Berpelukan dan Ciuman Dianggap Wajar sebagai Tanda Cinta

Febriliani Masitoh dan Ernawati, dua mahasiswa ITS yang mengajukan penelitian tentang perilaku menyimpang remaja dalam PKM Kemenristek-Dikti.

Febriliani Masitoh dan Ernawati, dua mahasiswa ITS yang mengajukan penelitian tentang perilaku menyimpang remaja dalam PKM Kemenristek-Dikti.

Dua Mahasiswa ITS Teliti Penyimpangan Pelajar Surabaya
Kota Surabaya, Bhirawa
Para orangtua di Surabaya agaknya harus lebih berhati-hati dengan putera-puteri remajanya. Khususnya dalam hal pergaulan, lebih khusus lagi jika sudah berpacaran. Betapa tidak miris, tanda cinta yang dianggap wajar bagi mereka adalah berpelukan dan berciuman.
Ada alasan yang cukup mendasar mengapa orangtua harus mengawasi lebih ketat putera-puterinya. Lingkungan, pergaulan antar teman dan perkembangan teknologi merupakan alasan utama dari semua persoalan ini. Semakin jelas lagi, alasan ini juga diperkuat dengan hasil penelitian mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya.
Penilitian yang terkait dengan perilaku berpacaran remaja Surabaya yang diikutkan dalam Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) Kemenristek-Dikti itu cukup mengkhawatirkan orangtua. Dari 300 responden pelajar jenjang SMA, SMK, dan MA di Surabaya, sebanyak 36 persen di antaranya menyatakan wajar jika saat berpacaran mereka berpelukan sebagai tanda cinta. Mayoritas kedua memilih berciuman sebagai tindakan wajar dengan jumlah responden sebanyak 19 persen.
Hasil selanjutnya, 17 persen responden menilai wajar jika berpacaran jalan berdua saja tanpa mengajak teman. Sisanya, bergandengan (9%), memilih tempat sepi saat kencan (5%), tidak malu bermesraan di depan umum (3%), dan berhubungan seks menjadi tanda cinta (2%). “Tiga ratus kuesioner itu disebar secara acak pada 61 siswa SMA, 140 siswa SMK, dan 99 sisma MA” tutur ketua tim penelitian Febriliani Masitoh kemarin.
Mahasiswa Jurusan Statistika ITS angkatan 2012 itu menjelaskan, penelitian itu dilakukan secara acak tanpa mengidentifikasi secara sepesifik nama sekolahnya. Selain menanyakan perilaku, penelitian yang dibuat juga terkait latar belakang pendidikan orangtua dan unsur apa saja yang mendorong mereka berperilaku seperti itu.
Dikatakan Febriliani, dari hasil kuesioner yang mereka sebar itu, terlihat jelas bahwa pergaulan remaja saat ini sudah sampai tingkat mengkhawatirkan dan cenderung mengarah pada penyimpangan normatif pergaulan budaya timur. Dari hasil pengolahan kuesioner menunjukkan, responden yang terpapar media pornografi akan cenderung memiliki perilaku pacaran risiko tinggi, mencapai 35,3 persen (106 responden). “Selain media, pengaruh teman juga menjadi hal yang sangat berpengaruh dalam perilaku seseorang. Responden yang memiliki teman dengan pengaruh negatif cenderung berperilaku pacaran risiko tinggi, dan sebaliknya,” katanya.
Anggota tim penelitian Ernawati menambahkan, perilaku anak dalam kategori menyimpang itu dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan orangtua. Sebanyak 49 persen didominasi oleh orangtua yang hanya berpendidikan SD. “Di sini dapat disimpulkan,  remaja dengan orangtua yang berpendidikan rendah cenderung memiliki perilaku pacaran dengan tingkat risiko tinggi,” katanya.
Lebih lanjut Ernawati mengatakan, mereka yang terpapar media pornografi, terkait erat dengan tingkat pendidikan orangtua, sebanyak 44 persen dari remaja Kota Surabaya yang terpapar media pornografi mempunyai orangtua dengan pendidikan terakhir SD. Persentase ini paling tinggi dibandingkan dengan jenjang pendidikan terakhir lainnya. “Ini artinya, ketidakpahaman orangtua dalam menggunakan media teknologi yang disebabkan pendidikan rendah membuat anak menyalahgunakan fungsinya untuk melihat situs pornografi,” katanya menyimpulkan.
Terkait dengan jenis kelamin, sebagian besar responden remaja laki-laki 69,62% cenderung memiliki perilaku pacaran dengan tingkat risiko tinggi. Ini sebagai salah satu indikasi bahwa remaja laki-laki cenderung lebih aktif secara seksual dibandingkan dengan remaja perempuan.
Seluruh hasil penelitian itu, sebelumnya telah dipresentasikan di depan tim Monitoring Evaluasi (Monev) dari Kementerian untuk seleksi ke tingkat nasional. [Adit Hananta Utama]

Tags: