Berpacu dengan Waktu: Hentikan Laju Penularan Covid-19

Oleh : Oryz Setiawan
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya

Serangkaian asa atas penemuan vaksin untuk mengatasi pandemi Covid-19 yang semakin tak terkendali tengah membuncah. Berbagai gerak upaya pemerintah untuk melindungi warga negaranya patut mendapat apresiasi, karena pemerintah harus hadir di kala masyarakat tengah dilanda krisis kesehatan bahkan ancaman nyawa menjadi taruhannya tak terhindarkan. Berbagai pihak meyakini bahwa hanya vaksin-lah yang saat ini digadang-gadang (bahkan) sebagai satu-satunya upaya untuk menaklukan virus Covid-19 yang terus melaju. Pemerintah berencana meng”impor” vaksin 50 juta dosis dari Tingkok juga penjajakan dengan Uni Emirat Arab sebanyak 10 juta dosis dan berencana membeli obat Remdesivir dengan merek dagang Covifor dari India. Secara prinsip keberadaan vaksin dan obat menjadi urgen bahkan darurat untuk penanganan dan tata laksana penanganan Covid-19 dari serangan virus asal Wuhan tersebut apalagi korban jiwa terus bertambah.

Jika penemuan vaksin ditujukan sebagai upaya preventif atau pencegahan agar tidak jatuh sakit akibat Covid, sementara obat digunakan dalam rangka upaya penanganan penderita (mordibitas) yang telah terpapar Covid-19 serta sebagai upaya menurunkan angka kematian (mortalitas). Dengan kata lain, keberadaan vaksin lebih merupakan upaya hulu, sedangkan obat upaya hilir. Dalam kajian epidemiologi bahwa sebenarnya karakteristik penyakit yang bersifat wabah apalagi berskala pandemi, tidak dibatasi antar wilayah karena sifat virus yang mudah menyebar antar manusia dimana saat ini mobilitas masyarakat sangat tinggi baik antar kota, antar provinsi bahkan lintas negara. Dewasa ini hanya sekian jam seseorang dapat bermigrasi secara cepat dalam tempo yang singkat sehingga kondisilah yang kian menyulitkan upaya strategi pencegahan penularan agar tidak menjadi lebih luas. Hal tersebut diperparah dengan masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk menerapkan protokol kesehatan, misalnya pemakaian masker dengan tepat dan benar.

Karakteristik virus tidak mengenal batas wilayah, ketika potensi kerumunan yang dimungkinkan terdapat Orang Tanpa Gejala (OTG) atau carrier Covid-19 maka disitulah episentrum baru muncul. Selain itu dalam konteks otonomi daerah kebijakan antar wilayah sangat berbeda-beda sehingga menyebabkan upaya pencegahan kurang berjalan efektif. Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) maupun variannya memang dapat mengurangi pergerakan manusia namun memiliki risiko dampak dan problem sosial ekonomi yang tidak kalah kompleks. Padahal secara evidence base bahwa OTG atau carrier memiliki porsi 60 persen dari kasus sehingga secara fisikly tidak mudah untuk dideteksi kecuali melalui metode pemeriksaan laboratorium swab atau (Polimerase Chain Reaction) PCR.

Fenomena “ADE”

Penemuan vaksin hingga dimanfaatkan secara masif oleh masyarakat setidaknya secara standar membutuhkan waktu 1,5 tahun melalui serangkain tahapan, uji pra klinis, uji klinis hingga benar-benar aman digunakan oleh masyarakat secara ketat. Namun demikian sejumlah kekawatiran muncul, setidaknya keberadaan vaksin nantinya ternyata memiliki sejumlah potensi ancaman. Hal ini yang baru-baru dikawatirkan oleh para peneliti vaksin COVID-19 mulai mencermati adanya pengaruh peningkatan kekebalan tubuh yang justru dapat meningkatkan penyakit daripada melindungi dari infeksi berikutnya. Peneliti menyebut ini sebagai “peningkatan yang bergantung pada antibodi”, atau Antibody-Dependent Enhancement/ADE.

Secara terori bahwa ADE adalah salah satu bentuk peningkatan kekebalan, ketika komponen sistem kekebalan kita yang biasanya melindungi terhadap infeksi justru menjadi bumerang. ADE merupakan “efek samping” atau resiko yang lebih besar adalah jika imunitas hasil vaksin tidaklah cukup untuk memberi perlindungan tubuh, menyebabkan virus terus menyebar bahkan kepada orang yang sudah diimunisasi. Meski dalam penelitiann ADE masih sebatas kemungkinan dan potensi yang harus diwaspadai ketika pembuatan vaksin dilakukan secara “instan”. Dengan kata lain dibutuhkan vaksin yang terbaik, bukan sekedar yang pertama paling cepat dibuat sehingga kontraproduktif terutama aspek efektivitas dan keamanan dan terkait keselamatan nyawa manusia.

Saat ini berbagai varian virus Covid-19 bahkan mutasi jenis D614G yang diyakni 10 kali lebih menular atau memiliki derajat virulensi tinggi dimana merupakan jenis mutasi yang sangat umum ada di Eropa, Amerika Utara, Australia, dan sebagian Asia. Menurut penelitian Lembaga Biologi Molekuler Eijkman menyatakan bahwa mutasi Corona D614G setidaknya sudah ditemukan di beberapa kota yang ada di Indonesia. Sekali lagi sebelum ditemukan vaksin maupun obat secara definitif dan spesifik yang direkomendasikan WHO, maka upaya satu-satunya adalah bertahan agar virus tidak berkembang secara masif dengan menerapkan protokol kesehatan secara ketat dan konsisten oleh semua pihak tanpa kecuali. Kondisi ini masih membutuhkan upaya yang luar biasa melalui upaya pendisiplinan masyarakat untuk menerapkan protokol kesehatan termasuk menggencarkan upaya penegakan disiplin penerapan protokol kesehatan melalui penindakan di berbagai daerah, kesemuanya dalam rangka menekan angka penularan, setidaknya sebelum vaksin dan obat benar-benar ditemukan. Wallahu A’lam Bishawab.

———– *** ————

Tags: