Sudah dua hari ini masyarakat Surabaya menikmati unjuk kekuatan (dan ketrampilan) Tentara Nasional Indonesia (TNI). Baliho dan spanduk bergambar tentara bertebaran di berbagai tempat. Timbul kebanggaan yang lama memudar. Seolah-olah TNI tak pernah “berbicara,” bagai kelelap diantara hiruk-pikuk acara politik. Kebanggaan terhadap TNI mestilah terus dikobarkan dengan diiringi pengukuhan citra bebas KKN dalam rekrutmen.
Sistem rekrutmen TNI mestilah bersih dari unsur KKN. Harus mengedepankan kriteria dan protap, yakni ke-prima-an badan, dan intelektualitas memadai, serta spiritual yang kokoh. Menjadi tentara,sejak lama menjadi idaman banyak pemuda. Orangtua juga menginginkan seperti, setidaknya memiliki menantu tentara. Bahkan banyak sarjana serta dokter memilih jalur Sepamilsuk (sekolah perwira militer sukarela) untuk “banting stir” cita-cita beralih menjai anggota TNI.
Bangga menjadi tentara, murni tanpa KKN, tak boleh ditawar-tawar. UUD pasal 30, secara tekstual menyebut TNI pada ayat (2), (3) dan (5). Itu ke-istimewa-an TNI, tiada profesi lain disebut dalam UUD. Tugas mereka dalam UUD adalah sebagai kekuatan utama garda terdepan sistem pertahanan dan keamanan negara. Karena itu mereka dibekali pengetahuan pertahanan dengan latihan (fisik) super ketat, plus senjata. Badan mereka nampak terbangun bagus, kekar.
Ditambah pakaian seragam, menyebabkan mereka nampak gagah, kuat dan siap melawan setiap ancaman. Boleh jadi, banyak pemuda ingin menjadi tentara karena terobsesi oleh tokoh Rambo. Pemuda TNI harus diakui, memiliki beban psikologis sangat berat. Hal itu tergambar pada wajah mereka nampak lebih tua dibanding usianya. Tekanan psikologis yang telah rutin bisa menyebabkan kebekuan naluri penyeimbang. Misalnya kehilangan rasa humor, menurunnya keramahan, sampai terkikisnya naluri berkesenian, bahkan sering lupa berdoa.
Program peningkatan kompetensi anggota TNI (kerjasama dengan Perguruan Tinggi Negeri) patut diapresiasi. Melalui program itu sudah banyak anggota TNI memiliki sarjana strata-2 dan strata-3. Bukan hanya dibidang ilmu sosial, melainkan juga ilmu-ilmu teknik terapan. Misalnya teknis per-senjata-an, sampai teknik kimia untuk pembuatan amunisi. Boleh jadi kelak, ada jenderal yang memiliki ijazah S-3 teknik kimia nuklir.
TNI haruslah tetap bersama rakyat. Sebagaimana diamanatkan UUD pasal 30 ayat (2), menyatakan, “Untuk pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung.”
Menilik sejarah, TNI memang berasal dari laskar rakyat yang mencintai negaranya, ingin negerinya berdaulat. Tidak mengharap bayaran. Bahkan pada awal pembentukan, pangkat dan jabatan juga berdasarkan “kelas sosial,” selaras dengan ketokohan dalam masyarakat. Tetua adat, ulama dan guru yang masuk militer diberi pangkat cukup tinggi, menjadi komandan berbagai tingkatan. Karena sejarah azali-nya itu, TNI tergolong bisa cepat menyesuaikan kelembagaan dengan situasi civil society.
Kembali ke barak. Namun tetap intens mengikuti perkembangan politik walau tidak berpolitik. Jargon pada hari jadi TNI ke-69 “Bersama rakyat TNI kuat,” terasa elok. Jargon tersebut sejak lama (bulan Ramadhan) sudah terpampang di jalan keluar dari bandara Juanda. Entah mengapa menjelang hari jadi-nya, pesan jargon dibalik (menjadi “bersama TNI rakyat kuat”). Padahal seluruh negara di dunia meyakini kekuatan militer bergantung pada banyaknya rakyat, dan kecintaan rakyat terhadap militernya.
Kembali ke barak, memang sangat menyenangkan. Namun akan lebih menyenangkan manakala tentara bergaul di tengah masyarakat. Sangat mungkin, perwira TNI akan “dihargai” bagai pesebakbola profesional. Diberlakukan bagai selebriti. Walau rakyat (melalui negara) belum dapat menjamin kesejahteraan TNI. Dukungan rakyat akan lebih menjamin terwujudnya amanat UUD, yakni TNI yang bertakwa, cerdas, kuat, dan enak bergaul.
——————- 000 ——————–