Berikan Pesan Moral Stop Bullying Melalui Pewayangan

Siswa program Education & Cultural Exchange Thailand Arunocha Autamaviriya belajar mendalang yang didampingi guru seni budaya SMPM 5 Surabaya, di gedung Cak Durasim, Rabu (14/3).

Surabaya, Bhirawa
Perilaku Bullying yang masih saja terjadi di lingkungan masyarakat, sekolah, maupun pergaulan, mendapatkan reaksi keras dari berbagai pihak. Hal tersebut lantaran, dampak yang diberikan oleh pelaku Bullying tidak hanya secara fisik, melainkan juga secara psikis (beban mental) kepada korban. Bahkan, perilaku Bullying sendiri, tidak memandang umur untuk korbannya.
Oleh karenanya, melalui program Education & cultural exchange yang bekerjasama dengan Pluakdaeng Pittayakom School Rayong Thailand, SMP Muhammadiyah 5 Surabaya memberikan suguhan pesan ‘Stop Bullying’ melalui Pedalangan.
Kegiatan pengenalan budaya pedalangan tersebut, dilakukan di gedung kesenian Cak Durasim Surabaya.
“Sekarang masih kita lihat di era sigital, masih banyak anak-anak yang nge bully teman-temannya. Kita ajak pelajar Thailand untuk belajar pewayangan dengan tema Stop Bullying” ujarnya Seni Budaya Encik Hendarsyah.
Diakui Encik Hendarsyah bahwa sebagai bentuk upaya pencegahan perilaku bulliying, pihaknya menggunakan media pewayangan dalam menyampaikan pesan moral ‘Stop Bulliying’ kepada siswa nya secara khusus maupun pada siswa thailand.
“kita kenalkan budaya kita. kita beri contoh bahwa jaman dulupun yang kental akan pewayangan juga sudah mengenal bullying” Ungkap nya.
Hal tersebut, imbuhnya kemudian di terjemahkan dalam dunia modern, bahwa perilaku tersebut tidak boleh dari dulu. Dalam progran Education and Cultural exchange tersebut, sebanyak 5 siswa Thailand berperan serta didalamnya.
Pegiat seni ini menuturkan jika keikutsertaaan siswa Pluakdaeng Pittayakom dalam seni pedalangan adalah sebagai bentuk pembelajaran dalam menyampaikan pesan moral bulliying. Dalam pedalangan tersebut, Encik menjelaskan jika Ia mengangkat judul ‘Padadaran Putra Siswa Suka Lima’. Di mana dalam pewayangan tersebut menceritan tentang dua tokoh besar dari sebuah kerajaan, yaitu Dusasana dan Bimasena. Keduanya mempunyai otak yang pintar, berbadan besar dan kuat. Namun, karena Dusasana melalkukan bullying kepada Bimasena, pertempuran pun pecah. Di tengah kekalahan salah satunya, sang gurupun memisahkan mereka dan memberikan pesan. “Tidak baik membullying itu, karena kalian sama-sama saudara dan satu perguruan” pesan sang guru dalam pewayangan.
“Meskipun mereka sama-sama besar dan kuat, akan tetapi jika salah satunya tidak patuh dan bertindak semaunya sendiri dalam melakukan bullying, pasti dia akan kalah” tutur Encik sapaan akrab Encik Hendarsyah.
Encik menuturkan jika dengan media tersebut pihaknya bisa mengajarkan banyak kepada siswa-siswinya. Bagainana mereka harus menahan diri agar tidak mengganggu temannya secara berlebihan.
“Bergurau itu boleh, tapi ada batasnya. Pada saat seseorang mengatakan tidak pada gurauan yang kita lontarkan, bahwa berikutnya adalah sebagai pengganggu hak jika tetap dilakukan” katanya.
Sementara itu, siswa program pertukaran pelajar Arunocha Autamaviriya mengungkapkan jika media pewayangan juga ada di negaranya (Thailand, red). Diakuinya, kegiatan tersebut merupakan sesuatu yang bagus untuk membandingkan dan belajar banyak hal baru. Namun, ia mangatakan jika ada perbedaan dalam seni pedalangan antara Thailand dan Indonesia. Jika di indonesia hanya dimainkan satu dalang, berbeda dengan Thailand yang di lakukan oleh dua orang.
Arunocha Autamaviriya menuturkan jika perannya sebagai dalang merupakan pengalaman yang pertama kali banginya. Ia bercerita bahwa kegiatan tersebut merupakan sebuah hal yang menyenangkan dan menarik.
“Dari semua adegan pedalagan, hal tersulit adalah mengingat naskah. Bagian itu yang tersulit” pungkasnya. [ina]

Tags: