Berpikir tentang Air

Najamuddin KhairurrijalOleh :
Najamuddin Khairur Rijal
Pengajar di Jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

Mari kita bicara tentang air. Kenapa air? Sebab, air adalah sumber kehidupan, tak ada makhluk hidup yang tidak membutuhkannya. Sepanjang masa dan sepanjang kehidupan kita semua, termasuk hewan dan tumbuhan, membutuhkan air. Tanpa air, maka tidak ada kehidupan karena kehidupan itu sendiri adalah sebuah ketergantungan pada air. Bahkan, unsur tubuh makhluk hidup salah satunya tersusun dari air. Pun, air bisa ditemukan di mana-mana. Apalagi, dua pertiga bumi ini sejatinya adalah air.
Transformasi Air
Sekarang mari kita mulai membahas air dari sesuatu yang mungkin tidak pernah terpikirkan oleh kita. Dahulu, orang tidak pernah berpikir bahwa air bisa dijual, mendatangkan keuntungan ekonomi. Ketika pertama kali muncul perusahaan yang memproduksi air minum kemasan, orang mungkin menjadi risih. “Air kok dijual?” mungkin begitu katanya. Semua orang bukan hanya tidak percaya, tetapi juga sinis sebab ada orang yang berniat menjual air minum. Pasalnya, semua orang punya air dan setiap orang bisa memiliki air minum.
Lalu, waktu bergulir, zaman berubah. Perlahan tapi pasti, orang mulai mengakui bahwa mereka butuh air minum kemasan, entah dalam bentuknya yang gelas maupun botol. Semakin lama orang semakin menunjukkan kebutuhannya pada air minum kemasan itu. Mungkin karena sifatnya yang simpel, sederhana, dan praktis. Tidak perlu dimasak, bisa dibawa ke mana saja, dan dapat bertahan beberapa lama. Zaman semakin berubah, air minum kemasan pun menjadi kebutuhan penting. Kini, perusahaan memproduksi aneka jenis dan bentuk air minum kemasan seiring dengan tingginya kebutuhan konsumen.
Jika dahulu, hajatan masih menggunakan air minum yang diproses secara konvensional (dimasak), dan disajikan dengan gelas, sekarang orang tidak mau repot. Mereka mulai membeli dan menyediakan air minum kemasan yang lebih praktis. Kontan, pernikahan, arisan, acara keagamaan, hari raya, acara nasional, apapun itu yang ada hanyalah air minum kemasan. Tidak pernah kita lagi menemukan air yang disajikan secara konvensional melalui gelas kaca atau plastik setelah ia dimasak hingga mendidih di atas api.
Tidak hanya di kota, di desa pun demikian. Orang-orang desa mulai menggantikan kebiasaannya memasak air saat hajatan. Buat apa lagi memasak air untuk diminum, sementara air minum kemasan tersedia melimpah. Cukup menusukkan sedotan, lalu isaplah, dan kau pun akan lega. Jadilah, kebutuhan terhadap air minum kemasan semakin tinggi. Sistem sosial kita telah berubah. Kini, air kemasan yang dulunya dicaci, sekarang dicari.
Begitu pula di rumah. Kebutuhan air minum di rumah kita telah tergantikan dengan hadirnya galon. Sebuah tabung berbentuk botol berisi 19 liter air siap minum. Dengan harga yang terjangkau, kita bisa meminum air tanpa harus repot untuk memasak. Di kantor-kantor, kebutuhan air minum tersedia melalui air minum kemasan atau galon. Semuanya, segalanya, menggunakan air minum kemasan yang praktis. Jika begitu, masih adakah orang yang hari ini mau berkata, “Air kok dijual?” Air minum seolah telah bertransformasi dari konvensional (dimasak) menjadi modern (air minum kemasan).
Lalu, bayangkan. Jika sepersepuluh saja dari penduduk Indonesia yang meminum air kemasan dalam sehari, maka berapa banyak sampah plastik yang menumpuk? Jika sampah plastik dari air minum kemasan yang diminum oleh sepersepuluh jumlah penduduk itu dijadikan satu, betapa banyaknya sampah yang menumpuk. Dan, itu berpotensi merusak atau mencemari lingkungan jika kita tidak menanganinya dengan bijak. Jika lingkungan rusak karena plastik air minum kemasan, maka berapa banyak sumber-sumber air yang akan rusak?
Itu dalam konteks Indonesia, bagaimana dengan seluruh sampah plastik air minum kemasan dalam skala global? Mungkin beruntung, masyarakat kita semakin kreatif. Kita sering menemukan aneka bentuk kreativitas dari olahan limbah plastik air minum kemasan. Namun, harus pula diakui bahwa limbah plastik yang tersisa, yang tidak menjadi aneka kreativitas, tetaplah tak terhitung jumlahnya.    Itu soal air minum kemasan. Tapi, berbicara soal air tidak hanya berbicara tentang air untuk diminum. Air memiliki dimensi yang sangat luas dan beragam. Wujud air hanya satu, tapi ia mampu hadir dalam bentuk yang beraneka ragam.
Masalah Global
Sekarang mari kita lebih serius dengan berpikir global. Sadarkah kita bahwa sesungguhnya mungkin dunia ini tidak adil dalam menyediakan air? Air boleh saja memenuhi dua pertiga bumi ini, tapi faktanya sebagian belahan bumi justru kekurangan air. Di suatu belahan dunia, sumber daya air bisa sangat melimpah, namun di belahan lainnya air bisa menjadi komoditas yang sangat langka. Sebagian penduduk bumi harus bersusah-payah untuk mendapatkan air guna menunjang kehidupannya, entah untuk minum dan memasak maupun untuk mandi dan mencuci. Sementara, sebagian yang lain tengah bergelimang air hingga air terbuang begitu saja.
Nah, jika demikian adanya, disparitas ketersediaan air itu bisa memicu konflik. Vandhana Shiva, seorang pemikir, akademisi, aktivis, feminis dari India, bahkan menulis buku berjudul Water Wars, Perang Air. Shiva mengutip apa yang pernah dikatakan oleh mantan Wakil Presiden Bank Dunia Ismail Serageldin pada tahun 1995. “Jika perang-perang abad ini banyak diakibatkan oleh persengketaan minyak, perang masa depan akan dipicu oleh air,” kata Serageldin. Negara-negara akan berebut sumber daya air ketika air kian langka sementara kebutuhan untuk air adalah sangat fundamental.
Konflik akibat air itu bisa terjadi ketika kebutuhan air kita semakin mendesak, sementara persediaan air global semakin menurun. Itu bisa terjadi karena privatisasi air menjadi nilai jual berbasis ekonomi. Bisa karena kerusakan ekosistem air akibat pencemaran dan kerusakan lingkungan. Dan, bisa karena banyak hal lainnya.
World Water Development Report (WWDR), sebuah laporan PBB mengenai ketersediaan air bersih dunia, mengungkapkan meski jumlah air merupakan bagian terbesar di bumi, namun hanya 2,53 persennya merupakan air bersih. Sayangnya, jumlah yang sedikit itu semakin berkurang akibat pertambahan penduduk. Air bersih juga terpolusi jutaan ton sampah setiap hari.
Laporan itu menambahkan bahwa pada tahun 2050, setidaknya enam miliar manusia di 60 negara akan mengalami kelangkaan air bersih. Bahkan, dalam kurun waktu 20 tahun ke depan, laporan itu memprediksikan rata-rata pasokan air untuk tiap orang akan turun sepertiganya. Berjalin berkelindan dengan itu, kelangkaan air bersih memunculkan berbagai jenis penyakit. Pada tahun 2000 setidaknya terdapat 2,2 juta kematian karena sanitasi air yang rendah. Sekitar satu juta manusia meninggal karena malaria. Masalah air juga berpengaruh terhadap ketersediaan pangan. Kita bisa merunut dampak-dampak lain yang menyertai masalah ketersediaan air itu.
Lebih lanjut, saat ini Perang Air nampak semakin nyata. Beberapa negara berkonflik karena perebutan sumber daya, termasuk air. Dalam konteks lokal Indonesia, di berbagai daerah masyarakat berkonflik dengan pemerintah atau pengusaha. Hal itu disebabkan karena masalah pembangunan hotel, apartemen, pabrik, dan lainnya yang mengancam sumber-sumber air masyarakat di mana mereka menggantungkan hidupnya.
Harus Sadar
Lalu, sebelum Perang Air, atau konflik karena perebutan air dan sumber-sumber air, itu terjadi kita bisa apa? Yang perlu kita lakukan saat ini hanyalah sadar. Sadar bahwa air itu adalah sumber kehidupan yang ketersediaannya sangat esensial dan penting. Maka sebagai sumber kehidupan, kita harus menjaga air. Cara menjaga air adalah dengan melindunginya. Cara melindungi air adalah menjaga agar air tidak rusak. Rusak karena ketamakan manusia merusak lingkungan dan potensi sumber air. Cara terkecil adalah dengan memanfaatkan air sebijak mungkin. Tidak berlebih-lebihan dalam penggunaan air sekalipun kita (masih) memiliki air yang melimpah.
Bukan karena kita memiliki air yang melimpah sehingga kita bisa seenaknya menggunakan air. Tetapi, karena kita (masih) memiliki air yang melimpah, maka harus menghematnya agar air bisa bertahan untuk generasi berikutnya. Kita tidak boleh tamak atas air. Mahatma Ghandi pernah berpesan, “Bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan kita semua. Tetapi, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan segelintir orang tamak.”

                                                                                                         ——————- *** ——————

Rate this article!
Berpikir tentang Air,5 / 5 ( 1votes )
Tags: