Bermain ‘Gus Dur ke Subang’ Jadi Perekat Keberagaman

Guru kelas V SD Taman Pendidikan Islam (TPI) Gedangan Sidoarjo Khoirun Nisak, SPd saat mempraktikkan permainan 'Gus Dur ke Subang' bersama anak didiknya.

Guru kelas V SD Taman Pendidikan Islam (TPI) Gedangan Sidoarjo Khoirun Nisak, SPd saat mempraktikkan permainan ‘Gus Dur ke Subang’ bersama anak didiknya.

Ajak Siswa SD Hargai Perbedaan Melalui Permainan
Oleh:
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa

Kasus penistaan agama yang diduga dilakukan Gubernur DKI non aktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menjadi ujian serius bagi spirit Ke-bhineka tunggal Ika-an bangsa ini. Bila gagal melewati fase ini, bukan tidak mungkin keberagaman yang selama ini menjadi kebanggaan dan kekayaan bangsa ini akan jadi sumber perpecahan dan bencana bagi bangsa ini.
Proses hukum atas kasus penistaan agama yang akan segera memasuki tahap persidangan bisa jadi menghadirkan kekhawatiran bahkan kecemasan. Mengapa? Tidak lain karena tidak ada seorangpun yang bisa menjamin apakah proses hukum yang berlangsung nanti akan menjadi bentuk penyelesaian yang bisa diterima kedua pihak, atau justru akan memantik persoalan ini menjadi semakin besar. Inilah ujian yang sungguh nyata apakah spirit kebersamaan yang dibingkai dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika akan tetap bertahan atau hanya akan tinggal sejarah.
Jauh dari hiruk pikuk dan memanasnya perseteruan dua kubu karena kasus ber-aroma sara tersebut, di depan ruang kelas V Sekolah Dasar (SD) Taman Pendidikan Islam (TPI), Gedangan Sidoarjo Jawa Timur, para siswa sedang asyik bermain game disaksikan guru kelasnya. Game yang sedang dimainkan layaknya seperti sedang main undian dengan memutar sebuah bidang papan berbentuk lingkaran seperti roda  dengan jarum penunjuk. Masing -masing kelompok yang terdiri dari 5 siswa bergiliran untuk memutar memutar roda dengan memperhatikan jarum penunjuk.
Ketika Bhirawa mencoba mendekat, kelompok yang dipimpin Nabila sedang mendapat giliran bermain. Tangan mungil siswa yang mengenakan seragam batik dan kerudung warna hijau itu pun memutar roda dengan wajah harap harap cemas. Demikian juga dengan empat anggota kelompoknya. Bahkan ada yang mencoba menurup matanya, saat bidang papan berbentuk roda mulai berputar. Setelah putaran roda berhenti, jarum ternyata menunjuk pada tulisan yang berbunyi Provinsi Bali. Lantas anggota kelompok Nabila pun mengambil kartu dalam kotak yang terletak di dekat roda putar. Ketika kartu diliat ternyata bertuliskan Tarian. Serta merta anggota kelompok Nabila setengah berteriak menyebutkan jenis-jenis tarian yang berasal dari Provinsi Bali.
“Tari pendet, Tari Kecak, tari Legong, Tari janger,” begitu anggota kelompok bersahutan menyebut tarian yang diketahuinya. Begitu riuh kedengarannya, bahkan sesekali diiringi tawa lepas karena salah menyebut nama Tari sesuai dengan asal daerahnya.
“Kami akan terus mendidik anak-anak kami untuk mengerti tentang apa itu perbedaan dan apa itu toleransi,” kata guru kelas V SD TPI Gedangan Sidoarjo Khoirun Nisak, SPd yang ditemui Bhirawa sambil memantau jalannya permainan anak didiknya.
Menurut Nisak, tidak mudah memang untuk menanamkan nilai-nilai seperti itu di tengah godaan arus informasi yang setiap saat datang menerjang.
“Anak didik kita sudah terbiasa berteman dengan gadget dan smartphone miliknya. Butuh metode pembelajaran yang menarik yang bisa membuat mereka mau mendengarnya,” kata guru muda alumnus Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya ini.
Berawal dari kegelisahan tentang pentingnya membangun kesadaran ber-Bhineka Tunggal Ika, Nisak pun akhirnya merancang sebuah permainan yang diberi nama “Gus Dur ke Subang”. Pemilihan nama permainan tersebut juga bukan tanpa alasan. Nama Gus Dur misalnya, adalah dengan mempertimbangkan Gus Dur alias Abdurraham Wahid adalah bapak bangsa yang juga dikenal sebagai tokoh tolerasansi dan pluralism.
“Mendengar nama Gus Dur, orang pasti akan ingat pluralism, sementara Subang adalah nama Kota yang pernah diusulkan Gus Dur untuk menjadi nama Ibu Kota. Silakan baca sejarah kalau nggak percaya,” kata Nisak sambil tertawa. Selain itu, lanjut Nisak, nama permainan tersebut juga merupakan akronim dari Gunakan Usaha dan Putar Keragaman Suku Bangsa yang disingkat Gus Dur ke Subang.
Menurut Nisak, kompetensi dasar yang ingin dibangun melalui permainan tersebut adalah menghargai keragaman suku bangsa di Indonesia.
“Sebagian besar siswa kurang memiliki rasa ingin tahu khususnya dalam keragaman budaya bangsa. Hal ini  terlihat dari bagaimana kesulitannya  mereka untuk mengidentifikasi keragaman suku bangsa. Peserta didik lebih hanya terfokus pada keragaman di sekitarnya, bukan skala nasional,” jelas Nisak. Kondisi itu kalau dibiarkan tentu hanya akan memperkuat rasa kedaerahan mereka, tetapi melemahkan rasa kebanggaan nasional. Sementara pada sisi lain, suasana pembelajaran dengan studi pustaka  juga terlihat belum mampu menjadikan peserta didik memiliki gambaran yang nyata mengenai apa yang dipelajari.
“Akibatnya, keterampilan yang berhubungan dengan identifikasi bentuk keragaman budaya kurang terasah,” jelasnya.  Terbukti, ketika guru meminta siswa melakukan studi pustaka materi kergaman budaya, sebagian besar siswa justru tidak melakukan  dengan tekun dan teliti, siswa cenderung melakukan aktifitas lain seperti berbincang-bincang dengan teman-temannya, menganggu teman-temannya sehingga mereka akhirnya bersama-sama membuat keadaan kelas menjadi tidak kondusif.
Inspirasi dalam alat peraga ini diambil dari konsep permainan bianglala yang biasanya ada dalam pasar malam. Alat peraga ini dipergunakan pada materi IPS Kelas V yaitu keragaman suku bangsa di Indonesia.
“Standar kompetensi yang ingin disampaikan adalah menghargai berbagai peninggalan dan tokoh sejarah yang berskala Nasional pada masa hindu-budha dan islam, Keragaman kenampakan alam dan suku bangsa, serta kegiatan ekonomi di Indonesia,” jelas Nisak. Sementara kompetensi dasar yang ingin dicapai adalah siswa mampu menghargai keragaman suku bangsa dan budaya di Indonesia.
Adapun cara permainannya jelas Nisak, dimulai dengan Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok yang beranggotan 5 siswa. Setiap perwakilan kelompok hompimpa untuk menentukan kelompok mana yang akan memutar roda terlebih dahulu. Secara berurutan tiap kelompok memutar roda dengan memperhatikan jarum penunjuk. Setelah putaran berhenti jarum akan menunjuk pada tulisan salah satu provinsi. Selanjutnya siswa mengambil kartu dari rak kartu dan menunjukkan kartunya ke anggota kelompok lainnya. Anggota kelompok bertugas membantu menjawab  Misal roda menunjukkan NAD, dan kartu menunjukkan Tarian. Maka kelompok harus menjawab tarian apa yag berasal dari NAD.
“Kelompok pemenang, adalah kelompok yang paling banyak menjawab dengan tepat,” jelas Nisak sambil tersenyum.
Berdasarkan hasil pengamatan selama penggunaan alat peraga Gus Dur Ke Subang, terlihat bahwa siswa begitu menikmati proses pembelajaran menggunakan Gus Dur Ke Subang. Motivasi belajar siswa mengalami peningkatan, terlihat dari aktivitas siswa dalam hal berpendapat, bertanya, menjawab, dan ikut serta dalam bermain.
“Suasana pembelajaran menjadi menyenangkan dan penuh kegembiraan. Tidak lagi muncul siswa yang apatis, meletakkan kepala di meja, dan berbincang-bincang dengan temannya. Semuanya ikut berpartisipasi dalam permainan pembelajaran tersebut,” jelas Nisak bangga.
Menurut Nisak, alat peraga yang dibuatnya tersebut masih perlu dikembangkan lebih lanjut. Pengembangan Alat Peraga  Rencana pengembangan alat peraga ini, adalah bentuk penyempurnaan agar menjadikan penampakannya lebih indah dan menarik. Pada bagian kayu masih belum dicat dan tempelan masih belum tertata dengan rapi. Ke depannya akan dimodifikasi ulang untuk menghasilkan bentuk yang lebih menarik. Rencana lain, ke depannya Nisak juga  ingin membukukan sejumlah alat peraga yang pernah dibuatnya, agar dapat dimanfaatkan oleh teman sejawat maupun guru di sekolah lainnya.
“Buku tersebut berisi pedoman pembuatan dan bagaimana cara mempergunakannya. Sehingga dapat menginspirasi teman-teman guru lainnya untuk dapat mengaplikasikannya maupun memodifikasinya menjadi sebuah karya baru,” ungkapnya penuh harap.
Saat dikonfirmasi terpisah, pengamat pendidikan Dr Enny Hayati mengaku mengapresiasi kreativitas yang dilakukan para guru dalam menciptakan alat peraga pembelajaran khususnya yang ditujukan untuk memperkuat rasa nasionalisme dan rasa kebangsaan.
“Anak anak usia sekolah adalah saat yang tepat untuk menanamkan karakter dasar masa masa depannya. Untuk itu butuh kreativitas yang ekstra agar para pendidik bisa mengambil hati para siswanya,” jelas dosen yang sehari-hari mengajar di kampus Universitas Dokter Soetomo (Unitomo) Surabaya ini. Di mata Enny, saat ini tantangan dan sekaligus ancaman bagi dunia pendidikan adalah maraknya berbagai tayangan hiburan baik lewat media televisi maupun dunia internet.
“Kalau para guru tidak kreatif maka anak-anak akan lebih banyak menikmati hiburan yang ada di luar sana,” jelasnya. Untuk itu, pemerintah memang harus terus meng-up date kualitas dan kapasitas guru agar bisa sejalan dengan perkembangan jalan.
“Namun di lain pihak, para guru juga harus tetap terpacu untuk selalu meningkatkan kapasitas dirinya agar selalu bisa menemukan metoda pembelajaran yang sesuai dengan generasi yang dihadapinya,” jelas Enny yang juga mantan anggota Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Timur ini.

Keragaman Jadi Pemersatu Bangsa
Wakil gubernur Jatim Saifullah Yusuf saat diminta pendapatnya terkait situasi politik yang sedang menghangat akibat kasus yang bernuansa sara ini mengajak semua pihak untuk kembali ingat pada nilai-nilai Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika yang menjadi jadi diri bangsa.
“Ini sangat penting sebagai dasar dan jalan kehidupan bangsa Indonesia yang multikultural dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan,” ujarnya saat ditemui di Gedung Negara Grahadi di Surabaya. Menurut Saifullah Yusuf yang biasa dipanggil Gus Ipul ini, spirit Bhineka Tunggal Ika sebagai sesuatu yang luar biasa terhadap kondisi Bangsa Indonesia yang beragam-beragam adat budayanya.
Menurut Gus Ipul, di Indonesia terdapat empat pilar kebangsaan yakni Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI sehingga menjadi suatu kebutuhan yang penting dalam menjaga keragaman masyarakatnya.
“Kita sebagai bangsa Indonesia bersyukur memiliki Pancasila karena mampu menjadi penengah ketika kondisi krisis dan kritis,” jelasnya. Hal ini terbukti, kata dia, ketika bangsa ini krusial karena krisis politik dan ekonomi, tapi Pancasila dicari untuk menjadi pemersatu.
“Jadi, itulah sebenarnya kesaktian Pancasila. Dan sudah menjadi sebuah keharusan bahwa amalan yang terkandung dalam sila-silanya kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari,” kata Gus Ipul, sapaan akrabnya.
Orang nomor dua di Pemprov Jatim itu merinci, pada sila pertama, yakni jika diterapkan seberapa jauh orang melakukan tindakan sesuai agamanya akan melahirkan pembangunan manusia berakhlak dan beretika.
“Begitu juga di sila kedua yang menggambarkan pembangunan itu harus memanusiakan manusia, kemudian ketiga membangkitkan kebersamaan, gotong royong, dan guyub rukun,” katanya. Berikutnya, lanjut dia, pada sila keempat adalah semua masalah harus diselesaikan dengan musyawarah, serta yang terakhir sila kelima digambarkan dengan mewujudkan keadilan dalam pembangunan. Lebih lanjut menurut Gus Ipul, kesungguhan Provinsi Jawa Timur dalam membangun harmoni di atas keragaman itu juga terlihat dari penghargaan yang diterima Gubernur Jatim Dr. H. Soekarwo sebagai Provinsi Peduli Hak Asasi Manusia (HAM), langsung dari Kemenrian Hukum dan HAM Republik Indonesia,Yasonna H. Loaly,  bersama sembilan Gubernur  dari provinsi lain di Indonesia.
“Jawa Timur dinilai sangat antusias dan  serius dalam  menangani  masalah Hak Asasi Manusia di daerahnya,” jelasnya. Untuk itu, Pemprov. Jatim mendapat Peringkat I dalam perolehan penghargaan  Peduli HAM, karena Jawa Timur  yang memiliki wilayah   sangat luas dan terbagi menjadi  38 Kab/Kota ini semuanya memperoleh penghargaan Peduli HAM.
“Jadi bukan hanya Gubernurnya saja yang memperoleh penghargaan peduli HAM, tapi 38 Bupati dan Walikota se jatim juga mendapat penghargaan yang sama. Ini merupakan kerjasama yang baik dan sangat kompak antara pemprov. Jatim dengan Pemkab/Pemkotnya dalam menganani masalah hak Asasi manusia di seluruh wilayah jawa Timur,”  jelasnya.
Sekretaris Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) Provinsi Jawa Timur Yafety Waruwu mengakui sebagai sebuah bangsa yang besar, Indonesia merupakan negara yang memiliki keragaman baik suku, agama, adat istiadat serta bahasa. Keragaman inilah yang mempersatukan rakyat dan menjadi kekuatan Indonesia untuk semakin maju dan memenangkan pertarungan di era globalisasi seperti sekarang ini.
Provinsi Jawa Timur lanjut Yafety, adalah miniatur bangsa Indonesia karena Jawa Timur di dalamnya juga memiliki kekayaan etnis dan budaya yang sangat beragam. Dari data yang dimiliki FPK Jatim, etnis yang ada di Jawa Timur meliputi  Etnis Jawa, Osing, Nias, Batak, Minang, Banjar, Thionghoa, Arab, Manado, Papua, Sunda, Bali, NTB, Ambon, Toraja, Aceh. Lantaran itu FPK Jatim merasa tertantang untuk membangun kebersamaan diantara  berbagai etnis dan budaya yang ada di Jatim.
“Kami secara aktif melakukan sosialisasi tentang ke-Bhinneka Tunggal Ika-an serta pembauran kebangsaan. Selain itu FPK juga memberi ruang bagi masing-masing etnis dan budaya untuk tampil mengekspresikan budayanya.
“Kami ingin mengajak semua masyarakat bahwa etnis dan budaya yang beragam itu sama-sama milik Indonesia dan sama-sama memiliki Indonesia,” jelasnya. Dirinya berharap, melalui FPK inilah nantinya pintu komunikasi untuk saling mengerti dan memahami keberadaan masing-masing etnis dan budaya itu bisa  terjalin. Ketika ditanyakan terkait kendala yang dihadapi FPK Jawa Timur untuk menjalankan program mengampanyekan kebersamaan dalam keberagaman, Yafety menyebut salah satunya adalah masalah anggaran.
“Kendala kita masalah anggaran yang belum ada dukungan secara mandiri dari pemerintah. Sekalipun dalam permendagri nomor 34 th 2006 dan pergub nomor 41 tahun 2009  bahwa anggaran dibebankan pada APBD.  Akibatnya banyak program yang dikonsepsikan untuk mempererat rasa persaudaraan dan kebersamaan belum terlaksana,” jelas tokoh muda dari Nias ini. Meski demikian, lanjut Yafety pihaknya bersyukur karena tokoh-tokoh agama dan masyarakat di Jawa Timur ini selalu terbuka dan mudah diajak komunikasi sehingga kebersamaan dan ketenangan di  Jatim selalu terjaga.
“Saya berharap, Jawa Timur yang begitu plural ini akan menjadi pioner dalam membangun ke-Bhineka Tunggal ika-an bagi daerah lain di Indonesia,” jelas Yafety dengan senyum mengembang. [Wahyu Kuncoro SN]

Tags: