Calon Panglima TNI yang diajukan Presiden (Jenderal Agus Subiyanto) sudah disetujui DPR-RI. Pada uji kelayakan dan kepatutan, Jenderal Agus Subiyanto, mengusung jargon visi “PRIMA.” Yakni akronim dari, TNI yang profesional, responsif, integratif, modern, dan adaptif. Hampir seluruh visi “PRIMA” akan diperlukan dalam tgugas strategis, terutama menghadapi Pemilu 2024. Selama dua dekade terakhir, TNI terbukti sukses memperkokoh suasana civil society.
Paradigma civil society (supremasi sipil) secara nyata tercantum dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dalam konsiderans Menimbang, huruf d, dinyatakan “bahwa Tentara Nasional Indonesia dibangun dan dikembangkan secara profesional sesuai kepentingan politik negara, mengacu pada nilai dan prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan ketentuan hukum internasional yang sudah diratifikasi, dengan dukungan anggaran belanja negara yang dikelola secara transparan dan akuntabel.”
Maka pada masa kini TNI tidak bisa hanya tinggal di barak. Melainkan harus “melayani” kepentingan rakyat, tak terkecuali operasional militer selain perang. Termasuk memperkuat ketahanan kesehatan masyarakat, dan mengawal tahapan Pemilu, dan Pilpres sampai selesai. Dengan kepastian jaminan (yang kuat) netralitas. Sesuai “Jati diri” TNI sebagai mandatory (perintah) konstitusi. Karena antara rakyat, TNI, dan Kepolisian RI, sama-sama memikul tanggungjawab dalam Sistem Hankam Rakyat Semesta.
Perintah konstitusi, tercantum dalam Undang-Undang Dasar (UUD). Pada pasal 30 ayat (1) dinyatakan, “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.” Selanjutnya disambung dengan pemahaman Sistem Hankam, pasal 30 ayat (2), menyatakan, “Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Indonesia Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung.”
Maka TNI (dan Polri) harus senantiasa bersama-sama rakyat. Serta tidak berpolitik. UU TNI pada pasal 2, huruf d, menyatakan “Tentara Profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, ….” Jargon visi “PRIMA,” terasa tepat menjadi arah tindakan (dan seluruh aksi) prajurit.
Dalam UU TNI, nyata-nyata terdapat frasa kata “tidak berpolitik praktis.” Berdasar pengalaman beberapa dekade silam, ke-berpihak-an TNI bisa menjadi keterbelahan TNI, dan keterbelahan sosial yang luas. Karena TNI berasal dari masyarakat. Walau tidak mudah mengawal euphoria supremasi sipil. Maka marwah TNI wajib dijamin dengan profesionalisme, dan kesejahteraan prajurit.
Menurut Jenderal Agus Subiyanto, TNI sebagai alat pertahanan negara, wajib profesional. Menjadi simbol bangsa Indonesia yang bermartabat. Paradigma tantara TNI juga harus responsif menghadapi perkembangan lingkungan yang strategis. Terutama berkait penyelenggaraan Pemilu, dan Pilpres 2024. Setiap anggota prajurit TNI telah menyatakan sumpah setia terhadap NKRI yang berdasar Pancasila dan UUD.
Juga terdapat Sumpah Panglima, yang berbunyi, “Demi Allah, Saya Bersumpah: bahwa saya, akan setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta akan menjalankan segala peraturan perundang-undangan, dengan selurus-lurusnya, demi dharma bhakti saya kepada bangsa dan Negara; ….”
Selama dua dekade terakhir, TNI telah terbukti sukses mengawal civil society. Seluruh rakyat Indonesia mengharap Panglima baru netral dalam setiap hajat politik, di pusat hingga di daerah. Namun harus diakui pula, hingga kini negara masih “berhutang” peningkatan profesionalisme TNI. Juga “berhutang,” kesejahteraan prajurit.
——– 000 ———