Berharap Untung dari Olahan Buah Siwalan dan Air Legen

Baharudin Jamil Dwi Putra asal Kabupaten Tuban (kiri) menunjukkan kecap yang diolah dari legen bersama Kabid Pendidikan Non Formal dan Informal Dindik Jatim Abdun Nashor (kanan).

Baharudin Jamil Dwi Putra asal Kabupaten Tuban (kiri) menunjukkan kecap yang diolah dari legen bersama Kabid Pendidikan Non Formal dan Informal Dindik Jatim Abdun Nashor (kanan).

Dari Pameran Lembaga Kursus dan Pelatihan se-Jatim
Kota Surabaya, Bhirawa
Dinas Pendidikan (Dindik) Jatim kembali mempertemukan para pengelola Lembaga Kursus dan Pelatihan (LKP) dari berbagai daerah di Jatim. Momen ini menjadi tempat para pendidik dan warga belajar menambah wawasan sekaligus mejeng karya. Seperti yang ditunjukkan peserta asal Tuban dengan aneka produk dari olahan buah siwalan dan air legen.
Kecap manis, umumnya dikenal sebagai produk olahan dari kedelai hitam. Tapi tidak semua kecap harus seperti pada umumnya. Karena air legen yang selama ini biasa diminum langsung atau dijadikan tuwak ternyata bisa disulap menjadi kecap. Rasanya pun tak kalah dengan kecap dari kedelai hitam hasil olahan industri.
Di Surabaya, kecap dari legen itu bisa ditemui sejak kemarin hingga, Selasa (27/10) hari ini. Selama dua hari ini, Baharudin Jamil Dwi Putra membawa produk itu langsung dari Tuban untuk mengikuti pameran LKP se-Jatim di pusat perbelanjaan Surabaya Town Square (Sutos). “Tuban selama ini dikenal sebagai daerah penghasil tuwak terbaik. Bahannya juga dari legen. Padahal kalau dipikir, daripada dijadikan tuwak lebih baik kecap legen. Manfaatnya jauh lebih besar,” ungkap Baharudin, Senin (26/10).
Pria yang juga menjadi tutor di LKP Inten’S ini mengaku, kecap dari legen lebih rendah risiko daripada kecap manis pada umumnya. Sebab, rasa manis yang dihasilkan kecap ini murni dari air legen bukan pemanis tambahan. “Cara membuatnya pun sederhana. Air legen yang baru diambil dari pohon itu langsung direbus hingga mengental dan berwarna cokelat pekat,” kata pria yang juga mahasiswa di Universitas Ronggolawe Tuban itu.
Setelah warna berubah kecokelatan, rempah-rempah yang terdiri dari batang sereh, ketumbar dan jinten dicampurkan. Sambil mencampur rempah, rebusan legen terus diaduk agar merata. “Memang cukup lama merebusnya. Tapi jangan terlalu lama juga, karena semakin lama akan semakin kental. Kalau terlalu kental, malah jadi gula merah,” ungkap dia.
Selain kecap, Baharudin mengaku juga telah membuat es krim dan dodol dari buah siwalan. Buah ini berasal dari satu pohon dengan legen. “Besok (hari ini), es krim dan dodol siwalannya akan datang dan kita jual juga di sini. Hitung-hitung cari untung di sela-sela ikut kegiatan pameran ini,” kata dia.
Baharudin mengaku sudah terbiasa menjual produk-produk tersebut di pasaran. Sebab, keuntungan yang diperoleh dari penjualan akan digunakan untuk biaya operasional lembaga yang menaunginya. “Kebetulan warga belajar kita ini anak-anak putus sekolah dan jalanan yang biasa ngamen. Agak susah mengajak mereka belajar. Bisanya ya begini, belajar keterampilan sekaligus cari uang,” kata dia.
Satu botol, dia biasa menjual Rp7.500. Menurutnya, ini harga yang cukup sepadan dengan kualitas rasanya. Teksturnya lebih encer dari kecap biasa, namun rempahnya memberi rasa yang khas.
Kabid Pendidikan Non Formal dan Informal Dindik Jatim Abdun Nashor mengungkapkan, pameran ini sengaja dibuat untuk mempromosikan pendidikan non formal di tengah-tengah masyarakat. Dipilihnya pusat perbelanjaan sebagai tempat pameran adalah strateginya. Sebab di sana, orang datang setiap hari tanpa diundang. “Mereka juga bisa belanja dari produk-produk lokal yang dibawa dari berbagai daerah di Jatim oleh pengelola LKP ini,” ungkap Nashor.
Nashor menambahkan, hal terpenting dari karya-karya ini sesungguhnya terletak pada proses pembuatannya. Sebab, di sana warga belajar dilatih keterampilannya. Hanya saja, tidak banyak LKP yang memiliki sarana dan prasarana memadahi. Tak terkecuali LKP yang sudah dijadikan sebagai Tempat Uji Kompetensi (TUK). Padahal, TUK ini penting untuk memfasilitasi warga belajar memperoleh sertifikat kompetensi. “Sejak dulu, sertifikasi kompetensi ini kita galakkan di pendidikan non formal. Tapi memang belum optimal karena jumlah LKP yang sudah menjadi TUK di Jatim sangat minim,” pungkas dia. [Adit Hananta Utama]

Tags: