Bersih Politisasi Agama di Abad Ke-2

NU dan Demokrasi

Oleh :
Ali Mursyid Azisi
Pengurus Asosiasi Penulis-Peneliti Islam Nusantara Se-Indoensia (ASPIRASI) PW LTNNU Jawa Timur, Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Ampel, Surabaya.

Keberhasilan Nahdlatul Ulama yang turut mengawal proses kemerdekaan bangsa Indonesia menjadi bukti sejarah, bahwa NU berjalan beriringan dengan negara. Perjuangan NU dalam menegakkan keseimbangan maqasid al-syariah secara kontekstualis dalam menghadapi tantangan di setiap jamannya tidak berjalan mulus.

Seperti masa penjajahan, para Kiai NU menggembor semangat para santri untuk memperjuangankan kemerdekaan dan menanamkan semangat nasionalisme. Lalu tahun 60-an G30 S PKI yang ramai terjadi pembantaian Kiai NU, para Nahdliyyin berupaya menghadapi masa itu dengan tegas.

Masa Gus Dur yang kental dengan upaya memperjuangkan hak-hak kaum minoritas agama lain, dan permasalahan sosial kemasyaakatan di setiap dinamikanya berusaha direspon.

Lalu memasuki abad kedua NU, gerakan penyelenggaraan Religion of Twenty dan Muktamar Internasional Fiqih Peradanan 1 yang diinisiasi Kiai Yahya Cholil Staquf (Ketum PBNU) pun mendapat pertahatian dunia tentang eksistensi dan peran NU terhadap isu global.

Citra NU sebagai organisasi kemasyarakatan-keagamaan yang pada umumnya masuk pada kalangan tradisional / pedesaan acap kali dipandang sebalah mata. Terlebih jika dibandingkan dengan organisasi lain yang lebih modern dan lebih condong tinggal di wilayah kota menjadikan kalangan Nahdliyyin sendiri minder. Akan tetapi, sebenarnya NU dari dulu sejak pertama kali didirikan dan hingga sekarang di memiliki potensi besar atas pengawalan keberlangsungan proses bernegara (demokrasi).

Dibuktikan tahun 2010-an atas bangkitnya kelas menengah, waktu itu terjadi pergeseran atas persebaran demografis pengikut / anggota NU. Dalam sebuah survey oleh Alvara Research Center tercatat tahun 2014 sekitar 58,8 penduduk muslim dari 10 kota besar di Indonesia mengklaim bahwa mereka jamaah NU.

Demikian menunjukkan terdapat penambahan kuantitas jamaah dan berpeluang untuk berkontribusi pada negara. Bangkitnya kelas menengah tersebut mengakibatkan kalangan Nahdliyyin diaspora, sekaligus di perkotaan. Demikian menjadi modal NU untuk mendapatkan kesempatan akses lebih cepat baik pendidikan, ekonomi, bahkan peroses mengawal demokrasi / ranah politik.

Adanya pengaruh masyarakat dan warisan budaya dalam tubuh Nahdlatul Ulama pun menjadi modal besar dalam perannya mengawal demokrasi. Aset penting yang harus ditingkatkan adalah Sumber Daya Manusia (SDM) Nahdlatul Ulama untuk disiapkan untuk menghadapi tantangan berdemokrasi, yaitu menentukan wacana agama vs negara atau bahkan Islam vs Pancasila yang kerap kali menjadi perbincangan di muka publik.

Gagasan-gagasan ciamik yang dikenalkan oleh tokoh-tokoh Ulama atas penerimaan terhadap Pancasila dan demokrasi menjadi modal besar dalam menumbuhkan semangat generasi muda NU. Banyaknya pandangan berbeda tentang kenegaraan Nahdlatul Ulama dengan organisasi lain berbasis keislaman acap terjadi. Dari sini NU menegaskan pada Muktamar di Situbondo tahun 1984, yang mana saat itu rencana penerapan Pancasila sebagai asas tunggal pada masa Orde Baru, bahwa NU sendiri justru mampu mendialogkan isi ruh Pancasila dengan visi-misi Islam.

Masa pasca reformasi, sistem demokrasi dipandang oleh Nahdlatul Ulama mampu mengatur hubungan antara rakyat dan negara berdasarkan nilai-nilai yang bersifat universal. Salah satu contoh kecilnya seperti pluralisme, kebebasan dan persamaan. M. Zainal Abidin dalam bukunya berjudul Perspektif NU tentang Negara Demokrasi di Indonesia (2018), mengungkapkan bahwa sistem pemerintahan di Indonesia harus dijalankan dengan sebaik mungkin, yaitu mengacu pada prinsip dasar kebebasan, kesetaraan, keadilan, dan musyawarah, akan tetapi harus tetap sesuai dengan pokok landasan Islam supaya tidak berbelok arah / disalahgunakan. Sekalipun model bernegara di Indonesia mengadopsi demokrasi, akan tetapi faktanya masih banyak upaya menggerogoti / mencederai identitas kenegaraan kita. Seperti halnya feodalisme, kasus korupsi, konflik kepentingan, dan ketidakseimbangan pemerataan ekonomi di berbagai wilayah.

Dampaknya rakyat masih mengalami krisis kesejahteraan, tersendatnya ekonomi, ketidakstabilan politik dan pelayanan publik yang kurang baik. Jika ditinjau dari The Legatu Prosperity Index tahun 2021 dan Democracy Index 2021: The China Challenge, dikatakan bahwa indeks kemakmuran dari suatu negara berkorelasi dengan tingkat demokrasi dari negara yang bersangkutan. Negara-negara yang tergorolong makmur menempati peringkat 20 teratas yang menggunakan sistem demokrasi secara penuh. Sedangkan tingkat indeks kemakmuran yang carut marut disebabkan karena negara-negara tersebut menggunakan sistem otoriter dan menempati posisi 10 terbawah.

Terlebih memasuki tahun pemilu, kerap kali terjadi pergesekan-pergesekan antar kubu politik dalam usaha memenangkan pemilihan Presiden, DPR, Kepala Daerah, bahkan di tingkat bawah sekalipun. Seperti menjelang tahun pemilu 2024, permainan politik identitas dan sosialisasi sejak 2022-2023 pun mulai digencarkan di berbagai lapisan masyarakat. Yang menjadi sorotan para pemerhati, akademisi, atau pun para Kiai NU yaitu munculnya benih-benih politisasi agama-NU, yaitu menggunakan alat agama sebagai senjata politik dalam meraup suara pemilu. Dalam konteks NU sendiri, tentu kalangan Nahdliyyin sendiri yang menjadi sasaran utamanya.

Pada kepemimpinan NU saat ini, Kiai Yahya Cholil Staquf menegaskan bahwa NU harus bersih dari politisasi agama. Secara tegas Kiai Yahya menyatakan demikian:

“Organisasi NU tak mau diperalat sebagai alat politik menjelang Pemilu 2024. NU tidak ingin terseret dalam kontestasi politik yang bisa meruncing ke tingkat tidak terkendali dan membahayakan organisasi. Berdasar sejarah, keterlibatan yang terlalu jauh, justru membuat NU terbelah. NU lebih concern terhadap proses pemilu, bukan hasilnya,” (instagram @nahdlatululama)

Pernyataan tegas Gus Yahya merupakan respon atas sejarah yang sudah terjadi, bahwa pada pemilu serentak tahun-tahun sebelumnya kental akan unsur politisasi agama dan Ulama. Beberapa kasus politisasi agama pun kerap terjadi menjelang pemilu, yaitu dengan menjual nama / simbol agama, ulama, dan memanfaatkan hari-hari besar Islam dengan dibarengi sosialisasi politik di dalamnya. Seperti kasus terpilihnya seperti Pilpres 2019 yang kental akan politisasi agama.

Melihat tubuh NU yang besar, maka permainan politisasi NU di tahun politik (pemilu) bisa saja dengan mudah terjadi. Sehingga dari sini mampu menarik perhatian masyarakat muslim untuk memilihnya terutama bumbu-bumbu ke-NU-an yang mampu menarik suara kalangan Nahdliyyin terutama di tahun 2024 mendatang. Maka himbauan dari Ketua Umum PBNU jangan sampai hal demikian terjadi. Harapan untuk tahun-tahun pemilu di masa mendatang yaitu ketika ingin berpolitik / terjun di dunia politik jangan membawa nama besar NU dan Kiai untuk kepentingan pribadi / kelompok tertentu untuk memenangkan suara pemilihan.

Kader-kader Nahdlatul Ulama yang terjun di dunia politik harus menyadari hal ini, bahwa jika demikian dilanggar / terjadi, maka berpotensi memunculkan keterpecahbelahan umat Islam di Indonesia, bahkan dalam tubuh Nahdlatul Ulama sendiri. Maka dari itu, di masa abad kedua NU kali ini upaya besar dalam merawat jagad dari keterpecahbelahan adalah kesadaran bersama yang tidak membawa identitas agama / atribut NU ke ranah politik praktis. Wallahu ‘alam bi al-showab.

———- *** ———–

Rate this article!
Tags: