Berdikari di Tengah Produk Impor, Mungkinkah ?

Oleh :
Wahyu Hidayat R
Dosen Program Studi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Malang.

Sejak diberlakukan kebijakan kesepakatan perdagangan bebas Asean-China/ACFTA (China-Asean Free Trade Area), hubungan dagang antara Indonesia-China tumbuh pesat meski menunjukkan ketidakseimbangan. Selain menjadi tujuan utama ekspor komoditas Indonesia, impor barang Indonesia sebagian besar berasal dari China. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (2021) tiga negara pemasok barang impor nonmigas terbesar selama Januari-Agustus 2021 adalah Tiongkok (China) USD 34,67 miliar atau sekitar 32,25 persen. Lalu Jepang USD9,01 miliar , kemudian Korea Selatan USD5,84 miliar, atau sebesar 5,44 persen.

Khusus hubungan dagang dengan China menunjukkan gambaran berikut ; total nilai impor barang Indonesia pada Oktober 2021 mencapai US$ 16,29 miliar. Kemudian nilai impor barang non-migas dari Cina mencapai US$ 4,6 miliar, atau 31,98 persen dari total nilai impor pada Oktober 2021 berasal dari China. Dengan demikian, neraca perdagangan Indonesia dengan China periode Januari-September tahun 2021 mengalami defisit US$ 1,48 miliar.

Defisit perdagangan dengan China ini menunjukan bahwa Indonesia menjadi negara penerima produk Cina atau menjadi negara penampung produk China. Tidak aneh jika saat inipun dengan mudah kita menemukan berbagai macam produk China di pasar domestik, baik di kota besar sampai ke pelosok daerah. Jika kita lihat produk yang diimpor dari China kebanyakan berupa barang jadi, seperti mesin, peralatan elektronik, alat komunikasi, bahan kimia, peralatan rumah tangga/mainan terbuat dari plastik, tekstil, makanan, minuman, obat-obatan, pakaian serta buah-buahan dan sayuran.

Hubungan dagang Indonesia-China meskipun menunjukkan defisit perdagangan bagi Indonesia, namun hubungan dagang dengan China tetap memberikan peluang peningkatan ekspor produk Indonesia mengingat besarnya peluang pasar di Negara China.Bagi Indonesia hubungan dagang dengan China melalui kesepakatan AC-FTA akan berpotensi memberi keuntungan pada kelompok produk pertanian seperti minyak nabati/sawit ,karet dan barang dari padanya, pulp dari kayu atau dari bahan selulosa berserat lainnya; kertas atau kertas karton yang diputihkan (sisa dan skrap), dan biji logam, kerak dan abu Hal ini disebabkan kelompok produk tersebut nilai ekspornya paling besar dibandingkan kelompok produk lainnya serta memiliki kecenderungan peningkatan ekspor cukup signifikan.

Terlepas dari aspek positif kemungkinan peningkatan ekspor dan resiko dengan membanjirnya produk China di pasar Indonesia, harus di akui bahwa beragamnya jenis produk China yang masuk ke pasar Indonesia ini mengindikasikan bahwa kita sebenarnya belum siap betul dengan konsep perdagangan bebas AC-FTA. Jangan heran sebelum pemberlakukan perdagangan bebas pun, banyak produk kita yang tidak mampu bersaing dengan produk China. Misalnya untuk produk garmen. Dengan penetrasi pasar garmen yang semakin terbuka mengakibatkan banyak industri garmen dan tekstil di Indonesia yang bertumbangan.

Di sinyalir yang memperparah kejatuhan industri tekstil dan garment di Indonesia salah satunya akibat kalah bersaing dengan industri garmen China. Demikian pula dengan industri sepatu. Banyak sentra-sentra industri sepatu yang bertumbangan dengan semakin dibukanya kran perdagangan bebas dengan China. Dampak terbesar dari kondisi tersebut tentu meningkatnya angka pengangguran pada industry-industri yang kalah bersaing dengan produk China..

Jika demikian adanya, siapa yang bertanggung jawab terhadap persoalan tersebut?. Tanggung jawab terbesar seharusnya ada pada peran pemerintah untuk mensikapi dampak dari persoalan perdagangan bebas ACFTA. Setidaknya ada dua kebijakan yang harus dilakukan pemerintah, yaitu: Pertama , membatasi/melarang ekspor bahan baku mentah untuk mencukupi kebutuhan energi bagi industri dalam negeri sehingga dapat mendorong tumbuhnya industri pengolahan ditingkat hulu sekaligus memperkuat daya saing industri lokal. Kedua, melanjutkan kebijakan yang mengatur pembatasan pintu masuk pelabuhan untuk lima produk tertentu yaitu alas kaki, barang elektronik, mainan anak-anak, garmen serta makanan dan minuman.

Selain itu, yang paling penting dan sangat mendasar adalah merubah paradigma perdagangan yang berlatar pada kepentingan nasional. Semisal, Gerakan cinta produk Indonesia, gerakan swadesi sudah seharusnya di jadikan dasar kembali dalam mengelola ekonomi Indonesia.

Dalam beberapa hal pemerintah harus menengok kembali sejarah sebagai pondasi membangun ekonomi Indonesia. Apa yang pernah disampaikan Presiden Soekarno berkaitan dengan kemampuan untuk berdiri di atas kaki sendiri (Berdikari) bisa jadi dipakai sebagai frame work membangun ekonomi Indonesia. Apa yang pernah disampaikan Presiden Soekarno pada tahun 1965 untuk menguatkan pondasi ekonomi bangsa perlu kita renungkan kembali. “Jika rakyat kita dan para pemimpinnya bersungguh-sungguh mengembangan daya kreasinya, pastilah kita tidak akan kekurangan barang keperluan, pasti kita tidak perlu import barang keperluan sehari-hari, bahkan kita akan dapat mengexport barang-barang keperluan itu, hingga terlaksanalah prinsip ” Berdiri diatas kaki sendiri” dalam ekonomi.

Kutipan pidato Presiden Sukarno sangat relevan menggambarkan alur utama karakter bangsa ini sekaligus menjadi main stream ekonomi Indonesia ke depan bukan hanya menjadi negara importir, negara yang dipenuhi para pedagang yang lebih mementingkan kepentingan jangka pendek ketimbang menjadi negara yang mampu membangun ekonominya berdasarkan potensi diri sendiriā€¦!!.

——— *** ———

Tags: