Berhaji Cukup Sekali dan Kisah Teladan Lainnya

Data buku:
Judul: 30 Kisah Teladan Seri 10
Penulis: KH. Abdurrahman Arroisi
Penerbit: Rosda, Bandung
Cetakan: Desember, 2021
Tebal: 126 halaman
ISBN: 978-602-446-615-2
Peresensi: Muhammad Itsbatun Najih*

Bergiat di Muria Pustaka, Kudus
Beragama itu mengasyikkan. Tidak memberatkan; senantiasa bertendensi memudahkan. Pada ibadah tertentu seperti haji, selalu disorongkan dengan keterangan tambahan: bagi yang mampu. Dengan artian, bila tidak cukup biaya, tidak perlu dipaksakan berutang. Selain beban biaya, keterbatasan fisik bisa menjadi pembatal wajib berhaji. Dan, buku ini memotret berhaji ala Nabi secara apik sebagai kisah yang mesti diteladani.
30 Kisah Teladan merupakan buku seri yang amat laris sejak terbit awal tahun 1990 dan dicetak berulang kali. Adalah Abdurrahman Arroisi (AA): seorang dai, akademisi, budayawan, sekaligus penulis prolifik. Tinggalan “magnum opusnya”, adalah buku seri tersebut yang terbabar hingga 12 jilid. Lahir di Pemalang tahun 1944 dan wafat pada 1997. Didikan pesantren di Cirebon dan Krapyak; menempuh kuliah di Surabaya, serta ketertarikannya pada dunia seni, menjadikannya keluasan pengetahuan sebagai jaminan mutu karyanya yang melegenda ini.
Satu hal yang selalu konsisten pada setiap karya-karyanya pula adalah, sisipan kritik sosial dalam narasi praktik keberagamaan. Pada tahun buku ini edar luas sekitar 30 tahun silam, kita mafhum antrean haji tidaklah seperti sekarang. Namun, AA selaku pengisah seperti bisa menebak prospek semarak berhaji dalam konteks sosial. Ya, AA berkisah dengan mengambil iktibar hajinya Nabi Muhammad Saw. Bagaimanakah teladan Nabi berhaji?
Buku berwajah anyar, segar, dan kekinian ini, rupanya relevan dan kontekstual hingga hari ini. Karya AA bukanlah semacam kumpulan artikel populer ilmiah. AA berkisah pendek-pendek layaknya cerita rakyat tetapi bersumber dari kisah nyata. Diksi dan alur pengisahan mirip sebuah catatan pribadi: mengalir dan sederhana. Ya, AA menginformasikan bahwa Nabi hanya berhaji sekali. Padahal kalau bisa, Nabi punya kesempatan hingga tiga kali. Pun, Nabi berumrah sunah hanya beberapa kali. Toh bila berkenan, Nabi punya kesempatan hingga ribuan kali.
Meski begitu, AA berikhtiar keras menihilkan kesan menggurui/menginstruksi untuk menapaktilasi Nabi agar cukup berhaji sekali. Hanya saja, AA menguar bahwa fardu berhaji hanya sekali seumur hidup. Pengisahan AA: betapapun banyaknya harta seorang muslim, betapapun luasnya kesempatan yang tersedia, melaksanakan ibadah haji lebih dari sekali bukanlah pekerjaan yang diwajibkan. Imbuh AA: apalagi saat umat Islam masih dilanda kemiskinan, adalah lebih mulia kekayaan yang dipunyai untuk kepentingan ibadah sosial-kemanusiaan ketimbang berangkat ke Tanah Suci berulang kali (hlm: 100).

Relevansi tema
Tema-tema yang dikisahkan AA amat beragam. Selain kisah Nabi dalam sejumlah hal, juga menceritakan para wali, pemimpin negara, ulama, serta orang-orang biasa. Kesemua cerita hasil pembacaan panjang seorang AA pada literatur klasik pesantren dan amatan di lingkungannya. Tak ada petuah yang dirasakan pembaca lantaran AA mengisahkan dengan narasi egaliter; menihilkan sudut pandang tokoh aku sebagai simbol kebersahajaan AA yang tidak menganggap dirinya tenar dan masyhur.
Karena buku ini pernah masyhur pada zamannya, apakah kehadirannya dengan terbitan ulang ini bisa menyajikan kebaruan pemaknaan? Sangat bisa. Pembaca boleh jadi mafhum atas berjuta kisah perjalanan manusia. Kisah-kisah orang lampau yang familiar dan kemudian selalu ditancapkan sebagai pembelajaran generasi selanjutnya. Namun, sejauh mana kisah lampau tersebut bisa selalu relevan dan kontekstual terhadap masa sekarang alias tak lekang waktu?
Pembaca amat mungkin merasa perbincangan topik haji vis a vis kondisi sosial umat seperti di atas, sudah tidak lagi relevan. Mengingat antrean untuk naik haji saat ini saja mencapai belasan hingga puluhan tahun. Karena itu, agaknya janggal bila masih membincangkan untuk bisa pergi haji berkali-kali. Walhasil, diperlukan pembacaan ulang sekaligus menghasilkan tafsiran anyar. Semisal dengan menganalogikannya dengan umrah. Ibadah umrah nyaris sama dengan ritus haji sehingga disebut haji kecil. Persamaannya, menunaikan umrah butuh biaya besar.
Fenomena sosial mutakhir mengabarkan bahwa umrah telah menjadi tren di masyarakat lantaran masa tunggu berhaji yang amat lama. Sedangkan umrah bisa ditunaikan kapan saja dan spiritnya seperti halnya berhaji. Sementara yang menjadi soalan, umrah seperti itu berhukum sunah di mana status hukumnya sama dengan haji untuk kedua kali. Maka, di sinilah relevansi kisah AA yang menyayangkan berhaji berkali-kali dengan tren umrah seperti hari ini. Dengan kata lain, seperti anjuran implisit AA, akan lebih baik bila biaya perjalanan umrah dialokasikan untuk ibadah sosial.
Selain kisah di atas yang oleh AA diberi judul nyentrik “Islam tanpa Haji”, juga terbabar 29 kisah lainnya dalam satu seri buku. Total 12 seri buku ini alias 360 kisah, menitikberatkan laku ideal keberagamaan: kepedulian terhadap liyan, kritik sosial, serta hikmah-hikmah kehidupan dari aneka peristiwa keseharian; menegaskan bahwa semua kisah manusia tidak berujung kesia-siaan nirmakna.
Di tengah problem kebangsaan, keumatan, dekadensi moral, keberagamaan yang kaku, kehadiran buku ini bisa menjadi oase guna mereguk iktibar agar arif membaca fenomena sosial dewasa kini dan bijak melangkah agar tidak terjerembab dengan bercermin melalui kisah-kisah teladan orang terdahulu.

———- *** ———-

Tags: