Bertuhan pada Layar

Oleh :
Thania Novita.

Murni tidak hanya membekas di otak mungil yang pada masanya hanya kugunakan untuk memenangkan permainan bekel bersama teman sebaya, tetapi juga di otak tiap makhluk yang pernah melihatnya. Bukan berlebihan, tapi kucing peliharaan Murni pun mengingat kebiasaan wanita rambut merah itu. Tiap kali Bambang (nama kucing) mendapati ponsel tuannya tergeletak begitu saja, dia akan menggigit tali ponsel dan membawakan Murni sembari mengeong seakan mengomel, “Kenapa kau tak memainkan ponsel seperti biasanya? Kau buatku merinding.” Bukan hanya Bambang, aku pun melakukan hal yang sama jika melihat Murni berjarak lebih dari dua meter dari ponsel.

Saat pertama kali bertemu Murni, kesannya sangat kuat. Alih-alih menjabat tangan, dia menghadapkanku pada kamera ponsel sembari menyapa ramah. Sejak awal Ibu memang telah mengingatkan bahwa akan datang kakak sepupu dari kota yang pengikutnya ribuan orang. Aku mempersiapkan diri sebaik mungkin (baik penampilan maupun perilaku), tapi saat dia datang, dia hanya datang sendirian.

Ada ekspektasi tinggi yang meluncur cepat saat membangun basa-basi awal dengannya. Kebiasaan Murni berbicara lebih banyak ke ponsel daripada ke orang-orang sekitarnya membawaku pada kesimpulan mutlak bahwa kami takkan cocok. Namun, Ibu selalu bilang bahwa manusia seperti bawang merah dan agar Murni dapat kukupas dalam, Ibu mengirimku tinggal bersamanya.

Tentu saja aku tahu bahwa alasan Ibu mengirimku sama seperti bawang. Semakin dikupas semakin buat mata perih, hingga aku menangis hampir tiap malam karena mengingat perjuangan Ibu di kampung menghadapi Bapak yang semakin ganas membahas tanah warisan. Saat itu, tanpa sengaja Murni terkupas. Aku mengenal sosok lainnya saat dia datang ke kamar dini hari hanya untuk memberikan pelukan atau teh hangat. Meskipun besoknya dia akan membuat status tentang perasaan sedih karena tak mampu menghiburku yang sudah dianggap adik sendiri.

Saat pertama kali menghirup polusi kota, kupikir akan menemui orang-orang seperti Murni. Memang benar, banyak sepertinya, tapi tak separah dia. Teman-teman di sekolah masih bisa meninggalkan ponsel saat belajar ataupun ke toilet. Keluarga Murni masih bisa meninggalkan ponsel saat makan ataupun tidur. Tapi Murni adalah kasus kecanduan. Saat tidur saja dia harus mendengar suara jangkrik dari ponsel, padahal di kampung suara jangkrik sering kali mengusik lelap Bapak. Lebih lucu lagi, buang airnya tak lancar jika tak menghadap ponsel. Sakau pernah dia alami ketika ponselnya dicuri tepat saat siaran langsung di pinggir jalan. Dia bercerita pada pengikutnya tentang peningkatan kriminalitas di kota dan sekejap ponselnya ditarik oleh orang asing bermotor matik. Dia tak bisa tidur, kesulitan buang air, meracau tak jelas, dan sering menangis tiba-tiba.

Benar kata Ibu, semakin lama tinggal seatap dengan seseorang, semakin aromanya tercium jelas. Bukan hanya aroma asam yang jelas tercium setelah Murni tak mandi beberapa hari saat ponselnya hilang, tapi juga aroma petrikor tercium ketika dia diam-diam menangis sendiri di gudang. Tentu saja menangis adalah hal yang biasa darinya. Sudah beberapa kali dia membuat status mengenai bulir air mata yang menetes setelah menonton drama atau terkena pecikan minyak. Tapi pemilik wajah glowing itu tak pernah menangis diam-diam. Semakin mendapat perhatian, semakin dia merasa indah air matanya hingga sering kali dipotret sebagai kenangan. Sayangnya, aku tak seinisiatif Murni. Alih-alih membawakan segelas teh atau diriku sendiri untuk disandari, aku malah pergi dan berpura-pura tuli.

Setelah insiden menangis itu, aku lebih peka melihat Murni dan hal-hal di sekitarnya. Bodoh memang, sudah setahun tinggal bersama, kesadaran akan kehidupannya yang sulit tak kupahami.

Dia pernah melepas cita-citanya sebagai dokter karena tak sepandai kakaknya. Setelah menikahi suami dokter dan membesarkan anak sebagai calon dokter, dia tak terasa dekat dengan cita-citanya, malah jauh. Tiap kali suami dan anaknya membahas pekerjaan mereka, dia disisihkan. Lulusan SMA tau apa, pikir mereka. Ketika dia ingin mempersiapkan makanan yang sehat untuk menyambut keluarga suaminya, dia malah dipermalukan karena menyajikan makanan hambar. Keluarganya tak pernah bicara padanya karena merasa tak nyambung. Bahkan dia pernah mengomeli Bambang karena tak pernah mengeong padanya, kecuali saat membawakan ponsel, tapi kucing itu sangat cerewet pada benda mati sekalipun.

Apa seseorang bisa kecanduan ponsel karena alasan-alasan seperti itu? Ibu melalui telepon bilang bahwa seseorang bisa saja kehilangan kewarasan karena kesepian. Perasaan bersalah seketika memojokku yang selalu menghindar saat Murni mencoba mengajak berbicara melalui siaran langsung, video, ataupun membahas topik tertentu di internet. Setelah kuingat-ingat, ribuan pengikutnya itu tak pernah muncul sekalipun. Apakah Murni sepanjang hari hanya menghadap ponsel karena tak ada seorang pun yang ingin menghadapnya?

Tugas dan ujian sekolah harus dikhianati oleh pikiranku yang lebih memilih mencari jawaban tentang Murni. Sehingga tak bisa kuabai saat tangis diam-diamnya terdengar lagi di dini hari setelah beberapa jam lalu dia gagal membujuk anak bungsunya yang hanya menginginkan kehadiran sang ayah untuk menerima penghargaan olimpiade. Akan lama jika harus memasak air dan menyeduh teh hangat, jadi Murni hanya kudatangi dengan bahu kosong yang siap menangkap wajah bengkak dan air matanya.

Sepanjang malam tenang dan berdebu itu, Murni bercerita sembari berbisik dan menahan sesenggukan. Agak sulit untuk menangkap ratusan kata darinya setelah kejamnya nyamuk dan debu memberi rasa gatal dan tidak nyaman luar biasa. Namun, dari situ pula kusimpulkan bahwa perasaan Murni tidak dibuat-buat. Dia tak terganggu bahkan setelah beberapa nyamuk terlentang kekeyangan mengisap darahnya. Kurang lebih, aku mengerti mengapa sebelum tinggal di kota Ibu menitip pesan untuk menjaga Murni, bukan sebaliknya.

Murni, pada pengakuannya, merasa tak dihargai oleh siapapun. “Jika sulit untuk mencintaiku, setidaknya bisakah mereka sedikit saja menganggapku ada?” Itu kalimat terakhir yang menyimpulkan seluruh perasaannya selama ini, sekaligus menjadi penutup pertemuan kami karena air matanya tak bisa mengalir lagi dan tenggorokannya juga sudah kering.

Cara pandangku ke Murni berubah drastis setelahnya. Aku lebih bisa menerima kebiasaannya yang memotret makanan sebelum makan atau melakukan siaran langsung saat kami sedang nonton film horor bersama. Namun, tak berlangsung lama hingga aku kembali berubah pikiran saat anak bungsunya demam tinggi dan kejang-kejang sementara yang ada di rumah hanya dua wanita yang tak punya pengalaman mengurus orang sakit. Panik, kami membawanya ke rumah sakit dengan mobil yang dikemudikan olehku. Hampir saja kubanting setir dan melempar Murni keluar saat wanita yang masih sempat berganti pakaian formal itu mengeluarkan ponsel dan merekam anaknya yang kejang sembari berdoa, “Tuhan, tolong selamatkan anakku.”

Makassar, 27 Januari 2022

———— *** ————

Tentang Penulis :
Thania Novita
Anggota Forum Lingkar Pena Sulawesi Selatan.

Rate this article!
Bertuhan pada Layar,5 / 5 ( 1votes )
Tags: