Berkuasa Atas Migas

akmal-adicahyaOleh :
Akmal Adicahya
Awardee LPDP – Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (UB) Malang

Tidak ada yang boleh menyangkal bahwa melalui penguasaan oleh negara, sumber daya alam dikelola bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Premis inilah yang akan muncul bila mengacu kepada undang-undang dasar 1945 sebagai cita hukum di negeri ini. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (Pasal 33 ayat (4) UUD 1945)
Berdasarkan dengan angka di atas kertas, pengelolaan Migas telah memberikan sumbangan cukup besar bagi pendapatan Negara. Setidaknya pada rentang tahun 2012-2014 PPh Migas mensuplai tidak kurang dari 80 triliun rupiah bagi pendapatan negara tiap tahunnya. Sayang, angka tersebut menjadi timpang bila menyaksikan realita efek pengelolaan migas terhadap kehidupan rakyat sebagai pemegang kedaulatan di negeri ini.
Contoh ketimpangan terdekat dapat disaksikan pada pengelolaan migas di kepulauan Madura. Sejak tahun 1982, Kangean dan Pagerungan menjadi lokasi perusahaan-perusahaan migas yang silih berganti beroperasi. Namun, kehidupan masyarakatnya sungguh memprihatinkan. Sebagian bahkan hanya bisa menikmati listrik menggunakan genset dari pukul 17.00-06.00 WIB, seperti di Pagerungan kecil, Saor, Sepanjang, dan Paliat. Padahal, bila mengacu kepada data yang dipublikasikan kementrian ESDM, setidaknya terdapat 96 dari 302 sumur yang berproduksi di Jawa timur. Di Madura sendiri terdapat 14 sumur dari 26 sumur yang aktif berproduksi.
Permasalahan pengelolaan migas pun dapat dengan mudah terlihat pada persoalan pertambangan gas di Sidoarjo yang saat ini dikenal dengan lumpur lapindo. Semburan lumpur yang kemudian ditetapkan sebagai bencana nasional ini sukses menenggelamkan 10,000 lebih rumah warga, 77 unit rumah ibadah, lahan tebu seluas 25,61 ha, dan lahan padi seluas 172,39 ha. Terlepas dari perdebatan apa penyebab terjadinya ‘bencana’ nasional ini, persoalannya adalah bagaimana mungkin wilayah kerja pertambangan migas berada di tengah-tengah permukiman warga. Padahal Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2006 tentang rencana tata ruang wilayah Kabupaten Sidoarjo menyatakan bahwa sidoarjo dikembangkan sebagai kawasan permukiman dan industri.
Meski diakui membutuhkan modal besar sekaligus resiko yang tinggi, namun pertambangan migas juga menjanjikan keuntungan yang tidak sedikit. Maka tidak mengherankan bila sektor ini menjadi target kejahatan. Tervonisnya mantan Bupati Sampang dalam kasus saham fiktif PT SMP merupakan salah satu contoh bagaimana menggiurkannya industri migas. Akibat praktik korupsi ini Negara dirugikan hingga 16 Miliar rupiah. Kita juga tidak lupa kasus korupsi di tubuh SKK Migas yang menyeret Rudi Rubiandini dengan nilai suap sebesar USD 900 ribu.
Selain permasalahan-permasalahan tersebut, norma dalam peraturan pengelolaan migas pun terbukti penuh soal. Melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi setidaknya telah menyatakan terdapat beberapa norma yang bertentangan dengan konstitusi dalam undang-undang migas. Seperti ketiadaan campur tangan pemerintah dalam penentuan harga BBM, absennya DPR dalam pembahasan kontrak Migas, dan keberadaan BP Migas yang kesemuanya dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Seluruh permasalahan tersebut menunjukkan bahwa substansi, struktur, dan kultur hukum pengelolaan migas tidak mendukung terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
Mengembalikan Kedaulatan Negara
Memperbaiki pengelolaan migas dapat dimulai dengan mendudukkan dengan tepat konsep penguasaan sumber daya alam oleh Negara. Putusan MK No.36/PUU.X/2012 secara jelas menyatakan bahwa terdapat tiga tingkatan bentuk penguasaan Negara atas sumber daya alam. Pertama, adalah pengelolaan secara langsung oleh Negara sehingga Negara memperoleh keuntungan yang lebih besar. Kedua, membuat kebijakan dan pengurusan. Ketiga, melakukan pengaturan dan pengawasan.
Melalui putusan ini dapat diketahui bahwa penguasaan pada tingkat pertama merupakan tujuan yang harus dicita-citakan dan oleh karenanya harus tertuang dalam peraturan perundang-undangan. Sayangnya, UU 22 Tahun 2001 justru kian menjauhkan semangat dikuasai oleh Negara dari level penguasaan pertama. Hal ini terlihat dari lemahnya posisi Pertamina yang dahulu menjadi pengelola utama kini menjadi setara dengan perusahaan-perusahaan swasta yang harus mengikuti tender. Akibatnya, terdapat beberapa blok-blok minyak dan gas strategis jatuh dalam penguasaan swasta/asing. Parahnya, proses pengelolaan ini didasarkan pada mekanisme perjanjian bernama Kontrak Kerjasama.
Sangat jelas bahwa kontrak kerjasama merupakan bentuk perendahan Negara dihadapan pemilik modal. Dengan menjadi pihak dalam sebuah kontrak yang ditanda tangani oleh korporasi, maka Negara telah menanggalkan immunitasnya (waiver of immunity) dan masuk dalam suatu tindakan komersial (jure gestiones). Terlebih, melalui sistem kontrak maka perusahaan dapat melakukan tawar-menawar berkaitan dengan ketentuan-ketentuan yang disepakati dan tentunya berpotensi merugikan negara.
Memulai Rezim Izin
Bila mempertimbangkan minimnya sumber daya manusia yang dimiliki Indonesia, maka bila tidak mampu mengelola secara langsung setidaknya negeri ini memperjelas posisinya sebagai penguasa atas migas. Contoh perubahan rezim kontrak karya menjadi rezim izin pada pengelolaan minerba sangat layak untuk dipikirkan dan dipertimbangkan penerapannya pada sektor migas. Selain memperjelas posisi Negara, penggunaan izin sebagai perbuatan hukum bersegi satu berbeda dengan kontrak sebagai perbuatan hukum bersegi dua. Bila pada kontrak terbuka kesempatan untuk berkompromi perihal norma-norma yang disepakati, maka sistem izin mensyaratkan adanya ketentuan-ketentuan pasti yang wajib -tidak dapat ditawar- dipenuhi oleh investor dalam melaksanakan pengelolaan migas. Sehingga aktifitas para pengusaha dapat lebih mudah terawasi.
Tentu saja pemberlakukan rezim izin tidak lantas menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang disampaikan sebelumnya. Bahkan, jika tidak dikelola dengan baik justru akan muncul permasalahan baru. Namun, rezim izin setidaknya akan mempertegas posisi Negara sebagai penguasa atas sumber daya alam Indonesia dan hal itu tidak dapat diganggu gugat. Bila dalam ranah pertambangan Minerba sistem izin telah berlaku -dengan berbagai kelemahan pada tataran implementasinya-, maka mungkin sudah saatnya pengelolaan pertambangan migas mengikuti langkah ini.

                                                                                                          ———— *** ————–

Rate this article!
Berkuasa Atas Migas,5 / 5 ( 1votes )
Tags: