik dengan nilai akademik tinggi, menjadi persyaratan dalam persaingan berebut bangku. Dus guru-guru sekolah favorit lebih enteng dalam pengajaran, karena muridnya rata-rata pandai. Biasanya pula siswa memiliki perilaku sehari-hari cukup baik. Masih ditambah dengan mengikuti bimbingan belajar. Lulusan sekolah favorit, lazimnya bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi, dengan status sekolah favorit pula.

Sedangkan murid dengan nilai akademik rendah, bagai selalu “tercecer” tanpa memiliki kesempatan tergabung dengan lingkungan (pergaulan) yang baik. Guru di sekolah yang tidak favorit memiliki beban berat memacu kreatifitas, dan penga-kaya-an materi ajar secara mudah dan murah. Beban paling berat pada guru sekolah swasta yang tidak favorit, memilih meraih “kelebihan lain.” Misalnya dalam bidang kesenian, dank e-olahraga-an.

Pola zonasi lebih menjamin keadilan pendidikan. Setiap calon peserta didik, dengan beragam altar potensi akademik, dan ekonomi orangtua, memiliki hak yang sama. UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) tidak memandang status. UU Sisdiknas pada pasal 4 ayat (1), menyatakan, “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.”

Konstitusi memandang pendidikan sebagai hak asasi manusia. UUD pasal 28E ayat (1), menyatakan, “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran… .” Pendidikan merupakan hak setiap warga negara yang dijamin konstitusi, tercantum dalam UUD pasal 31 ayat (1). Bahkan konstitusi memandang pendidikan dasar merupakan “kewajiban” setiap warga negara, dan pemerintah wajib membiayai.

Prioritas Kriteria Usia
Sehingga sekolah (pada setiap jenjang), wajib dibuka untuk setiap orang, dengan persyaratan yang wajar berdasar kepatutan. Maka bukan hanya murid dengan prestasi akademik tinggi yang boleh melanjutkan sekolah. Melainkan murid dengan nilai akademik pas-pasan, juga boleh melanjutkan sekolah, duduk berdampingan sederajat dengan murid pintar. Karena bisa jadi, terdapat kelebihan (non-akademik) peserta didik yang tidak pintar. Misalnya, dalam ke-olahraga-an, dan dalam ber-kesenian.

Walau dalam masa wabah pandemi global virus corona, jadwal tahun ajaran baru tidak berubah. Tetap dimulai pada pertengahan Juli 2020. Sehingga PPDB harus dilaksanakan pada pertengahan Juni hingga awal Juli. Guru (sekolah asal) yang membimbing PPDB harus memahami potensi muridnya. Pilihan utama, dengan jalur zonasi, harus hafal jarak calon peserta didik dengan sekolah tujuan. Juga masih perlu “adu” nilai potensi akademik.

Namun terdapat persyaratan yang “meresahkan” orangtua murid. Yakni, kriteria usia calon peserta didik, yang menjadi timbangan selain zonasi, dan potensi akademik. Artinya, manakala terdapat calon peserta didik yang memiliki jarak yang sama antara rumah dengan sekolah, maka timbangan kedua adalah potensi akademik. Andai tetap sama, maka digunakan timbangan usia. Yang lebih tua memiliki “kans” lebih besar, karena diutamakan.

Kriteria usia tercantum dalam Permendikbud Nomor 44 tahun 2019 tentang PPDB. Terdapat 4 jalur, yakni, zonasi, prestasi, perpindahan tugas orangtua, dan afirmasi. Namun sebenarnya, PPDB tetap berbasis utama zonasi, harus meliputi lebih dari 50% jumlah peserta didik baru. Sisanya, memberi porsi cukup memadai jalur ke-prestasi-an. Serta memberi peluang peserta didik baru berdasar kepindahan (mutasi) tugas orangtua. Jalur mutasi tugas diperlukan oleh kalangan orangtua berstatus ASN (Aparatur Sipil Negara), TNI, Polri, pegawai BUMN, serta pegawai swasta.

Permendikbud juga memberi jalur afirmasi, khusus untuk keluarga miskin (Gakin). Kuotanya mencapai 15% kapasitas daya tampung sekolah. Jalur afirmasi ini sering “jumbuh” dengan kriteria usia (dengan prioritas yang lebih tua). Jalur afirmasi digunakan khusus untuk gakin, yang dibuktikan surat keterangan dari Kelurahan. Sedangkan kriteria usia, merupakan salahsatu timbangan “adu” kans penerimaan calon peserta didik.

Kriteria usia (yang lebih tua), bisa jadi dahulu, ketika masuk SD (Sekolah Dasar) kelas 1, “tertunda” masuk sekolah akibat keterbelakangan (ekonomi dan pendidikan) orangtua. Atau “tertunda” karena sakit yang perlu perawatan panjang. Bisa jadi, sekarang menjadi keluarga kaya. Sehingga bisa mendaftar sekolah secara normal, mengikuti PPDB pada jalur zonasi, prestasi maupun penugasan orangtua. “Ke-tertunda-an” calon peserta didik, itu yang di-apresiasi dalam Permendikbud 44 tahun 2019.

Kekurangan Sekolah
Kriteria usia sebagai timbangan (bukan utama) bertujuan member kesempatan yang sama terhadap calon peserta didik yang “tertunda” masa belajarnya. Hal itu sesuai konstitusi. UUD pasal 28E ayat (1), dan UUD pasal 31 ayat (1). Serta berdasar UU Sisdiknas pasal 4 ayat (1). Pada sisi lain, calon peserta didik dengan usia muda, disebabkan orangtua menyekolahkan anaknya pada usia lebih dini. Ada yang mulai pendidikan TK mulai usia 3 tahun, sehingga mulai masuk SD pada usia 5 tahun.

Banyak orangtua berkecukupan memilih menyekolahkan anak lebih dini, disebabkan kelebihan ekonomi. Ini juga merupakan hak asasi manusia (HAM). Namun manakala berhadapan dengan HAM peserta didik yang lain, maka harus diatur oleh pemerintah. Sesuai asas keadilan, calon peserta didik yang “tertunda” wajib dibantu dengan diberi prioritas. Sedangkan yang bisa masuk sekolah lebih dini, karena “kelebihan” bisa tetap melanjutkan pendidikan di sekolah swasta.

Kegaduhan orangtua murid akibat kriteria usia pada PDBB, seyogianya bisa “diredam” oleh kalangan (ahli) pendidikan. Terutama kematangan psikologi anak dalam bersekolah. Terlalu dini memasukkan anak sekolah (Pendidikan Anak Usia Dini, TK) dan kelas 1 SD) juga bukan pilihan yang terbaik. Kecuali benar-benar diketahui memiliki tingkat kecerdasan intelektual (IQ), dan kecerdasan mental (Emotional Quotient) yang sama tinggi (seimbang).

Namun kegaduhan PPDB dengan 4 jalur, sebenarnya bermuara pada kurangnya sekolah negeri, khususnya jenjang SMP dan sederajat, serta jenjang SLTA. Perlu dibangun sekolah negeri baru (SMP, dan SLTA). Setidaknya perlu menambah rombongan belajar (ruang kelas). Lebih lagi denga protokol kesehatan, kapasitas ruang kelas, sepatutnya wajib tidak lebih dari 20 peserta didik. Sekolah Negeri menjadi “perburuan” orangtua murid. Disebabkan biaya pendidikan murah yang disokong pemerintah melalui APBN, APBD Propinsi, serta APBD Kabupaten dan APBD Kota.

Sesuai UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, urusan Pendidikan dibagi kewenangan. Pemerintah propinsi bertanggungjawab pada pendididikan jenjang SLTA (SMA, SMK, dan Madrasah Aliyah). Sedangkan pemerintah kabupaten dan kota bertanggungjawab pada jenjang SD, dan SMP. Kurangnya sekolah negeri bisa berakibat fatal, putus sekolah. Diperlukan kepedulian pemerintah daerah (propinsi serta kabupaten dan kota) mencegah putus sekolah. Antara lain melalui penambahan anggaran sektor pendidikan, seperti diamanatkan konstitusi.
UUD pada pasal 31 ayat (4), menyatakan, “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.”

Ironisnya, saat ini beberapa Pemda masih bebal, karena mengira alokasi anggaran pendidikan (20%) terlalu besar. Padahal indeks pendidikan (lama sekolah) masyarakat akan sangat berpengaruh pada kemajuan daerah.

——— 000 ———

Rate this article!
Tags: