Berburu Tiket “Miring”

Masyarakat konsumen dan pemerintah gigih mendesak penurunan harga tiket pesawat. Perdebatan selama satu semester, membuahkan hasil berupa regulasi harga tiket terjangkau. Sesuai prinsip manajemen LCC (Low Cost Carrier), maskapai penerbangan telah menurunkan harga tiket kelas ekonomi. Penurunan harga tiket diharapkan bisa meningkatkan kembali minat naik pesawat. Sekaligus memicu kenaikan ke-wisata-an nasional.
Seperti pepatah “bagai memintal benang kusut,” harga tiket pesawat mahal tak bergeming. Perdebatan melibatkan tiga kementerian. Yakni, urusan Perhubungan, Koordinator bidang Perekonomian, serta BUMN. Tetapi seolah-olah tiada yang berkuasa mengendalikan maskapai penerbangan dalam negeri. Selama perdebatan, telah terjadi penurunan jumlah penumpang domestik secara drastis.
Berdasar catatan BPS Badan Pusat Statistik), selama lima bulan (Januari hingga Mei 2019), penurunan mencapai 21,33%, menjadi 29,4 juta penumpang. Periode yang sama (Januari-Mei) tahun 2018, jumlah penumpang mencapai 37,4 juta. Ironisnya, kemerosotan juga dirasakan usaha layanan akomodasi. Antara lain, tingkat hunian kamar hotel selama bulan Mei 2019, hanya terisi 43,53%.
Kunjungan wisatawan asing juga menurun sebesar 11,37% dibanding tahun (2018) lalu. Target sektor wisata bisa merealisasi 20 juta turis manca negara, harus dikejar lebih cepat. Target tersebut meliputi 275 juta perjalanan wisata. Kalkulasi sektor wisata akan menyumbang PDB (Produk Domestik Bruto) sebesar 15%. Khusus turis asing diharapkan bisa menghasilakn devisa sebesar Rp 280 trilyun.
Industrial linkage (keterkaitan) ke-wisata-an meliputi berbagai sarana akomodasi. Terutama penginapan, kuliner (makanan dan minuman khas daerah), dan cinderamata. Multiplier effect ke-wisata-an bisa menyerap tenaga kerja sebanyak 13 juta orang. Kunci utama keberhasilan target pariwisata, adalah penerbangan yang murah, terutama antar bandara ddomestik dalam negeri. Misalnya, dari bandara Ngurah Rai (Bali) ke Surabaya, Yogya, Bandung, dan ke berbagai daerah lain.
Indonesia memiliki banyak tujuan wisata kesohor, domestik maupun internasional. Seluruh kawasan memiliki wahana elok secara alamiah. Termasuk keindahan bawah laut Wakatobi (di Sulawesi Tenggara), dan Raja- Ampat (di Papua Barat). Namun belum terdapat satu daerah wisata yang bisa menembus 5 besar dalam GDCI (Global Destination Cities Index). Bahkan dalam kawasan ASEAN, ke-wisata-an Indonesia hanya berada pada peringkat ke-4.
Pemerintah memiliki kewenangan mewujudkan ke-wisata-an lebih “sehat,” yang menarik turis skala internasional. Termasuk regulasi (pengaturan) penerbangan. Undang-Undang (UU) Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan, meng-amanatkan pemerintah bertanggungjawab seluruh aspek penerbangan. UU Penerbangan pada pasal 10 ayat (2), merinci kewajiban pembinaan meliputi aspek pengaturan, pengendalian, dan pengawasan.
Pada pasal 10 ayat (3) dinyatakan, “… penetapan kebijakan umum dan teknis yang terdiri atas penentuan norma, standar, pedoman, kriteria, perencanaan, dan prosedur termasuk persyaratan keselamatan dan keamanan penerbangan serta perizinan.” Frasa kata “penentuan norma, standar,” dipahami sebagai kewenangan pemerintah mengatur batas atas dan bawah harga tiket pesawat.
Maskapai berbasis manajemen LCC (BUMN Citilink, dan Lion Air) telah menyetujui penurunan tarif penerbangan. Harga tiket murah berlaku 11 Juli 2019, dengan penurunan sebesar 50% tarif batas atas (TBA). Misalnya, Jakarta-Surabaya dengan TBA Rp 1.857.000,- menjadi Rp 929 ribu. Harga agak “miring” itu berlaku khusus pada hari Selasa, Kamis, dan Sabtu, pada jam 10:00 sampai 14:00. Serta pesawat bermesin jet.
Namun harga tiket “miring” bagai perburuan adu cepat, karena hanya 30% kapasitas satu pesawat (rata-rata dengan 125 seat). Sehingga harga tiket murah, berpotensi memicu maraknya kartel tiket. Seyogianya pemerintah mengatur harga tiket terjangkau tanpa ribet, sekaligus meningkatkan ke-wisata-an.

——— 000 ———

Rate this article!
Tags: