Berharap Bisa Sekolah Gratis Meski Tak Punya Identitas Kependudukan

Kabid PNFI Dindik Jatim Nashor saat mengunjungi PAUD tempat Intan, salah satu anak PSK yang belajar di  PAUD My Home Jalan Kupang Gunung Timur, Surabaya.

Kabid PNFI Dindik Jatim Nashor saat mengunjungi PAUD tempat Intan, salah satu anak PSK yang belajar di PAUD My Home Jalan Kupang Gunung Timur, Surabaya.

Kota Surabaya, Bhirawa
Seorang anak lahir sudah menanggung dosa. Dilahirkan tanpa ayah, lalu ditinggal sang ibu sejak masih balita. Masyarakat pun lupa bahwa sebenarnya itu adalah anugerah. Hanya karena takdirnya dilahirkan dari rahim PSK (Pekerja Seks Komersial) di eks Lokalisasi Dolly Surabaya.
Intan hanya satu nama di antara sekian balita yang mungkin memiliki nasib serupa di eks Lokalisasi Dolly. Jika boleh memilih dilahirkan oleh siapa, balita 3,5 tahun ini tentu ingin dilahirkan dari rahim yang lebih terhormat. Sehingga kelak dia tidak terpasung dalam diskriminasi yang tumbuh secara alami di lingkungan sosialnya.
Sejak Lokalisasi Dolly itu ditutup tahun lalu, Intan dititipkan ibunya ke tetangga yang kini merawatnya, yakni Sri Rahayu. Ibu Intan kemudian pergi dan belum pernah kembali lagi. Yayuk, sapaan Sri Rahayu, kemudian memilih merawat Intan seperti  anak angkat. “Semua tetangga sudah tahu dia anak PSK. Makanya saya sempat dilarang merawat Intan. Mereka bilang masih banyak anak yatim kalau mau merawatnya sebagai anak,” tutur Yayuk ditemui saat menemani Intan ke Taman Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) My Home di Jalan Kupang Gunung Timur Surabaya kemarin.
Yayuk sudah menganggap Intan seperti anak sendiri. Semua kebutuhan dicukupi dengan segala keterbatasan ekonomi keluarganya. Tak terkecuali dalam hal pendidikan. Karena tak memiliki cukup uang, Yayuk pun memilihkan Intan sebuah PAUD yang gratisan. Sudah enam bulan Intan mengenyam pendidikan di PAUD yang didirikan di sebuah bekas wisma oleh Badan Musyawarah Antar Gereja (Bamag) Surabaya itu.
“Memang fasilitasnya terbatas, tapi di sini gratis. Beda dengan PAUD yang ada di Balai RW. Seragamnya saja harus bayar Rp 200 ribu lebih. Belum bulanannya, belum biaya lainnya seperti makanan bervitamin,” kata Yayuk disambut anggukan wali murid lainnya yang juga senasib.
Meski sudah diterima di PAUD yang gratisan, Yayuk masih bingung, karena saat ini Intan belum memiliki administrasi kependudukan sama sekali. Baik Kartu Keluarga (KK) maupun akta kelahiran. “Sebenarnya mau saya masukkan ke KK saya, sekaligus saya buatkan akta kelahiran, tapi kata orang-orang biayanya mahal. Saya masih belum punya uang,” tuturnya polos.
Kekhawatiran Yayuk sebenarnya bukan hanya soal administrasi, yang lebih dikhawatirkan justru nasib pendidikan Intan setelah selesai dari PAUD. “Tidak mungkin Intan di PAUD terus. Dia harus melanjutkan ke SD, SMP dan seterusnya. Tapi kalau tidak terdaftar sebagai warga Surabaya, tidak bisa sekolah gratis,” kata dia cemas. Meski bukan darah dagingnya, Yayuk tetap berharap Intan kelak bisa mengenyam pendidikan setinggi mungkin.
Saat belajar, Intan memang terlihat begitu pendiam dibanding teman lainnya. Namun para bunda PAUD yakin, Intan punya potensi yang bisa diasah di usianya yang masih dini.  Nely Betteng, ialah salah satu bunda Paud yang mengasuh Intan. Keteguhannya dalam mengasuh anak-anak usia dini itu tidak terbayar dengan uang. Meski semula tak mudah mencari peserta didik yang mau belajar di tampatnya.
“Anak-anak didik ini kita mencarinya ke gang-gang kampung dan pasar-pasar dengan brosur atau dari mulut ke mulut,” kata dia.
Dia menganggap anak-anak PSK ini adalah korban tak berdosa dan harus punya kesempatan yang sama untuk tumbuh dan berkembang. Karena itu, dia lebih mengutamakan karakter dalam mengajar anak dibanding pengetahuan mereka. Khususnya dalam hal peduli dengan sesama manusia dan membangun percaya diri anak.
“Kita juga selalu mengajak anak-anak ini untuk selalu mendoakan orangtuanya tanpa memperhitungkan apa yang sudah dilakukan mereka kepada anaknya,” kata dia.
Nelly mengaku tidak hanya Intan yang bernasib demikian. Dia lalu menceritakan seorang anak bernama Erin yang juga ditinggal kedua orangtuanya. Bapak Erin dipenjara karena kasus narkoba, sedangkan ibunya yang bekas PSK kini dirawat di rumah sakit karena komplikasi. “Erin sekarang diasuh sama PKL  (Pedagang Kaki Lima) dan sekolah di sini,” kata perempuan asal Toraja, Sulawesi Selatan.
Semua cerita dan keluh kesah itu didengar langsung oleh Kabid Pendidikan Non Forma dan Informal (PNFI) Dinas Pendidikan Jatim Abdun Nasor. Dia sengaja mendatangi PAUD tersebut untuk mengetahui bagaimana kondisi PAUD secara riil di lapangan. “Ini rutin kita lakukan. Berbagai masukan baik dari masyarakat dan pengelola PAUD itu selalu menjadi pertimbangan kami selaku pemerintah,” kata dia.
Saat mendengar cerita Intan, Nasor sempat kaget lantaran mereka memilih sekolah di PAUD My Home yang gratis dibandingkan PAUD di Balai RW yang berbayar. Nasor mengaku, meski diperbolehkan untuk menarik partisipasi dari masyarakat, seharusnya pihak pengelola juga memperhatikan kondisi sosial dan ekonomi peserta didik.
Sebelum mengakhiri kunjungannya, Nasor berjanji Intan dan anak-anak seusianya yang bernasib sama akan terjamin pendidikannya. Termasuk saat masuk ke jenjang SD nanti. “Silakan menghubungi kami kalau Intan kesulitan mendaftar ke SD. Nanti akan kita fasilitasi agar Intan bisa terus sekolah,” pungkas dia. [tam]

Tags: