Bersinergi Melawan Terorisme

Muhammad Aufal FreskyOleh:
Muhammad Aufal Fresky
Muhammad Aufal Fresky ( Mahasiswa S1 Program Studi Ekonomi Pembangunan Universitas Airlangga/  Ketua Komunitas Airlangga Menulis/ Aktivis HmI Komisariat Ekonomi Airlangga)

Beberapa hari yang lalu, negeri ini dikejutkan oleh bom yang meledak di jantung ibukota. Ledakan tersebut berada di sekitar Jalan MH Thamrin Jakarta. Sontak ledakan tersebut menyita perhatian publik. Ledakan tersebut ternyata merupakan bom bunuh diri yang dilakukan oleh teroris. Tidak hanya ledakan, aksi tembak menembak antara teroris dan pihak kepolisian juga mewarnai suasana yang mencekam kawasan tersebut. Setidaknya 7 orang meninggal dunia (5 teroris, 1 warga sipil WNI,  dan 1 WNA Kanada), 24 orang luka-luka, dan beberapa tempat hancur dikarenakan bom bunuh diri dan aksi tembak menembak tersebut. Lagi-lagi terorisme kembali menancapkan eksistensinya. Lantas apa yang harus dilakukan oleh bangsa ini ?
Aksi teror di kawasan Thamrin bukanlah aksi yang pertama kalinya yang terjadi di Jakarta. Jika dilihat dari kejadian teror di masa lalu, kejadian di Thamrin merupakan aksi yang ke sekian kalinya. Patut untuk dipertanyakan, motif dibalik aksi teror di ibu kota. Banyak pengamat muncul di media massa. Mereka memberikan pendapat dan analisisnya terkait kejadian teror tersebut. Sebagai orang awam, saya sendiri masih belum bisa menafsirkan secara jeli motif di balik kejadian tersebut. Karena motif terorisme sendiri juga beragama. Mulai dari motif ekonomi, politik, motif balas dendam, kegilaan dan sebagainya.
Pelaku terorisme sendiri terbagi dalam lima golongan: (1) gerakaan separatisme; (2) pembela ideologi tertentu; (3) dissident, yakni pihak-pihak yang melakukan teror untuk memperlemah posisi pemerintah atau menggulingkannya; (4) penganut fanatik kepercayaan/ sekte tertentu, dan (5) psikopat yang melakukan aksi teror untuk motif-motif kegilaan (madness). Umumnya kebanyakan pelaku menjadikan bangunan yang menyimbolkan pihak yang dianggap lawan sebagai sasaran. Teroris yang menjadikan AS sebagai musuh tentu akan menyerang tempat-tempat yang menunjukkan eksistensi AS, di mana saja, di setiap negara, selama di negara yang dijadikan ajang peperangan itu sendiri terdapat bangunan yang menyimbolkan kepentingan atau kekuasaan AS, termasuk Indonesia (Kompas, 16/1.2015).
Dari catatan di atas, kita bisa melihat bahwa motif dan pelaku dari terorisme sendiri sangat beragam. Tetapi media yang duganakan umumnya sama, yaitu bom bunuh diri. Menurut Medsen (2004), kelompok dan pelaku teror, terutama yang memanfaatkan bom bunuh diri, telah memperhitungkan benefit cost yang ada, melakukan pertimbangan dan analisis cermat berbulan-bulan hingga bertahun-tahun, serta melakukan riset terhadap obyek yang akan dijadikan sasaran. Bahkan, mereka juga melakukan pelatihan sejak dini bagi individu yang kelak akan dijadikan martir untuk meledakkan dirinya sendiri.
Kembali lagi terkait teror di Thamrin, bangsa ini seakan kembali diingatkan bahwa kewaspadaan dan sikap antisipatif sedini mungkin sangat diperlukan. Hal tersebut sebagai upaya pencegahan. Bahkan saya mendengar pernyataan seorang pengamat yang menyebutkan bahwa pihak keamanan kita kecolongan. Di balik kejadian itu, kita semestiya bisa kembali belajar dan mengevaluasi diri. Selain itu ini adalah sebuah momentum bagi segenap komponen bangsa untuk bersatu serta bersinergi melawan segala tindakan terorisme. Kita tidak boleh cemas dan takut menghadi ini semua. Presiden Jokowi pun menyatakan tidak takut terhadap tindakan teror.
Aksi simpatik dan solidaritas dilakukan oleh berbagai pihak dalam menanggapi kejadian tersebut. Berdasarkan catatan Litbang “Kompas” banyak kalangan yang menaruk simpati dan melakukan aksi terhadap ulah teroris tersebut. Di antaranya, Tagar #KamiTidakTakut di media sosial sebagai bentuk perlawanan terhadap aksi teror, aksi solidaritas dari gerakan #KamiTidakTakut. Aksi tersebut  merupakan bentuk solidaritas atas tragedi bom. Aksi ini mengajak warga Jakarta dan seluruh masyarakat Indonesia untuk bersama menghentikan gerakan terorisme. Selain itu, adapula aksi solidaritas mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surabaya, aksi damai para pelajar di bundaran HI, aksi komunitas “BicaraSurabaya”, dan lain sebagainya. Tak ketinggalan pula para pemimpin dunia juga memberikan dukungan kepada pemerintah dan rakyat Indonesia. Di antaranya yaitu, Malcolm Turnbull (Australia), Lee Hsien Loong (Singapura), Mohd Najib Tun Razak (Malasyia), dan Narendra Damodardas Modi (India).
Aksi solidaritas adalah bentuk rasa simpatik dan dukungan berbagai komponen bangsa dalam melawan terorisme. Hal tersebut sangat diperlukan untuk kembali membuat keadaan bangsa kembali tenang. Sebagai pembuktian diri bahwa bangsa ini tidak takut melawan ancaman para teroris. Persatuan dan kesatuan bangsa sangat dibutuhkan dalam menyikapi tindakan terorisme. Semua perlu bekerjasama dalam membangun sinergitas melawan terorisme. Mulai dari pemerintah, Polri, Ulama`, mahasiswa, LSM, dan seluruh komponen bangsa agar bersatu padu menjadikan terorisme sebagai musuh bersama yang patut untuk diberantas. Karena tindakan terorisme tidak hanya bisa berdampak pada kerugian materil, tetapi juga mengancam psikologis para korban, bahkan juga bisa mengancam nyawa manusia yang tak berdosa. Sekali lagi, mari kita bersatu dalam melawan kejahatan teroris. Hal yang paling penting lagi adalah bersinergi untuk mengantisipasi kejadian ini agar tidak kembali terulang, atau setidaknya diminimalisir.

                                                                                                    ——————- *** ——————-

Rate this article!
Tags: