Berebut Kewenangan Terminal

Yunus SupantoOleh :
Yunus Supanto
Wartawan senior, penggiat dakwah sosial politik

“Tiada perjalanan tanpa terminal.” Begitu kata pepatah untuk memberi makna strategis tempat pemberhentian perjalanan. Sehingga terminal, menjadi titik pertemuan antara moda transportasi dengan calon penumpang. Banyak yang diurus, mulai tempat pangkalan armada, ruang penumpang, pengamanan, sampai warung (tempat makan). Bahkan hampir seluruh terminal dilengkapi dengan toilet. Semuanya berbayar dengan penetapan tarif. Kecuali tempat ibadah (sebagai arena publik) yang tidak dikomersialkan.
Harus diakui, tidak mudah mengelola terminal moda angkutan (penumpang) darat. Banyak kepentingan berhimpitan dalam terminal bus, jarak panjang (AKAP, Antar Kota Antar Propinsi) maupun jarak dekat (AKDP, Antar Kota Dalam Propinsi). Hal itu disebabkan terminal bus bisa dijadikan sebagai tambang penghasilan. Perorangan, kelompok hingga institusi pemerintah, dapat memungut biaya jasa-jasa dalam jumlah besar dari operasional terminal.
Lebih lagi terminal tipe A (besar) yang padat penumpang, sering menjadi rebutan antar instansi pemerintah (pusat sampai pemerintah propinsi dan kabupaten serta kota). Terminal tipe A yang padat penumpang, antaralain Kampung Rambutan di Jakarta, Purabaya Bungurasih di Surabaya, Terboyo di Semarang, serta Leuwi Panjang, dan Cicaheum di Bandung. Yang terbaru Yogya, kini terdapat terminal Giwangan (menggantikan terminal Umbul-harjo) yang selalu ramai selama 24 jam.
Bahkan pada kawasan super padat, dimiliki dua  terminal tipe A dengan pembedaam jurusan. Misalnya, terminal Kalideres untuk jurusan Jakarta ke arah barat (Banten). Terminal Cicaheum untuk jurusan Bandung ke arah timur (Cirebon). Konsep pembedaan jurusan itulah yang akan ditiru oleh Surabaya, dengan pembangunan terminal Tambak Oso Wilangun (TOW). Terminal baru ini untuk penumpang dari Surabaya ke arah pantura Jawa (Tuban sampai Semarang). Namun terminal TOW di Surabaya, tidak diminati masyarakat (bus penumpang umum), sampai kini sepi.
Berbagai retribusi, pajak, iuran, serta berbagai ongkos lain, wajib ditunaikan oleh setiap mobil angkutan penumpang, serta calon penumpang. Juga masih terdapat areal tenant (kawasan yang disewakan) di dalam terminal. Termasuk tiket masuk (peron) terminal, serta toilet. Hanya tempat ibadah (mushalla) yang di-gratis-kan. Bahkan zaman dahulu (sampai dekade awal 1990-an, masih kacau) preman yang masuk pun harus didaftar dan membayar retribusi.
Contoh  Stasiun  KA
Karena identik dengan “tambang” uang, banyak pemerintah daerah (kabupaten dan kota) berlomba-lomba membangun terminal. Biasanya di setiap eks-karesidenan. Tetapi sebagian besar terminal daerah kini nampak sepi. Tidak terdapat angkutan umum (pedesaan) yang bersedia mangkal. Seperti dialami terminal baru tipe A yang dibangun oleh Pemerintah kota Surabaya (Tambak Oso Wilangun, TOW), gagal menjadi “tambang uang.”
Terminal sebagai tempat pemberhentian bus angkutan umum, merupakan amanat undang-undang (UU). Sebagaimana diatur dalam UU Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) pasal 36, dinyatakan: “Setiap Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek wajib singgah di Terminal yang sudah ditentukan, kecuali ditetapkan lain dalam izin trayek.” Sedangkan otoritas sekaligus kewajiban Pemkot untuk pembangunan terminal diatur dalam pasal 17 ayat (1). Yakni, harus sesuai dengan kebutuhan lalulintas dan Angkutan jalan.
Terminal bus tipe A, akan diambil-alih kelola oleh pemerintah pusat (Kementerian Perhubungan). Tetapi sebenarnya, alih-kelola yang tidak mudah, rumit dan membutuhkan anggaran trilyunan rupiah. Setidaknya, perpindahan aset memerlukan ongkos dan pendataan sangat detil. Misalnya, berapa nilai (harga) appraisal terhadap terminal Purabaya, Bungurasih? Pasti sudah trilyunan rupiah. Itu hanya untuk satu area terminal.
Yang lebih rumit adalah pengelolaan-nya. Contoh, tidak mudah mengelola terminal (tipe A) Purbaya di kota Madiun. Hal yang sama juga terjadi pada terminal Arjosari, di Malang. Kondisinya sepi, terbukti dari hampir separuh toko tidak buka. Sebagian penumpang memilih mencegat bus di tengah jalan, dengan alasan keamanan dan kenyamanan. Hingga kini masih banyak preman (pencopet) berkeliaran di terminal (terutama terminal tipe A), memangsa calon penumpang.
Problem utamanya, adalah, terlalu banyak terminal tipe A. Namun tidak disertai manajemen pengelolaan secara baik. Bahkan menurut pengemudi bus AKAP (terutama PATAS), terminal di daerah hanya memeras uang parkir. Tetapi tidak ada penumpang yang masuk. Hal itu disebabkan, banyak penumpang bus jarak sedang (sekitrar 300-an kilometer), memilih menggunakan kendaraan pribadi (atau sewa). Maka harus diakui,  pengelolaan terminal tipe A, harus berbenah secara signifikan, meniru pengelolaan stasiun kereta-api.
Situasi di stasiun KA, kini terasa cukup nyaman dan aman. Tidak ada pedagang asongan, tidak ada preman, tidak ada pencopet. Di dalam kereta pun terasa aman dan nyaman. Kecuali restorasi (pedagang makanan di dalam kereta) yang harganya sangat mahal dan masakannya tidak enak. Bahkan banyak dugaan tidak sesuai etika masak. Begitu pula taksi ecek-ecek, yang masih sangat dekat dengan penumpang yang baru turun dari KA, tepat di bibir pintu keluar stasiun.
Sewa Lahan Selangit
Banyak pembenahan harus dilakukan untuk memperbaiki kualitas pelayanan di terminal tipe A. Sehingga alih-kelola, seharusnya memasukkan “keberhasilan” daerah dalam hal mengelola terminal. Seyogianya dilakukan supervisi oleh pemerintah pusat (Kementerian Perhubungan). Manakala pengelolaan terminal tipe A, dinilai “gagal,” pemerintah pusat melakukan sharing. Setidaknya, pemerintah pusat wajib menunaikan biaya sewa lahan terminal.
Dalam hal sewa lahan, sungguh tidak murah. Pemda dapat memberlakukan Permenkeu Nomor 1 tahun 2015, tentang sewa lahan. Tarifnya sebesar 3,33% dari NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak) per-tahun. Pada kasus terminal Tambak Oso Wilangun  Surabaya (jika nilai lahan Rp 1 trilyun) ongkos sewa bisa mencapai Rp 30 milyar per-tahun. Harga ini diberlakukan oleh Pemprop untuk lahan milik Pemprop yang disewa oleh masyarakat (untuk rumah). Tetapi biasanya, Pemkot Surabaya, maupun Pemkab Sidoarjo, memiliki tarif yang jauh lebih masuk akal (lebih murah).
Selain sewa lahan, pemerintah pusat juga harus membayar PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) kepada Pemda. Jika ditotal, seluruh ongkos sewa dan pembayaran PBB, akan setara dengan penghasilan yang diperoleh dari pengelolaan terminal. Hebatnya, penghasilan tersebut diperoleh tanpa kerja keras. Maka, pengambil-alihan pengelolaan terminal tipe A, bisa dengan mudah di-ikhlas-kan oleh Pemda. Terutama terminal yang “gagal,” seperti  Purbaya di Madiun, dan TOW di Surabaya.
Sedangkan untuk terminal tipe A yang sukses, pemerintah pusat cukup menjadi supervisi untuk pembinaan. Dengan hak pengelolaan yang melekat, pemerintah bisa menetapkan syarat perbaikan. Terutama untuk melindungi keamanan dan kenyamanan masyarakat (penumpang). Sebagaimana diatur UU LLAJ pada pasal 37 ayat (2) bahwa terminal harus memenuhi kelayakan teknis, finansial, dan ekonomi, serta keamanan dan keselamatan.
Dan niscaya, dapat memperoleh penghasilan (masuk kas negara) dari pengoprasian terminal. Antaralain dari biaya parkir bus (khususnya PATAS), dan tiket masuk peron.  Jadi, berebut kewenangan pengelolaan terminal tipe A, sebenarnya tidak perlu terjadi. “Uang halal” tetap bisa mengalir masing-masing ke kas negara maupun kas daerah, dengan tanggungjawab makin enteng.

                                                                                                    ——— *** ———

Rate this article!
Tags: