Berdampingan (dengan) Bencana

Karikatur Ilustrasi

Karikatur Ilustrasi

Sepekan setelah bencana gempa tektonik di Pidie Jaya (Aceh), ke-shaleh-an sosial meningkat. Gerakan upaya meringankan beban masyarakat terdampak bencana, dilakukan secara masif di seluruh Indonesia. Dukungan moril dan materi telah diberikan. Namun segala bantuan tidak akan sebanding dengan ke-duka-an dan lara. Maka upaya utama penglipur lara, adalah keyakinan, bahwa bencana alam merupakan sunnatullah.
Bencana (fenomena) alam, diyakini bagai cumputerized sistemik planet bumi. Dianggap sebagai sunnatullah. Di berbagai belahan dunia terdapat suasana alamiah yang bisa menyebabkan pergerakan bumi. Dari arah permukaan atmosfir bumi terdapat angin dan awan. Sedangkan dari “dalam” bumi telah terdapat lempeng tektonik. Suasana alam dapat menjadi bencana. Namun konon, bencana dapat dicegah dengan perilaku ke-shaleh-an sosial. Juga menjadi pertanda ke-nista-an sosial.
Kawasan Aceh, telah “kenyang” merasakan bencana alam sunnatullah. Yang paling dahsyat, adalah fenomena tsunami, terjadi pada 26 Desember 2016. Korban jiwa tercatat lebih dari 200 ribu orang Aceh. PBB (Perserikatan bangsa-Bangsa) menyatakan tsunami Aceh sebagai bencana kemanusiaan paling besar di dunia, sepanjang masa. Seluruh dunia membantu. Juga dengan mengheningkan cipta di ruang sidang parlemen (DPR) Eropa.
Gempa (tektonik) di Pidie Jaya, tidak berpotensi tsunami. Hal itu diketahui dari piranti InaTews (Indonesia Tsunami Early Warning System), senilai 40 juta euro bantuan Jerman (2008). Jerman juga kehilangan seribu jiwa warganya yang wisata di Asia Tenggara. Beberapa negara ASEAN yang memiliki pantai sisi barat, juga terdampak. Terutama daerah lintasan lempeng gempa, patahan Euro-Asia. Gempa di satu kawasan bisa menjadi warning kawasan lain.
Setelah 12 tahun lewat, Aceh, sudah kembali bangkit. Bahkan terjadi pula pemekaran wilayah, diantaranya kebupaten (baru) Pidie Jaya, yang semula tergabung dalam kabupaten Pidie. Kabupaten Pidie Jaya (ber-ibukota di Meureudu, merupakan sentra padi, penyokong utama pangan se-Aceh. Sehingga kerusakan infrastruktur di Pidie Jaya, dikhawatirkan mengurangi pasokan pangan (terutama beras).
Maka infrastruktur di daerah Meureudu, seyogianya segera dipulihkan. Terutama infrastruktur ke-pertani-an patut menjadi prioritas. Antaralain saluran irigasi tersier. Begitu juga akses jalan negara dan jalan propinsi, sebagai sarana distribusi hasil tanaman pangan. Selain pengalaman dalam negeri, bisa juga melihat pengalaman negeri tetangga yang sama-sama sering dilanda gempa. Diantaranya Jepang.
Banyak negara diketahui “langganan” bencana fenomena alam, kini memiliki paradigma hidup berdampingan (harmoni) dengan potensi bencana. Yakni, asas “living harmony with flood.” Konsep utamanya, meng-akrabi dan menyesuaikan diri dengan alam, menjaga ekosistem. Paradigma ini telah dikembangkan di Amerika Serikat (AS), Eropa, Arab, Jepang, dan Korea.
Di AS, misalnya, terdapat lempeng gempa membujur sepanjang pantai barat. Panjang lempeng tektonik sejauh 1.300 kilometer dari Los Angeles sampai San Francisco. Pada 18 April 1906, gempa sebesar 7,8 SR, terjadi di San Fransisco, menewaskan 3.000 orang dan memicu kebakaran hebat. Begitu pula Jepang, beberapa kali disapu tsunami efek gempa dangkal berkekuatan lebih dari 7 SR.
Maka, bisa saja bertempat tinggal dekat dengan bantaran sungai. Boleh saja hidup di tepi pantai, atau di lereng bukit. Hanya diperlukan penyesuaian, meng-akrabi alam yang ada. Pola hidup, dan konstruksi bangunan tempat tinggal wajib menyesuaikan dengan ekosistem. Dan sesungguhnya bencana tidak pernah datang tiba-tiba. Tak terkecuali gempa tektonik (dan tsunami) bisa dirunut dari kawasan segaris lempeng gempa, yang lebih awal “bergoyang.”
UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, telah meng-amanatkan rehabilitasi dan rekonstruksi secara adil dan merata. Juga diamanatkan pendidikan dan latihan masyarakat di kawasan “langganan” bencana.
——— 000 ———

Rate this article!
Tags: