Berdiri Sejak 1969, dari Radio SW, AM dan Direncanakan Jadi TV Komunitas

Penyiar Radio Pertanian Wonocolo saat mengudara menyapa para penggemarnya. Tak hanya  menyiarkan informasi seputar pertanian dan perikanan kelautan, radio ini juga menyajikan kesenian tradisional seperti campursari, wayang kulit.

Penyiar Radio Pertanian Wonocolo saat mengudara menyapa para penggemarnya. Tak hanya menyiarkan informasi seputar pertanian dan perikanan kelautan, radio ini juga menyajikan kesenian tradisional seperti campursari, wayang kulit.

Kota Surabaya, Bhirawa
Bagi para petani dan nelayan, informasi berharga mengenai proses hingga memproduksi hasil pertanian dan perikanan kelautan bisa diperoleh melalui  siaran Radio Pertanian Wonocolo. Hebatnya,  radio yang berada frekuensi AM 1449 KHz ini sampai sekarang tetap eksis.
Stasiun radio bernama Radio Pertanian Wonocolo (RPW) Surabaya tersebut terletak di Jalan Ahmad Yani yang tak jauh dari Dinas Perikanan dan Kelautan Jatim dan Dinas Pertanian Jatim. Radio tersebut berdiri sejak 10 Juli 1969 dengan nama Pusat Informasi Pertanian Wonocolo atau lebih  dikenal dengan sebutan dalam bahasa Inggris Agricultural Information Center atau disingkat AIC.
Awal berdirinya stasiun radio ini dikarenakan pada saat itu terdapat program kerja peningkatan produksi pangan yang merupakan prioritas pada Pelita I yang dimulai pada 1969 sampai dengan 1974.
Di mana program utama pembangunan pertanian adalah peningkatan produksi pangan ke arah swasembada beras dan telah diawali dengan program Demas(Demontrasi massal) yang kemudian meningkat menjadi Bimas (Bimbingan Massal) di wilayah unit desa.
Mengingat topografi dan luas areal intensifikasi tanaman pangan di Jawa Timur dan masih sedikitnya jumlah penyuluh pertanian di lapangan yang tidak seimbang dengan luas areal dan jumlah petani pelaksana program intensifikasi tersebut, maka perlu dicarikan metode yang andal dalam menghadapi kendala tersebut.
“Setelah melalui proses panjang dan rumit yang dimulai Agustus 1969, maka pada 16 Juli 1970 Pusat Informasi Pertanian diresmikan dengan dasar surat Kepala Dinas Pertanian Rakyat Provinsi Jawa Timur yang bersumber pada SK Gubernur/KDH Provinsi  Jatim. Saat itu Gubernur Jatim yang menjabat Moch Nur dengan memberi nama Radio Chusus Pusat Informasi Pertanian(RCPIP). Sejak berlakunya EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) pada 1972, RCIP menyesuaikan menjadi RKIP,” papar Koordinator Radio, Untung Surojo, Rabu (8/10).
Seiring dengan pasang surutnya derap pembangunan di Jawa Timur, Radio Pertanian Wonocolo juga mengalami hal yang sama. RPW pernah menjadi insitusi yang berada di bawah Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur, pernah menjadi institusi di bawah eselon II Deptan, pernah menjadi institusi di bawah IPPTP Wonocolo/BPTP Karangploso,dan yang terakhir hingga sekarang di bawah Labdis Pertanian Wonocolo/BPTP Jawa Timur.
Di balik berdirinya stasiun radio ini ternyata ada suka dan duka yang mengarungi. Salah satunya, tidak adanya biaya operasional dalam menjalankan stasiun radio yang membuat seluruh jajaran manajemen berkreasi untuk mendatangkan uang dengan cara ‘ngamen’. Juga mencari iklan.
“Ya memang benar-benar mandiri. Sebab pernah meminta bantuan pada instansi, namun instansi juga tidak bisa memberikan bantuan dikarenakan sesama instansi pemerintah tidak diperkenankan memberikan anggaran. Kami tak kekurangan akal, para penyiar juga membuka depot di depan radio untuk bisa menambah penghasilan bersama,” ujar Untung yang mengabdi selama 25 tahun di radio tersebut.
Stasiun radio yang mempunyai moto ‘Hanya Kami Yang Memadukan Teknologi dan Budaya’ diisi 9 orang full timer dan 27 orang pelaksana. “PNS yang ada hanya 5 orang saja, lainnya outsourcing saja di mana diisi para profesional yang ingin mengabdi atau sekadar hobi saja,” katanya.
Yang menarik stasiun radio ini mempunyai beberapa prestasi yang telah dicapai, antara lain Rural Radio Advisory Project-studguard West Germany 1974 memberi predikat sebagai Radio Penyelenggara Siaran Pedesaan yang paling banyak didengar di 6 (enam) provinsi Indonesia, Pusat Lembaga Kebudayaan Jawa (PLKJ) Surakarta 1996 memberi penghargaan dan medali emas (PLKJ Award 1996) sebagai Radio Pelestari  Budaya Tradisional.
Kini secara perlahan, lanjut Untung, sebagian peralatan sudah ada pembaharuan dan tak kalah pentingnya kendaraan operasional pemancar pun juga diberikan baru. “Sayangnya, kendaraan baru hanya untuk acara khusus. Untuk kegiatan sehari-hari masih menggunakan mobil buatan 1979,” ungkapnya.
Ia menambahkan, acara yang digeber selama pukul 6 pagi hingga 12 malam yaitu campursari, wayang kulit, tembang kenangan, dangdut, talkshow, Limbuk Cangik, Baksos, Jumpa Fans, Siaran Langsung, dan Lagu Indonesia.
“Kami mengemas info pertanian melalui pendekatan budaya lokal seperti wayang kulit, ludruk, gending Jawa, campursari, dan lainnya yang memang masih banyak diminati para petani di pedesaan. Paling banyak Limbuk Cangik,” katanya yang kerap disapa Limbuk.
Tak  salah kalau para pendengar yang memberi  julukan kepada Radio Pertanian sebagai Radio Wayang Kulit karena seringnya menampilkan pagelaran wayang kulit.
“Ada yang menyebutnya Radio Macapat karena kami yang tetap konsisten ikut melestarikan seni mocopat, dan ada yg bilang kami ini RRI Wonocolo karena  siarannya agak mirip dengan RRI Surabaya namun domisili kami ada di wilayah Wonocolo,” katanya.
Seiring waktu, lanjut Untung, ke depan radio ini tidak akan berkembang lagi ke frekuensi yang lebih tinggi, mengingat kini frekuensi FM sudah terlalu banyak dan telah banyak yang ditutup. Justru pada tahun mendatang Radio Pertanian ini malah menyiapkan diri untuk perubahan menjadi TV Agro Komunitas. [rac]

Tags: