Beriktikaf di Masjid Kedung Macan yang Berumur Satu Abad

Masjid Kedung Macan yang berada di Dusun Sambong Santren, Desa Sambong Dukuh, Kecamatan Jombang, Kabupaten Jombang. [Arif Yulianto]

Dibangun 1912, Tak ada Speaker untuk Adzan dan Masih Gunakan Jam Istiwa
Kab Jombang, Bhirawa
Masjid Kedung Macan ini diketahui telah berumur lebih dari satu abad dan hingga kini masih difungsikan dengan baik. Masjid ini terletak di Dusun Sambong Santren, Desa Sambong Dukuh, Kecamatan Jombang, Kabupaten Jombang. Tak ada nama khusus untuk masjid ini, warga biasa menyebutnya dengan Masjid Kedung Macan. Nama Kedung Cacan sendiri berasal dari nama dusun ini sebelum nama Dusun Sambong Santren ada.
Masjid Kedung Macan dibangun sangat sederhana. Bangunannya berupa tembok tebal yang mengelilingi masjid. Mihrab utama, terbagi dalam dua ruangan, ruangan lebih besar untuk jamaah laki-laki, sementara ruangan lebih kecil untuk jamaah perempuan. Atapnya juga dibangun sederhana, bahkan jika dilihat dari jauh, masjid ini terlihat seperti bangunan musholla.
Menurut pengurus masjid setempat, bangunan ini memang sudah ada sejak lebih dari 100 tahun lalu. Dibangun oleh Kiai Ali Muntaha, masjid ini merupakan bangunan yang berdiri diatas tanah wakaf. “Tahun pembangunannya bisa dilihat pada bagian kuda-kuda, angkanya 1912. Sementara izin digunakan untuk salat Jumat itu tahun 1913, dokumennya waktu itu tulisan Belanda, dan masih tersimpan sampai sekarang,” ujar pengurus Masjid Kedung Macan, Muhammad Ibrahim saat ditemui, Kamis (26/12) lalu.
Kepengurusan masjid ini pun diturunkan secara turun-temurun, Brohim sapaan akrab Muhammad Ibrahim, merupakan pengurus masjid keempat dari turunan ketiga pembangun masjid. “Memang setelah mbah saya, kemudian ke ayah, kakak terus ke saya ini, karena masjid wakaf pengurusnya harus dari keluarga,” imbuhnya.
Meski sempat mengalami beberapa kali rehabilitasi, Brohim menyebutkan, bangunan utama mihrab terbilang hampir sepenuhnya masih utuh. Seluruh bangunan tembok juga masih asli, meski perubahan dilakukan pada plafon hingga lantai.
“Imaman masih asli, ruangan putra-putri itu juga asli, cuma mimbar khotib diganti. Dulunya kayu, sekarang pakai tembok, sama tambahan teras depan itu, disesuaikan dengan banyaknya jamaah,” ucapnya.
Masjid Kedung Macan ini hingga saat ini masih terus eksis dan digunakan masyarakat untuk beribadah Sholat Lima Waktu serta sholat Jumat. Tak hanya itu, masjid tua ini juga menjadi salah satu tempat acara Khususiyah para Jamiyah Qodiriyah wan Naqsabandiyah setiap kamis sore.
Sebagai salah satu masjid tua dan pusat tarekat, Masjid Kedung Macan memiliki beberapa tradisi yang hingga kini tetap dijaga. Seperti pengaturan jam dengan sistem jam matahari, hingga tak adanya pengeras suara.
Sebuah bangunan berbentuk balok berdiri dengan sebuah besi di tengahnya bisa ditemukan di samping selatan masjid. Lokasinya berada tepat di depan tempat wudhu pria. Bangunan ini merupakan jam istiwa, atau jam matahari. “Penentuan waktu sholat memang kita sampai sekarang masih menggunakan jam itu, jadi kita punya jam dan hitungan sendiri untuk masuk waktu sholat,” tutur Brohim.
Brohim menyebutkan, hingga kini jam ini masih digunakan. Setiap hari, Brohim menyebut akan mengatur titik nol jam setiap pukul 12.00 menurut waktu Istiwa. “Setiap jam 12 itu kan matahari tepat di atas, itu kita hitung titik nolnya, nanti waktu sholat akan menyesuaikan itu. Setiap hari kita sesuaikan,” tutur Brohim lagi.
Menggunakan Jam Istiwa, juga akan membuat jam terlihat semakin cepat, bahkan jika diukur dengan jam pada umumnya, waktu Istiwa akan lebih cepat hingga 20-30 menit. “Makanya kalau hari Jumat, kita terlihat mulai dan selesai lebih dulu sholatnya. Karena sesuai Istiwa sudah ‘manjing’ Dzuhur, ya kita mulai,” tambahnya.
Selain masih menggunakan jam kuno, masjid ini juga tidak dilengkapi dengan alat pengeras suara. Hingga saat ini menurut Brohim, untuk penanda sholat biasanya hanya akan menggunakan bedug untuk menunjukkan waktu sholat telah tiba. “Kalau adzan ya adzan biasa, manual tidak pakai speaker atau sound lain,” katanya.
Hal ini menurutnya merupakan wasiat dari pembangun masjid yang tak lain adalah kakeknya. Brohim menyebutkan, sejak dulu penggunaan pengeras suara memang tak pernah digunakan di masjid ini.
“Dari yang mewakafkan dulu tidak boleh pasang pengeras, tidak boleh menarik sumbangan. Makanya seperti pesan kakek saya dulu, kalau ada uang ya silakan dibangun, kalau tidak ada ya biarkan saja. Itu saja yang saya ugemi sampai sekarang,” tutup Brohim. [Arif Yulianto]

Tags: