Berjumpa Mantan Isteri

Oleh :
Alim Witjaksono

Jarang saya memanfaatkan fasilitas yang disediakan hotel ketika menghadiri acara-acara tertentu di berbagai di daerah. Untuk keperluan mandi, biasanya saya bawa sendiri sabun, sikat gigi, sampo hingga handuk di tas ransel. Bahkan, buku-buku bacaan atau novel yang saya sukai tak lupa saya selipkan ke dalam, hingga saya tak sempat membaca-baca koran daerah yang biasa disediakan di loker bacaan. Tapi kali ini, tiba-tiba tangan saya tergerak untuk membaca-baca koran yang tergeletak di salah satu kursi di sekitar taman hotel. Seorang kakek tua berkacamata tebal membiarkan koran itu tertinggal di kursi, sampai kemudian ngeloyor pergi menuju lantai bawah.
Sudah puluhan tahun saya bekerja dan berprofesi sebagai perancang grafis yang cukup terkenal di ibukota Jakarta. Saat ini, perusahaan yang saya pimpin telah mempekerjakan 23 orang, dan kehadiran saya di hotel berbintang ini, lantaran perusahaan kami diberi kewenangan untuk mengadakan promosi dan publisitas yang intensif di wilayah Banten, sebagai salah satu provinsi terbaru di Indonesia.
Sambil iseng-iseng membuka halaman koran, tiba-tiba saya terperanjat kaget, dan seketika membetulkan posisi duduk saya. Pada halaman keenam koran itu, saya mendapati gambar sebesar seperempat halaman, yang menunjukkan wajah mantan isteri saya, Fitriyana.
Mungkin perlu saya jelaskan dulu pada Anda. Bahwa saya telah bercerai dengan Yana (begitu ia disapa) selama 20 tahun lebih. Potongan rambutnya panjang terurai, tubuhnya ramping dan sintal, matanya agak kebiruan, dan tampak tahi lalat kecil menghiasi dagunya yang agak terbelah. Dalam pandangan saya, ia tidak banyak berubah, tetap cantik seperti dulu. Di sebelah fotonya ada seorang lelaki tua dan seorang wanita muda berusia sekitar 25-an tahun.
“Wah, tidak salah lagi,” gumam saya pada diri sendiri. Bertahun-tahun lalu saya memang pernah mendengar bahwa ia telah menikah lagi. Saya mencermati kolom itu, dan setelah membaca beberapa teks yang tertulis, keyakinan saya semakin menguat. Kini, Yana sudah tidak menyandang nama marga saya, Panjaitan. Karena itu, saya menduga lelaki tua yang ada di sebelahnya adalah suaminya yang sekarang. Lalu, siapakah wanita muda yang tampak tersenyum, dan diapit pasangan suami-isteri itu? Tidak salah lagi, dialah Alena Fizahra, puteri tunggal saya yang berpisah dengan ayahnya, sekitar 20 tahun lalu.
Setelah saya cermati dengan seksama, berita pada kolom itu melaporkan bahwa wanita muda tersebut akan mengadakan pameran lukisan pada hari Minggu hingga Selasa esok hari, bertempat di Gedung Kebudayaan Rumah Dunia, Kota Serang.
Saya pernah mendengar kabar bahwa Alena melanjutkan kuliah di Institut Kesenian di daerah Yogyakarta. Setelah lulus, ia banyak berkecimpung dengan para pelukis terkenal di kota itu, juga pernah mengikuti beberapa pameran yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga kesenian ternama di kota gudeg itu.
Belakangan ia digembar-gemborkan sebagai pelukis berbakat dan sedang naik daun. Gambar pada koran itu diambil pada acara pembukaan pameran lukisan beberapa hari lalu, ketika orang tua seniman muda itu hadir untuk mendukung dan menyemangati anak mereka. Dalam cahaya pagi yang cerah itu, saya terus-menerus mengamati gambar tersebut, dengan jantung berdebar-debar, dan kepala terasa pening dan nyut-nyutan selalu.

***

Dulu, setelah berpisah dengan Yana, saya berusaha membuka perusahaan rancang grafis sendiri di daerah Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Usia Alena saat itu baru sekitar empat tahun. Barangkali karena usia kami yang masih muda – dan menikah di semester akhir masa kuliah – kami menganggap masa-masa kehidupan rumah-tangga baru, laiknya di masa-masa pacaran dulu. Jika mengenang hal itu, saya sendiri berkesimpulan bahwa di masa itu masing-masing kami memang tak cukup berpengalaman dalam menjalani kehidupan rumah-tangga.
Sebelum itu, ketika saya membuka kantor di sekitar Pasar Jumat, saya merasa kerepotan pulang-balik ke rumah kontrakan di daerah Pamulang, di mana isteri dan anak saya menanti. Alasan utamanya membuka kantor yang jauh dari rumah, karena merasa kesulitan menyelesaikan pekarjaan dengan anak balita yang begitu rewel dan bandel. Saat itu, terpaksa saya harus bekerja pontang-panting siang hingga larut malam.
Lama kelamaan, saya mulai malas pulang ke rumah karena beberapa alasan, terutama pergaulan saya selepas pulang dari kantor. Saya bincang-bincang banyak dan nongkrong di cafe, membahas ide rancangan baru sembari minum-minum bersama rekan kerja. Saya pun menjadi terbiasa mementingkan acara-acara seperti itu, mengenal satu-dua perempuan cantik, seakan dapat memberi saya energi dan tenaga baru untuk mencurahkan pikiran dan perasaan dalam berkarya dan berkreativitas.
Entah kenapa, semakin akrab dengan perempuan-perempuan malam itu, membuat hidup saya laiknya bujangan, lalu muncul perasaan phobi dan antipati, hingga kemudian semakin menjauh dari keluarga di rumah. Dengan menjadikan kerja sebagai alasan, kerapkali saya tidak pulang ke rumah dalam beberapa hari, bahkan beberapa minggu. Lalu, disusul pertikaian dan percekcokan yang semakin meruncing.
Suatu hari, setelah lama tidak pulang-pulang, saya mendapati rumah kontrakan kosong. Yana telah pulang ke rumah orang tuanya di Kota Serang, membawa Alena yang baru menginjak empat tahun. Ketika saya menjenguk mereka, mertua saya mengendus segalanya, hingga menyodorkan dokumen perceraian pada saya. “Dia sudah kapok tinggal sama kamu,” katanya dengan penuh emosi. “Biar nanti kami yang ngurus Alena.” Setelah itu, kedua mertua saya menegaskan, bahwa saya tidak perlu menengok atau mengunjungi anak perempuan dan cucu mereka lagi.
Setelah mereka mengambil kembali anak dari menantu yang tak disukai, mereka memutuskan tak mau berembuk dan berkompromi. Saya merasa isteri sudah begitu bulat keputusannya, dan seketika berseloroh lantang, “Saya enggak mau lagi dibohongi laki-laki bajingan kayak kamu! Saya sudah capek dipermalukan sama kamu, capak pikiran capek perasaan! Saya enggak bakal memaafkan kamu lagi…!”
Memang, ketika saat itu Yana memergoki saya keluar dari kamar hotel, menyusul perempuan lain di belakang saya, sejak saat itulah ia memandang saya seperti pakaian kotor. Dia mengatakan terus-terang bahwa dia merasa jijik dan muak meladeni saya. Dengan mengingat perkataan sengit itu, saya merasa malu berhadapan dengan mereka, hingga pada akhirnya saya bersedia menandatangani surat perceraian yang mereka sodorkan.

***

Saya memperpanjang waktu untuk tinggal di hotel Serang itu hingga hari Selasa. Pada Senin pagi, saya menelepon kantor di Jakarta untuk menjadwal ulang semua janji pertemuan pada hari itu. Rasa kaget dan terkejut saya, bukan lantaran anak kandung saya, Alena Fizahra tinggal di kota itu, melainkan karena dia mengikuti jejak-langkah kehidupan ayahnya. Saya merasakan ikatan darah yang kuat sekali dengan perempuan muda itu.
Dua tahun setelah bercerai, saya menikahi seorang gadis yang berprofesi selaku desainer. Dengan isteri saya yang kedua, kami dikaruniai dua putera, yang satu sudah kuliah pada semester kedua, satunya lagi masih duduk di bangku SMA. Tetapi, kedua putera saya berminat di dunia music dan otomotif, karenanya saya merasa senang sekali ketika Alena berminat di dunia lukis yang sama-sama memiliki bakat dan keahlian visual dengan saya.
Hari Senin pagi, saya meninggalkan hotel, menyantap bubur ayam Cirebon di pinggir jalan sambil menunggu acara pameran itu dibuka. Sesaat saya merasa ragu, tetapi tekad ini sudah bulat untuk menerima kenyataan apapun yang bakal terjadi.
Saya menunggu beberapa tamu masuk dan mereka membubuhkan tandatangan di meja resepsionis. Matahari sudah meninggi, sekitar Pk. 10.00 pagi, dan saya pun masuk pelan-pelan menuju ruang utama. Benar saja, saya melihat Yana dari pantulan kaca pada salah satu bingkai lukisan. Tubuhnya masih sintal dan ramping seperti dulu, sedangkan badan saya membesar dan mungkin sudah bertambah 15 hingga 20 kilogram beratnya. Saya pun mengenakan kacamata berbingkai hitam yang telah saya persiapkan, dengan berharap ia tidak mengenali saya.
Tak berapa lama, saya melihatnya sedang bercakap-cakap dengan tiga wanita pengunjung. Di ruang itu, ada sekitar tigapuluh lukisan cat minyak menghiasi dinding. Sang pelukis menggunakan warna-warna cerah dan hangat, didominasi warna hijau, merah dan biru. Lukisan-lukisan itu menghangatkan hati orang yang memandangnya. Saat berdiri di hadapan lukisan keempat, yang berupa gadis kecil sedang berdiri di taman, memandangi seorang lelaki (yang mungkin ayahnya) di kejauhan, saya tak dapat menahan air mata yang tahu-tahu sudah berlinang. Dada saya terasa sesak, dan saya menghempaskan diri di kursi sofa yang letaknya agak menyempil, sambil membaca-baca buku Pikiran Orang Indonesia yang disediakan pihak panitia.
Kemudian, saya melanjutkan dan memandangi beberapa lukisan berikutnya. Ketika sampai di lukisan ketujuh, saya mendengar suara Yana, dengan logat Sunda Banten yang halus dan lantang, “Saya mau keluar dulu menemui mereka, mungkin setengah jam lagi saya kembali,” ujar Yana pada ketiga wanita itu.
Ketika mencapai dinding berikutnya, saya melihat dua lelaki dan satu perempuan sedang bercakap-cakap membicarakan kualitas lukisan yang baik. Kedua lelaki itu mengangguk-angguk mendengar uraian si perempuan. Ketika pelan-pelan saya mendekat dan menguping perbincangan mereka, ah, tidak salah lagi, seniman itu adalah Alena Fizahra anak kandungku sendiri. Saya merasa roman mukanya masih seperti dulu, ketika ia berusia empat tahun. Saya merasa setiap detil dari raut wajahnya, juga gerak-geriknya ketika menerangkan sesuatu, tak beda jauh dengan gaya saya.
Seketika itu, terasa ada yang menyumbat di kerongkongan saya. Keringat dingin keluar di sekitar tengkuk dan leher. Jantung berdegup kencang, hingga terbersit kata-kata yang berhamburan di hati ini: “Alena, aku ini orang tuamu, Nak… ayah kandungmu sendiri… saat ini aku bangga sekali, Nak… aku takkan melupakanmu sampai kapanpun, bahkan sampai di akhirat nanti….”
Saya melihat ia berdiri agak lama pada lukisan gadis yang mendekap boneka di dinding kedua. Lukisan itu tampak berbeda dengan yang lainnya, didominasi warna merah, putih dan cokelat menyala. Seorang anak gadis berusia lima tahun yang memenuhi kanvas. Matanya menyorot tajam, seakan beradu pandang dengan sosok yang terpancang menatapnya. Tidak seperti gadis pada lukisan-lukisan lainnya, yang satu ini mencirikan kekuatan dan keberanian, serta kelembutan hati sekaligus.
Sorotan mata yang tajam pada lukisan itu, seakan menjawab bisikan-bisikan dalam sanubari saya: “Ah, mana bisa kau mengaku-ngaku sebagai ayah kandungku? Lalu, ke mana saja kau selama ini… di mana letak tanggung jawabmu…?” Seketika itu, lagi-lagi saya tak dapat menahan air mata yang tahu-tahu sudah berlinang. Maka, kembali saya menghempaskan diri pada sebuah sofa yang terletak di pojok dinding.

***

Saya menuju meja resepsionis untuk membeli dua lukisan anak saya sendiri. “Saya mau beli yang nomor tiga dan nomor tujuh itu,” saya menunjuk ke dinding yang dimaksud. Saya mencatat nama, nomor kontak dan alamat, lalu mereka menyatakan siap mengantarkan ke kamar hotel hari itu juga. Setelah menyelesaikan transaksi, saya kembali menuju dinding terakhir, dan ingin sekali melihat puteri saya yang sedang bercakap-cakap dengan beberapa seniman di sekitar dinding itu.
Ketika saya sedang mengamati sebuah lukisan dalam waktu yang cukup lama, tahu-tahu terdengar suara lembut di belakang saya, “Pak, terimakasih telah membeli lukisan saya,” wanita muda cantik dan seniman itu – saya berhak membanggakan darah daging saya sendiri – menyodorkan tangannya menyalami saya.
“Ya, selamat dan sukses… saya senang sekali pada karya-karya… Mbak… Alena,” kata saya terbata-bata.
“Bisa disampaikan sejenak, bagaimana Bapak bisa mengapresiasi karya-karya saya?” tanyanya lagi.
Tanpa saya duga, dari arah depan tiba-tiba muncul seorang laki-laki memegang kamera dan menyorot komentar saya. Maka, saya pun menjawab apa adanya, “Saya suka pada goresan-goresan Mbak yang bervariasi, juga pada cara menggunakan warna-warni yang terasa hangat.”
“Terima kasih, Pak, saya tidak menyangka Bapak membeli lukisan saya yang nomor tujuh itu. Bagi saya, lukisan itu tampak agak liar dan jalang. Walaupun itu salah satu favorit saya, tapi saya merasa lukisan itu agak menyeramkan.”
Ia tersenyum manis, tetapi kemudian saya menanggapi bahwa hal itu baik-baik saja. Justru menunjukkan kejujuran dari sisi realisme magis pada karya tersebut.
Mata wanita muda itu berbinar-binar. Ia menautkan kedua tangannya seakan-akan berdoa. Sejenak kemudian, saya memerhatikan adanya cincin di salah satu jari manisnya, sehingga kontan saya berucap, “Apakah Mbak sudah menikah?”
“Oh, belum Pak, tapi saya sudah bertunangan, dan dalam waktu dekat ini saya akan melangsungkan pernikahan. Doakan kami ya, Pak.”
Saya mengangguk pelan dan pasti, sambil memejakan mata. Sebelum berpisah dengannya, saya pun berujar, “Saya akan selalu mendoakan Mbak, dan saya berharap setelah menikah nanti, Mbak Alena akan menjadi lebih kreatif lagi.”
Dengan berat hati saya pun melangkah keluar dari gedung itu. Di kamar hotel saya berdoa dengan khusuk, sambil mengatur rencana agar dapat menghadiri acara pernikahan anak saya, karena bagaimanapun saya adalah ayah kandung yang berhak menjadi wali atas pernikahan Alena Fizahra dan calon suaminya nanti.

—— *** ——–

Tentang Penulis:
Alim Witjaksono
Cerpenis dan esais, bertugas di salah satu siaran televisi Indonesia. Menulis prosa dan artikel sastra di berbagai media daring, di antaranya litera.co.id, lensasastra.id, alif.id, islampos.com dan lain-lain.

Rate this article!
Berjumpa Mantan Isteri,5 / 5 ( 2votes )
Tags: