Oleh :
Oryz Setiawan
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya
Harus diakui, bahwa semua negara yang terjangkit pandemi Virus Corona (COVID-19) telah luluh lantak bukan hanya sisi kesehatan, sosial, ekonomi namun juga mengubah berbagai tradisi modernisasi negara termasuk sendi-sendi dasar masyarakatnya. Saat ini negara Jerman, Inggris dan beberapa negara Eropa telah memasuki gelombang kedua (second wave) pandemi, Indonesia justru belum mengetahui secara pasti kapan puncak (peak) pandemi. Minggu -minggu terakhir jumlah penderita terpapar virus asal Wuhan China terus melonjak kisaran 4-5 ribuan bahkan tidak mungkin terus merangkak mengingat risiko potensi peningkatan kasus terus terjadi seperti masifnya demonstrasi, hajatan pilkada, perkantoran, rumah sakit hingga masih ditemukan klaster baru secara sporadis yang secepatnya membutuhkan pelacakan atau contact tracing.
Di sisi lain upaya pencegahan melalui dukungan pemerintah terus dilakukan dalam bentuk pembelian produk vaksin Covid-19 dari tiga perusahaan produsen vaksin yakni Cansino, G42 atau Sinopharm, dan Sinovac dimana ketiga vaksin corona saat ini sudah masuk dalam tahap akhir uji klinis tahap ketiga dan telah memperoleh Emergency Use Authorization (EUA) dimana berwenang untui menguji izin penggunaan metode atau produk medis untuk mendeteksi, mencegah atau mengobati penyakit dalam keadaan darurat (emergency). Belum termasuk vaksin “made in Indonesia” yakni vaksin merah putih yang masih dalam proses uji dan standarisasi. Selain itu EUA adalah instrumen bagi pejabat kesehatan masyarakat dan tenaga medis yang terlibat dalam tanggap darurat Kesehatan, seperti pada kondisi pandemi. Menurut WHO, vaksin merupakan salah satu dari 10 Prestasi Kesehatan Masyarakat Terbesar (Ten Greatest Public Health Achievements). Hal ini bermakna bahwa setelah ditemukan vaksin biasanya terbukti ada penurunan penyebaran penyakit secara signifikan sehingga keberadaan vaksin efektif dalam menekan penyebaran penyakit tertentu.
Belajar dari China
Meski awalnya China “dituduh” dunia internasional sebagai biang kerok atas munculnya virus corona akhir tahun lalu, namun dalam perjalanannya China telah menebus “dosa” dengan relatif cepat menurunkan kasus dan saat ini bahkan China justru telah memulai kehidupan normal. Kehidupan masyarakat di Kota Wuhan yang menjadi pusat awal merebaknya (ditemukannya) virus mematikan yang mahadahsyat itu sudah memasuki situasi normal. Kegiatan sekolah di kota-kota di China, termasuk kegiatan perekonomian di ibu kota, Beijing tampak mulai bergeliat yang terlihat dari mulai dibukanya perkantoran dan pusat-pusat perbelanjaan mulai beraktivitas kembali meski dengan protokol kesehatan standar. Selain itu komitmen pemerintah juga menjadi faktor penentu untuk mengendalikan penyebaran virus. Tak tanggung-tanggung Presiden Xi Jinping menggelar upacara “kehormatan” untuk menghormati tokoh, figur individual, maupun organisasi yang telah berjuang melawan epidemi COVID-19.
Bahkan Sang Presiden memberikan tanda jasa, medali republik dan gelar kehormatan lainnya kepada sejumlah pihak, baik individu maupun organisasi yang dinilai sebagai “pahlawan” atas kontribusi luar biasa mereka dalam melawan ganasnya virus COVID-19. Pendek kata, komitmen Pemerintah China telah memberikan atensi setinggi-tingginya atas semua pihak tanpa kecuali secara totalitas. Kondisi itu merupakan cerminan kekuatan politik negara yang kuat. Dengan pola dan caranya sendiri, China telah berhasil melakukan pencegahan laju penyebaran wabah virus COVID-19 secara signifikan. Lalu bagaimana China yang notabene sebagai negara sosialis-komunis dengan jumlah penduduknya yang mencapai sekitar 1,4 milyar itu mampu memerangi wabah ini dengan cepat dan efektif.
Kecepatan Jadi Kunci
Keputusan Pemerintah Beijing untuk menutup setiap akses keluar masuk melalui jalur transportasi darat, laut, dan udara, baik dari dan ke Kota Wuhan dilakukan dengan cepat dan pengambilan keputusan “penuh risiko” secara cepat pemerintah pusat untuk melakukan lockdown total kota Wuhan dan sekitarnya juga menjadi atensi masyarakat dunia. Dapat dibayangkan, Kota Wuhan sebagai salah satu kota terpadat tentu keputusan tersebut sangat berbalut dilemma bahkan tidak mungkin berdampak pada keterpurukan sosial ekonomi secara masif. Dalam konteks ini dominasi negara sebagai suprakekuatan diuji. Kebijakan pemerintah adalah di atas segalanya, sehingga setiap warga negara harus mematuhinya atau bersifat memaksa (coercive). Coercive Power (kekuasaan paksa) adalah sebuah kekuasaan yang didasari karena kemampuan seorang pemimpin untuk memberi hukuman dan melakukan pengendalian. Secara ekstrim boleh menyebut bahwa guna menyelamatkan jiwa manusia dan penghargaan terhadap esensi dasar kesehatan manusia, Pemerintah China berani mengambil sikap mengesampingkan penilaian terhadap pelanggaran hak asasi manusi sekalipun.
Jangan Bikin Kendor
Upaya penerapan protokol Kesehatan secara masif hingga saat ini masih dinilai sebagai metode pencegahan (upaya preventif) yang efektif untuk menekan rantai penularan Covid-19. Memang harus diakui bahwa setiap negara memiliki kekhasan strategi upaya penanggulangan pandemi ini sesuai kondisi kewilayahan, kondisi topografis dan geografis, kepadatan dan mobilitas penduduk serta situasi sosial ekonomi masyarakat. Setidaknya ada beberapa hambatan (handicap) yang membedakan dengan negara lain seperti China antara lain, sistem negara berbeda sosialis komunis lebih mengedepankan keseragaman di pelbagai lini sehingga gerak komando lebih terstruktur sampai ke akar rumput, sementara negara yang menganut sistem kapitalisme dan demokrasi dalam konsteks epidemiologis lebih sulit mengingat otorisasi kewenangan masing-masing daerah dengan kata lain, setiap daerah baik level provinsi, kabupaten/kota bahkan tingkat RT/RW bisa berbeda cara atau metode penanganannya akibatnya timbul ketidakefektifan, sementara karakteristik virus tidak mengenal batas kewilayahan, mengikuti ritme pergerakan antar manusia serta simpul-simpul kerumunan.
———– *** ————–