Berebut Otoritas Keagamaan di Ranah Udara

Judul Buku  : Suara Salafisme Radio Dakwah di Indonesia
Editor    : Din Wahid dan Jamhari Makruf
Penerbit    : Kencana, Jakarta
Cetakan    : I, Februari 2017
Tebal    : 354 halaman
ISBN    : 978-602-422-130-0
Peresensi    : AHMAD FATONI
Pengajar PBA Universitas Muhammadiyah Malang

Kendati teknologi informasi dan komunikasi berkembang sangat pesat, radio tetap menjadi sebuah media komunikasi yang sangat populer. Radio menyertai kita di mana pun dan kapan pun. Di rumah dan di kantor, kita dapat mendengarkan radio tanpa harus berhenti dan meninggalkan pekerjaan. Sambil menyetir pun kita masih bisa mendengarkan berita, lagu, kajian agama, dan lain-lain.
Radio memang tidak seperti media sosial yang dinilai lebih interaktif dan cepat mengabarkan informasi terbaru yang dianggap penting. Tapi bagi segmen masyarakat tertentu, khususnya kalangan Muslim, radio masih dipandang sebagai media dakwah yang efektif, memiliki daya jangkau yang lumayan luas, dan yang terpenting murah.
Buku ini merupakan hasil penelitian tentang fenomena radio dakwah di Sembilan kota di Indonesia: Jakarta, Bogor, Tasikmalaya, Yogyakarta, Surakarta, Mataram, Makassar, Batam, dan Banjarmasin.
Din Wahid dan Jamhari Makruf, selaku editor dan penulis buku ini, menginformasikan bahwa sebagian besar kelompok Muslim sudah memiliki radio dakwah (umumnya radio komunitas). Cuma satu kelompok Muslim yang belum ditemukan memiliki radio dakwah, yaitu Ahmadiyah. Dari temuan riset di lapangan, dalam dua dekade terakhir, radio dakwah milik kelompok Salafi mendominasi (hal.3).
Sejalan dengan era keterbukaan, kemunculan radio dakwah yang dikelola oleh kelompok Salafi cukup fenomenal. Diawali dengan Radio Rodja di Cileungsi, Bogor, sebagai pioner, lalu diikuti beberapa radio Salafi di kota-kota lain di Indonesia. Berbeda dari radio komersial, Radio Salafi menyiarkan ceramah ustadz-ustadz beraliran Salafi, pembacaan AL-Qur’an, dan tidak memerdengarkan lagu-lagu, termasuk nasyid.
Sayangnya, dominasi radio dakwah Salafi di beberapa kota tidak jarang memicu ketegangan, terutama antara kelompok Muslim tradisionalis dan Salafi. Salah satu sebab utama dari ketegangan itu adalah kritik Salafi terhadap praktik-praktik keagamaan yang dilakukan kelompok Muslim tradisionalis sebagai perbuatan yang bid’ah (tidak ada tuntunannya dalam Islam). Akibatnya, konflik secara horizontal antar sesama Muslim pun tak terelakkan.
Selain menghadapi resistensi yang bersifat negatif, ada pula respons positif dari kelompok Muslim tradisionalis. Kelompok yang kontra paham Salafi, berusaha membentengi paham keagamaan pengikutnya dengan mendirikan radio serupa seperti yang terjadi di Cirebon. Di kota ini, kelompok tradisionalis membuat dua stasiun radio: Radio Qu digawangi oleh ulama muda NU Buya Yahya dan Radio al-Kisah FM yang dikelola lembaga dakwah Kota Cirebon.
Fenomena radio dakwah di beberapa kota setidaknya menunjukkan dua hal. Pertama, munculnya agama di ruang publik. Dalam konteks ini ajaran agama diajarkan, disiarkan dan didiskusikan secara interaktif sehingga pendengar bisa bertanya langsung kepada narasumber. Agama akhirnya menjadi komoditas publik yang dikemas dengan berbagai aksesoris.
Kedua, timbulnya kontestasi otoritas keagamaan di ranah udara. Kontestasi ideologi terjadi tidak hanya dengan kelompok Muslim lain, tetapi juga dengan budaya populer yang berkembang kian marak melalui berbagai media lainnya. Para juru dakwah menilai di balik budaya populer terkandung upaya sekulerisasi untuk merusak mental kaum Muslim.
Pertanyaannya, mengapa kelompok Muslim Salafi lebih memilih radio sebagai media dakwah? Bagi mereka, menyampaikan dakwah melalui radio itu dianggap lebih efektif dan murah. Masuk ke hotel tanpa membayar atau mengetuk pintu. Masuk ke rumah-rumah tidak harus minta izin. Masuk ke mobil-mobil juga bebas beaya.
Selain itu, berdakwah di radio dapat menjangkau pendengar yang lebih luas. Berdakwah di radio bisa menyasar orang yang sedang menyetir mobil atau ibu-ibu yang sedang memasak di rumah. Sementara jika berdakwah melalui televisi, mengharuskan pemirsa tetap fokus pada tayangan yang disajikan.
Dari segi materi, radio milik Salafi memang terkesan monoton. Isinya cuma ceramah keagamaan dan pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an. Kalau pun ada program yang interaktif ialah program “Doa by Request”. Pada program itu pendengar diajak untuk meminta bacaan doa tertentu kepada ustadz yang menjadi penyiarnya. Adapun radio dakwah yang dikelola non-Salafi, biasanya relatif lebih berwarna. Selain ceramah dan tartil al-Quran, juga ada program musik, terutama qasidah.
Bagaimanapun, kelompok Salafi lebih agresif dan efektif dalam menyiarkan dakwahnya. Radio Rodja tidak hanya bisa didengar melalui radio dari frekuensi AM, tapi juga melalui streaming. Meskipun ada pemirsa yang sedang di luar negeri, misalnya, bisa mengakses radio itu selama ada jaringan internet.
Di balik progresivitas radio dakwah yang dikelola kelompok Salafi, penulis buku ini mengajak pemerintah, para alim ulama, kaum Muslim dan masyarakat umumnya agar selalu menjaga kerja sama dalam rangka merajut harmoni kehidupan beragama. Perbedaan paham di antara sesama radio dakwah hendaknya diminimalisir, dengan mengadakan forum radio dakwah untuk mendialogkan titik persamaan di tengah kemajemukan.

                                                                                                        ————– *** —————–

Tags: