Bermula dari Mereparasi Mesin Cetak Asal Norwegia

Mendikbud mencoba mesin cetak huruf braile yang dikembangkan oleh Tim Teknik Elektro ITS.

Mendikbud mencoba mesin cetak huruf braile yang dikembangkan oleh Tim Teknik Elektro ITS.

Kota Surabaya, Bhirawa
Mesin cetak huruf braile yang dikembangkan tim dari Jurusan Elektro Intitut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) berhasil menarik perhatian banyak pihak. Tak ingin produk yang baru diluncurkan Mendikbud ini ditiru orang lain, pihak ITS pun kini tengah bersiap-siap untuk segera mematenkan produk tersebut.
Mesin cetak huruf braile produksi ITS ini menjadi yang mesin cetak pertama yang dibuat oleh Indonesia. Karena mesin cetak huruf braile yang selama ini digunakan merupakan buatan Norwegia yang dibeli sejak 1999 lalu. Lantaran dimakan usia, mesin cetak pun mulai rusak dan fungsinya pun terus menurun.
Padahal, harga mesin tersebut tidaklah murah. Bisa mencapai Rp 1 miliar untuk ukuran kecil dan Rp 2 miliar untuk ukuran besar. Tim Teknik Elektro ITS Hendra Kusuma mengatakan, pada 1999 itu, Indonesia mengadakan 200 mesin cetak huruf braile sekaligus dari Norwegia. Karena banyak yang mengalami kerusakan, pihak ITS pun kebagian untuk mereparasi mesin-mesin tersebut.
“Kalau direparasi ke Norwegia, total dana untuk reparasi bisa mencapai Rp 70 miliar. Karena itu, kita menerima dan berusaha memperbaikinya,” kata dia.
Waktu itu yang meminta reparasi adalah Direktorat Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus (PKLK) Dikdas Kemendikbud agar mesin cetak braille tidak mangkrak. Sebab, mesin cetak itu dibeli dari Norwegia dengan utang dan pembayaran belum lunas tapi alatnya sudah rusak.
“Karena berkeliling ke beberapa SLB untuk melakukan reparasi itulah, lalu kami membentuk tim untuk membuat sendiri alat itu, sebab reparasi yang kami lakukan juga masih menggunakan suku cadang yang beli dari Norwegia dengan harga yang mahal,” katanya.
Sejak November 2012, tim ITS mulai melakukan riset hingga akhirnya membuat prototipe printer braille itu pada tahun ini. Meski baru 80 persen suku cadang yang digunakan berasal dari Indonesia, Hendra yakin dalam pengembangannya dapat membuat dengan 100  persen suku cadang asli Indonesia. Suku cadang yang masih diimpor adalah traktor penarik kertas dari Amerika.
“Kami juga sudah menerima pesanan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebanyak 52 unit mesin cetak,” katanya.
Ditanya soal harga mesin, ia mengatakan pihaknya mampu mematok harga hanya sepertiga dari mesin buatan Norwegia. “Tahun depan, kami juga mengembangkan mesin cetak itu menjadi mesin fotokopi berhuruf braille,” katanya. Selain harganya terjangkau dan mesinnya kompatibel dengan komputer terbaru, ia mengatakan fitur dari mesin cetak huruf braille ini sendiri terletak pada kemampuan mencetak karakter normal braille sebanyak 400 karakter per detik.
“Kemampuan mencetak maksimum mencapai 42 karakter per baris. Tak hanya itu, mesin cetak ini pun bisa mencetak langsung pada dua sisi kertas atau double sided,” katanya.
Selain Hendra Kusuma tiga peneliti utama mesin itu ialah Ir Tasripan MT, Dr Tri Arief Sardjono MT, dan Rudy Dikairono MSc.
Selain pengembangan pada fungsi mesin, Hendra mangaku juga ingin segera mengurus hak paten mesin tersebut. Targetnya, pada 2015 mendatang hak paten tersebut sudah dikantonginya. “Kita ini kan perguruan tinggi. Jadi punya kewajiban melindungi karya dengan dipatenkan,” tutur dia.
Atas keberhasilan tersebut, Rektor ITS Prof Tri Yogi Yuwono pun menyampaikan apresiasinya kepada Tim Elektro yang mengembangkan mesin cetak itu. Dia mengakui, kegunaan mesin tersebut sangat membantu pembelajaran penyandang tuna netra. “Terlebih, hal ini membuat ITS bisa turut membantu pembelajaran di Sekolah Luar Biasa (SLB) yang ada di Indonesia,” ungkapnya. [tam]

Tags: