Bertahan di Tengah Tantangan Modernisasi dan Pantangan Poligami

Eksotika desa wisata Penglipuran menarik pengunjung dari berbagai negara. Tampak wisatawan asing menyusuri jalan desa yang tersusun berundak.

Menikmati Harmoni Desa Wisata Penglipuran (Bagian – 1)
Kabupaten Bangli, Bhirawa
Keberadaan sebuah desa kecil di Kabupaten Bangli telah berhasil menarik perhatian dunia. Wisatawan domestik hingga mancanegara tertarik berdatangan untuk menengok keelokan sekaligus keunikan desa tersebut. Bersih desanya, ramah masyarakatnya, terjaga budayanya, dan yang paling penting, banyak spot foto yang instagramable untuk segera diunggah.
Terletak di Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, Desa Wisata Penglipuran menjadi magnet wisatawan dari berbagai penjuru dunia untuk datang berkunjung. Harmonisasi antara unsur budaya dan keramahan lingkungan mencirikan keunikannya. Ditambah kesejukan Kintamani yang tak jauh dari lokasi, melengkapi piknik ke Bali tak sekadar menikmati pantai.
Gambaran unik Penglipuran dapat dilihat sejak pintu gerbang masuk hingga pengunjung mencapai ujung desa. Disusun dari batu padas beratapkan bambu dan kayu dengan arsitektur tradisional yang khas. Tata ruang yang dibangun berdasarkan filosofi tri mandala, memperkuat aksen kultural dan spiritual warga desa setempat. Filosofi trimandala terbagi dalam tiga bagian, zona parahyangan, zona pawongan, dan zona palemahan.
“Penglipuran ini memiliki luas 12 hektar. Dari luas wilayah itu, kami memiliki zona parahyangan yang selalu dijaga atau disucikan. Di dalam pekarangan warga, zona parahyangan juga wajib ada dan harus dijaga,” tutur I Nyoman Moneng, ketua pengelola Desa Wisata Penglipuran.
Di desa tersebut, sebanyak 77 pekarangan menaungi 244 kepala keluarga dengan total penduduk sebanyak 1.038 orang. Masing-masing taat dengan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan kepercayaan yang diberlakukan sebagai adat. Menjaga kearifan lokal dan kelestarian lingkungan alam salah satu yang paling diutamakan.
“Kita mengenal konsep tri hita karana. Artinya menjaga tiga hal yang utama. Keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan alam,” tutur I Nyoman Moneng.
Kendati demikian, Moneng tidak membantah adanya tantangan modernisasi dari luar. Misalnya bangunan yang mulai terpengaruh sentuhan modern dengan penggunaan lantai keramik. Selain itu, privasi warga menjadi pertaruhan di tengah ramainya kunjungan wisatawan. “Kami menyadari bahwa privasi itu merupakan pengorbanan yang harus dilakukan warga dengan banyaknya para tamu. Itu bukan masalah selama tidak mengganggu secara prinsip,” tutur dia.
Kebiasaan menerima kunjungan tamu, membentuk karakteristik warga menjadi lebih terbuka. Hal itu sepanjang tamu yang datang tidak mengganggu kenyamanan. “Sebagai sebuah desa wisata harapannya pengunjung datang dalam jumlah banyak. Tapi banyak dalam batasan tertentu. Karena jika melebihi kapasitas akan dapat mengancam tatanan kehidupan di desa,” sambung I Nyoman Moneng.
Selain adat istiadat, kesadaran terhadap alam menjadi bagian penting desa ini. Karena itu, desa adat ini juga mendapat predikat sebagai desa terbersih. Di samping itu, desa ini juga memiliki hutan bambu seluas 45 hektar yang akan terus dipertahankan. “Kami berkomitmen bahwa hutan bambu tersebut tidak boleh dialihfungsikan,” ungkap Moneng.
Dalam konteks sosial, Penglipuran merupakan desa yang juga menjunjung tinggi kehormatan perempuan. Ekspresi itu diwujudkan dalam bentuk larangan poligami bagi warga desa. Jika larangan ini diabaikan, sanksinya akan tegas. “Menurut kami, perempuan itu patut dihormati dan kehidupan berumah tangga akan lebih mudah dilakukan dan membahagiakan jika poligami tida dilakukan,” jelas Moneng.
Di salah satu sisih desa tersebut, terdapat bagian yang disebut karang memadu. Warga desa menyebut, pekarangan tersebut adalah tempat bagi masyarakat yang melanggar aturan. Termasuk melanggar aturan poligami maupun poliandri. “Yang melanggar aturan akan dibuatkan rumah sederhana di karang memadu itu dan sebagian haknya akan dibatasi. Sanksi itu akan dijatuhkan setelah ada keputusan dari tetuah adat,” ungkap Moneng.
Sukses Penglipuran sebagai desa wisata juga telah mendapat berbagai pengakuan dan penghargaan. Di antaranya ialah Juara I Cipta Award 2013, Desa Wisata Juara II Tingkat Nasional 2014, 2017 Desa Wisata Standar ASEAN, Juara I Home Stay Tingkat Provinsi, Standar Homestay Asia, Green Destination Sustainable 2019 dan penghargaan Non Tourism sebagai Kampung Iklim.
Pendapatan dari tiket pada 2018 sekitar Rp 4,4 milyar dan meningkat Rp 4,7 miliar pada tahun berikutnya. Bahkan omset bruto mencapai Rp 20 miliar per tahun. Harga tiket berdasarkan Perbup Nomor 47 Tahun 2014 bagi wisatawan domestik dewasa Rp 15.000 dan anak-anak Rp 10.000. Sedangkan tiket bagi wisatawan mancanegara dewasa Rp 30.000 dan anak-anak Rp 25.000. Jika dilihat, jumlah kunjungan rata-rata per hari 800 dan mencapai 4000 wisatawan saat hari libur. Tiket dipegang langsung oleh pemerintah kabupaten. Nilainya, 40 persen diserahkan kepada desa dan 40 persen kepada pemerintah. Dana desa terbagi lagi, 20 persen digunakan sebagai dana operasional dan 20 persen untuk kas desa. Sedangkan home stay dipotong 20 persen untuk Desa Adat Penglipuran
Keberhasilan pemerintah setemepat mengelola Desa Wisata Panglipuran ini tak hanya menarik minat wisatawan. Sebab, Pemprov Jatim juga melirik pengembangan desa wisata tersebut untuk diterapkan dalam Desa Wisata Cerdas Mandiri Sejahtera (Dewi Cemara) sebagai salah satu unggulan Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa.
Plt Kepala Biro Humas dan Protokol Pemprov Jatim, Aries Agung Pawei mengatakan, Desa Adat Panglipuran mempunyai daya tarik yang luar biasa. Selain faktor budaya, desa tersebut juga tidak tergerus modernisasi meskipun dibanjiri turis dalam dan luar negeri. Masyarakat tetap memegang teguh prinsip hidupnya berdasarkan adat yang berlaku. “Desa Adat Panglipuran mempunyai daya tarik yang mendunia. Namun demikian adat istiadat dan budaya tetap terjaga,” ujar Aries Agung Pawei.
Di Jatim, lanjut Aires, banyak juga desa semacam itu. Namun, pamornya harus diakui masih tak setenar Panglipuran. “Kita ingin belajar pengelolaan desa adat menjadi destinasi wisata unggulan seperti di Bali bisa diterapkan di Jatim,” lanjut pejabat yang suka rafting tersebut. [Adit Hantana Utama]

Tags: