Judul: 30 Kisah Teladan seri 2
Penulis: KH Abdurrahman Arroisi
Penerbit: Rosda, Bandung
Cetakan: Desember, 2021
Tebal: 104 halaman
ISBN: 978-602-446-607-7
Peresensi: Muhammad Itsbatun Najih*
Bergiat di Muria Pustaka, Kudus
Adagium masa lalu selalu aktual menemukan relevansinya kala menyibak buku berjudul 30 Kisah Teladan ini. Membabar sebanyak tiga puluh kisah pilihan yang diudar dengan narasi renyah tanpa kesan berceramah. Sang pengisah adalah Abdurrahman Arroisi (AA). Telah berpulang pada tahun 1997 dan karyanya ini boleh dikata yang paling melekat diingat khalayak. Ya, buku ini bukanlah kisah-kisah teladan yang dikhususkan untuk usia anak. Melainkan lebih tertuju kalangan dewasa.
Sang penulis akrab disapa Arman dan berpunya beberapa nama pena. Gelar KH yang mana masyarakat memafhumi dengan Kiai Haji, sebenarnya adalah predikat yang disematkan pihak penerbit; bukan inisiasi penulis. Ketika tetap disematkan, penulis menganggapnya sebagai Kang Haji. Sedari belia mendapat gemblengan di pesantren, lantas melanjutkan studi kuliah, menjadi wartawan, penulis naskah, hingga pernah menjadi akademisi, kiranya layak bila dijuluki santri modernis par excellence.
Boleh dikata buku serinya hingga 12 jilid ini, merupakan “magnum opus” yang memotret pelbagai kisah lampau dengan selipan kritik. Lantas apa yang dikisahkan oleh penulis kelahiran Pemalang tahun 1944 ini? Total 360 kisah yang diwedarkan menceritakan hal-hal subtil yang sepertinya jarang didengar dari kisah-kisah yang populer di masyarakat.
Pada kisah nomor 7 halaman 19, AA mengisahkan sejumlah Sahabat yang mengerumuni dan berebut menampung cucuran air bekas wudu yang menetes dari celah-celah jemari tangan Nabi Muhammad Saw. Nabi tentu keheranan dan menanyakan musabab laku mereka ini. Para Sahabat menjawab: kami sedang menunjukkan tanda-tanda cinta kami kepadamu. Nabi tersenyum sambil menggelengkan kepala pertanda bukan dengan seperti itu untuk menunjukkan kecintaan. Kata Nabi: jika kalian benar-benar mencintaiku, laksanakan ajaranku, jauhi laranganku, dan patuhilah sunah-sunahku.
Dari kisah di atas, AA hendak mengimbuhkan pesan perihal ejawantah keberagamaan ideal alias keberagamaan substantif. Saleh ritual perlu disambungkan dengan saleh sosial. Bahkan penitikberatan pada ibadah/ritus juga perlu kearifan dengan melihat kondisi sosial-budaya sekitar. AA menyisipkan tamsil berdoa/berzikir dengan pengeras suara yang dibunyikan lantang sampai membuat bising/mengganggu lingkungan sekeliling, bukanlah termasuk tanda mencintai Nabi dengan benar.
Dengan kata lain, keberagamaan ideal tidak lantas juga menepikan kesalehan ritual. Hanya saja, AA mengajak untuk melihat isi atau substansi agama yang oleh sebagian orang kadang-kadang dianggap di luar domain agama. Merapal kitab suci dan pelbagai ritus lainnya, memang mestinya ditunaikan. Tetapi tata cara menunaikan itulah yang butuh kearifan dan etika. AA seperti berkata: bukankah penghormatan dan toleransi terhadap liyan juga bagian dari ajaran agama.
AA tampak betul menyorongkan pada ejawantah laku beragama yang mestinya tidak terpatri atribut luaran macam pakaian yang dianggap simbol religiusitas. Lewat judul Yang Berjubah Belum Tentu Salih, AA menampilkan fragmen Nabi Daud dengan para muridnya pada suatu majelis di rumah ibadah. Hingga kemudian datang seseorang berjubah dan mencitrakan diri pribadi taat dengan sekonyong-konyong melakukan munajat di tengah-tengah majelis yang masih berlangsung.
Nabi Daud rupanya kurang berkenan dengan pembawaan sikap orang tersebut. Para murid bertanya: mengapa engkau seakan tidak menghormatinya? Nabi Daud menukas: atributif pakaiannya dengan berjubah dengan munajatnya sambil mengeraskan suara -sehingga mengganggu majelis, sungguh tidak tepat. Orang seperti itulah yang justru akan menjatuhkan agama karena tidak sesuai antara penampilan dan sikap (hlm: 5).
Pembaca boleh berkontemplasi dari kisah tersebut; bahwa dalam sejumlah hal, praktik beragama idealnya bersifat privasi dan tidak perlu ditampilkan di ruang publik. Lantaran ruang publik merupakan rumah besar masyarakat yang multikultural; bisa sebabkan friksi dengan liyan. Selain itu, pembaca juga mafhum bahwa kriteria keberagamaan ideal tidak semata-semata diukur tampilan lahiriah. Kritik sosial-keberagamaan semacam ini lewat pengisahan AA tersebut, senantiasa relevan hingga hari ini selama praktik ritus ibadah tidak merembes pada kesalehan sosial dalam keseharian sebagaimana ungkapan satir: salat iya, korupsi iya.
AA tidak penuh seluruh mengambil kisah para nabi; menjumput pula kisah orang-orang saleh hingga masyarakat biasa. Gaya bertutur AA tidak monoton dengan sekadar mengalihbahasakan dari literatur berdasar hikayat-hikayat yang pernah terjadi. Lebih jauh, mengkreasikannya dengan gaya bahasa sendiri layaknya menulis cerita pendek. Dan, AA amat menghindari betul sudut pandang pesan moral. Membebaskan pembaca mengambil sendiri ibrah lantaran AA memang tidak membubuhkan eksplisit sebuah pesan moral/hikmah di setiap kisah.
Ditilik mendalam, semua kisah orang terdahulu tampaknya adalah pengulangan yang hanya silih berganti aktor dan lokus. Setidaknya dari dua kisah di atas tersebut, hingga hari ini, toh masih banyak dijumpa kemiripannya. Walhasil, kisah-kisah orang terdahulu yang hari ini dihadirkan kembali lewat buku yang notabene terbitan ulang ini, menandakan untuk senantiasa menjadikan peristiwa masa lampau sebagai referensi berkontemplasi agar tidak melakukan kesalahan yang sama.
———— ooo ————-