Berkat Pembinaan, Kerajinan Bambu Trenggalek Laris di Pasar Global

Salah seorang karyawan UD Bambu Indah Craf sedang mengukur anyaman bambu untuk dibuat besek.

Mendorong UKM Jatim Tembus Pasar Ekspor (1 – Bersambung)

Kedua tangannya bergerak cepat mengukur dan memotong kayu menjadi beberapa bentuk persegi. Dari hasil potongan kayu inilah kemudian dijadikan kerangka berbagai jenis kerajinan bambu. Laki-laki berusia 38 tahun yang biasa dipanggil Murdi ini, mengaku sudah bertahun-tahun bergelut dengan bambu yang disulap menjadi aneka macam kerajinan.

Zainal Ibad, Harian Bhirawa

Murdi merupakan salah seorang dari 50 karyawan UD Bambu Indah Craf. Sebuah usaha yang memproduksi kerajinan bambu, yang berlokasi di RT 18, RW 07, Desa Wonoanti, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur.
Saat ditemui Bhirawa, Sabtu (9/9/2017), bapak dua anak ini mengaku sudah 20 tahun bekerja bersama Sukatno, pemilik UD Bambu Indah Craf. Selama bekerja itu, Murdi telah mampu membuat berbagai jenis kerajinan bambu. Dari menganyam hingga finishing, mulai harga ribuan hingga puluhan juta.
“Saya menguasai semua teknik membuat kerajinan bambu. Termasuk membuat gazebo berbahan bambu, yang harga satu paketnya Rp42 juta. Alhamdulillah, saya senang bekerja dengan Pak Sukatno. Beliau yang mengajari saya teknik-teknik membuat kerajinan. Termasuk menciptakan desain-desain baru,” katanya.
Selama bekerja di UD Bambu Indah Craf, ada dua model upah yang diberikan. Pertama model gaji tetap sebesar Rp2,5 juta. Kedua model borongan. Upah borongan diterapkan jika Sukatno menerima tawaran seperti membuat gazebo. “Keduanya berjalan bersamaan. Jadi kalau dapat tugas borongan, saya dapat penghasilan lebih,” jelasnya.
Istri Murdi, Pujianti juga ikut bekerja dengan Sukatno. Namun, Pujianti hanya mengerjakan kerajinan di rumah. Tidak seperti suaminya yang bekerja seharian penuh mulai pukul 08.00 – 16.00 WIB. Karena hanya sampingan, pendapatan yang diterima pun tak sebesar suaminya. “Rata-rata sebulan Rp700 ribu. Tapi lumayan bisa menambah penghasilan keluarga,” jelas Murdi.
Dengan keahlian yang dimiliki ini, Murdi berkeinginan mendirikan usaha kerajinan bambu. Tapi cita-citanya itu belum bisa diwujudkan karena terbentur masalah modal. Butuh biaya yang lumayan besar untuk membangun usaha kerajinan bambu. “Sudah saya hitung, butuh Rp50 juta sebagai modal awal,” ujarnya.
Untuk mempunyai usaha kerajinan bambu ini memang tidaklah mudah. Selain modal, ada faktor lain yang ikut mempengaruhi keberhasilan usaha kerajinan bambu. Kondisi itu telah dialami Sukatno dan istrinya Bibit Andayani. Butuh keuletan dan inovasi tiada henti menciptakan desain-desain baru. Sebab jika modelnya hanya itu-itu saja, akan ditinggal konsumen. Karena persaingan usaha ini cukup ketat.
Meniti usaha sejak 1991 silam, model kerajinan bambu Sukatno bisa diterima pasar dengan baik. Bermula hanya kerajinan capil, kini telah berkembang menjadi ratusan model. Begitupun pasarnya, tidak hanya untuk lokal tapi juga mancanegara.
Kerajinan yang Potensial
Pria 58 tahun ini bercerita, pada 1992 dirinya pernah ekspor kerajinan bambu ke berbagai negara. Seperti Amerika Serikat, Belanda dan Malaysia. Namun sejak adanya bom Bali usahanya itu sempat stagnan. Permintaan luar negeri lesu, sedangkan pasar dalam negeri tak segairah seperti sekarang.
Saat ini pasar kembali normal. Permintaan membludak, tidak hanya luar negeri tapi juga dalam negeri. Pasar luar negeri permintaan paling besar dari Brunai Darussalam dan Korea Selatan. Untuk Korea Selatan permintaannya tidak terbatas, tapi sayang harganya rendah. Itu yang membuat Sukatno sedikit harus perhitungan. “Setiap bulan rata-rata saya mengirim antara satu hingga empat kontainer untuk pasar ekspor, dengan nilai Rp50 juta tiap kontainer,” katanya.
Sedangkan permintaan pasar dalam negeri, sekarang ini sedang tinggi-tingginya. Sukatno mengaku sempat kewalahan menerima order. Bahkan, permintaan untuk Januari 2018 saat ini sudah banyak yang memesan. Jenis yang paling diburu adalah model hantaran pernikahan dan suvenir. Tiap tahun jumlah permintaan pasar naik 10 persen, baik pasar domestik maupun mancanegara.
Kerajinan milik pria yang pernah menyabet penghargaan Pemuda Pelopor Nasional, dalam bidang menciptakan lapangan kerja ini memiliki banyak kelebihan dibanding di tempat lain. Yakni kualitasnya terjamin dengan model lebih bervariasi. “Itu kata konsumen. Talinya lebih kuat, rapi dan modelnya bagus,” kata Sukatno.
Harga produk kerajinan bambu Sukatno bervariatif. Tergantung motif, jenis dan ukurannya. Tempat snack misalnya, Rp1500/biji. Besek yang dihias cantik, Rp5 ribu sampai Rp10 ribu. Sketsel (penyekat ruangan) ukuran 2,5 x 0,6 meter tiga daun harganya Rp250 ribu. Sementara kursi raja yang dipesan pembeli dari Brunei harganya mencapai Rp1,5 juta.
Suksesnya usaha kerajinan bambu di Trenggalek ini, tidak lepas dari dukungan pemerintah. Menurut Sukatno, perajin bambu sudah beberapa kali diajak pameran skala nasional dan internasional oleh pemeritah. Melalui pameran inilah produk kerajinan bambu Trenggalek bisa lebih terkenal. “Nanti kita akan ikut pameran di Trade Expo Indonesia 2017 di Tangerang, Banten. Rencananya pameran diselenggarakan pada 11-15 Oktober. Informasinya, pameran ini adalah pameran dagang terbesar di Indonesia,” jelasnya.
Mengenai bantuan modal, Sukatno mengaku tidak mengalami masalah. Bank BRI memberikan suntikan dana berapa pun yang dia minta. Lazimnya Rp10 juta dengan bunga lunak. Meski demikian dia tidak selalu mengandalkan kredit bank. Hanya pada situasi mendesak, misal saat order membludak.
Sukatno mengatakan, usaha kerajinan bambu di Trenggalek sangatlah potensial. Karena bahan baku utama, yakni bambu sangat melimpah di Trenggalek. Apalagi, Bupati Trenggalek Emil Elistianto Dardak saat ini tengah gencar melakukan program bambunisasi di pegunungan yang gundul.
Berbagai jenis bambu bisa dibuat kerajinan. Seperti bambu apus, petung, ulung dan bambu ori. Teknik membuat kerajinan bambu ini pun terlihat mudah. Bambu cukup diirat dan dianyam sesuai desain yang diinginkan. Meski begitu, tak semua orang bisa membuatnya. Sebab dibutuhkan tangan-tangan terampil untuk melakukannya.
Masalah itu diakui Kepala Desa Wonoanti Mujianto, yang mengatakan warganya sulit untuk mengembangkan kerajinan bambu. Salah satu faktornya adalah belajar desain baru. Jika tidak dibarengi dengan tekat kuat, dipastikan akan gagal.
“Kerajinan bambu di Desa Wonoanti ada perkembangan, tapi perkembangannya lambat. Masalah utamanya adalah inovasi desain dan harga yang murah. Makanya mayoritas perajin adalah ibu-ibu, karena kerajinan bambu ini masih dilakukan sebatas kerja sampingan,” ungkapnya.
Sentuhan Pembinaan
Di Desa Wonoanti terdapat dua dusun yang mengembangkan kerajinan bambu. Yakni Dusun Manggis dan Dusun Krebet. Total ada 500 warga dari total 4.850 warga yang menggeluti usaha kerajinan.
Usaha ini, jelas Mujianto, adalah usaha nenek moyang yang turun-temurun. Meski begitu, usaha ini tidak menjadi penghasilan utama warga. Mayoritas warga lebih memilih menjadi petani dan usaha lainnya, yang dianggap lebih menjanjikan.
“Usaha kerajinan bambu belum menjadi pekerjaan utama seperti pak Sukatno. Biasanya siangnya menjadi petani, malamnya mengerjakan kerajinan bambu. Alasannya penghasilan dari kerajinan bambu masih dianggap rendah, berbeda dengan menjadi petani. Jika satu hari menyelesaikan satu capil dengan harga Rp20 ribu, jadi buruh petani penghasilannya lebih dari itu,” terangnya.
Meski begitu, Mujianto tetap mendukung upaya pemerintah yang ingin mengembangkan usaha kerajinan bambu ini, hingga akan muncul Sukatno Sukatno baru di Desa Wonoanti. “Pemkab Trenggalek sering mengadakan pelatihan-pelatihan agar jumlah pengusaha bambu meningkat. Termasuk mendatangkan desainer untuk menciptakan model baru,” katanya.
Sementara itu, Bupati Trenggalek Emil Elistianto Dardak mengatakan, konsistensi produk yang dihasilkan warganya berubah-ubah termasuk hasil kerajinan bambu. Tak heran jika selama ini produk kerajinan Trenggalek kalah pamor dengan daerah lain. Seperti Jepara, Bali atau Jogjakarta yang telah mendunia.
“Siapa yang tahu Trenggalek soal kerajinan. Tapi saya nekat saja untuk mengembangkannya. Saya punya keyakinan kerajinan di Trenggalek jika dipoles tak kalah dengan kerajinan lain di Indonesia. Saya undang para perajin, untuk memberitahukan kepada mereka jika produknya akan jadi andalan ekspor nasional. Awalnya buntu juga. Tapi Alhamdulillah mereka menyambut baik ajakan saya,” ungkapnya.
Diantara langkah yang dilakukan adalah mengundang desainer dari ITB (Institut Teknologi Bandung), untuk membantu menciptakan desain-desain baru. Namun upaya itu sempat menemukan masalah. Pembahasan tidak nyambung, karena para perajin ada rasa lebih berpengalaman dan lebih senior. Maklum, para desainer yang didatangkan dari ITB adalah anak-anak muda.
“Membina ekonomi rakyat memang sulit. Saya kembali berikan motivasi. Saya pegang perajin bambu paling senior di Trenggalek yakni pak Sukatno. Pak Sukatno menyambut baik dan akhirnya dedengkot bambu lainnya pun mengikuti jejak pak Sukatno. Kebiasaan warga Trenggalek, jika ada satu orang yang sukses yang lain akan mengikuti,” katanya.
Menurut Emil, menggeluti usaha kerajinan tidak boleh stagnan menciptakan desain. Jika satu produk akan laku dalam setahun, belum tentu tahun berikutnya produk itu akan tetap laku. Dibutuhkan evolusi dan belajar terus menerus. Tak boleh berpuas diri setelah satu produk sukses dan laku di pasaran.
“Sikap mau belajar inilah yang coba saya dorong kepada perajin. Mereka saya buatkan grup WA (WhatApps, red), agar bisa berdiskusi dengan para perajin lainnya. Termasuk dengan Kemendag (Kementerian Perdagangan) dan desainer ITB. Jika bagus, saya berikan jempol dan mengapresiasinya,” pungkasnya.

                                                                                                  ———– *** ————

Tags: