Bertumbuh di Kala Krisis

Oleh:
Wilda Kumala Sari
Peneliti RBC Institute A Malik Fadjar, Alumni Psikologi UMM

Pandemi Covid-19 berpengaruh pada kenaikan tingkat pengangguran di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, jumlah iklan lowongan pekerjaan di berbagai situs web mengalami penurunan tajam pada akhir 2020 dibanding tahun sebelumnya. Sebagai perbandingan, pada kuartal IV 2019 terdapat 34,4 ribu lowongan, sedang pada kuartal III 2020 hanya 11,4 ribu lowongan (BPS, 2020).

Realitas mengenai lapangan pekerjaan inilah yang membuat pesimis para fresh graduate dari berbagai perguruan tinggi. Setelah sebelumnya harus puas diwisuda secara online, selanjutnya mereka dihadapkan realitas lowongan kerja yang menurun. Status menjadi calon penggangguran pun menjadi tidak terelakkan.

Padahal, untuk para generasi milenial, lulus setelah bekerja merupakan momen penting untuk aktualisasi diri dan melanjutkan karir. Namun, jika peluang karir menjadi lebih sempit, para sarjana muda ini akan mulai mempertanyakan bagaimana nasib mereka di masa depan. Mampukah mereka berkarir sesuai keinginan atau justru akan menjadi kelompok yang menambah beban pemerintah karena menganggur..

Kebimbangan yang dirasakan para lulusan ini disebut quarter life crisis (QLC) atau pengalaman krisis seseorang di usia seperempat abad. QLC adalah kondisi individu yang mulai mempertanyakan arah dan kualitas hidup yang telah dijalaninya selama ini.

Anak muda yang mengalami QLC di masa pandemi lebih rentan stres dan depresi. Ketika mereka tengah dihadapkan pada dunia nyata yang menuntut kemampuan finansial secara mandiri dan kebutuhan aktualisasi diri, justru kesempatan yang ada menjadi sempit.

Akibatnya, alih-alih mampu melakukan hal produktif di usia muda, individu yang tidak mampu menghadapi krisis, hanya akan mengisi hari-harinya dengan keluhan dan kecemasan. Merasa apa yang dilakukan sia-sia dan tidak sanggup menghadapi realitas.

Tergantung Cara Berpikir

Beliefs atau keyakinan-keyakinan yang terbentuk dari cara berpikir akan sangat menentukan bagaimana sikap dan perilaku individu. Termasuk di dalamnya keyakinan atau cara berpikir terhadap diri sendiri. Jika individu memandang dirinya sebagai sosok yang merasa gagal dan belum memiliki pencapaian apapun, ia akan cenderung lebih cepat menyerah.

Ada dua respon individu dalam menghadapi krisis dan tantangan yang sedang ia alami. Pertama, individu yang memandang bahwa krisis dan tantangan merupakan sesuatu yang bisa memicu kegagalan. Kedua, individu yang memandang bahwa krisis dan tantangan merupakan proses pembelajaran dalam hidup mereka.

Jenis yang kedua itulah yang disebut dengan human qualities, yakni manusia yang tumbuh sesuai dengan usaha yang ia lakukan. Seberapa banyak kesulitan yang ia hadapi, sebanyak itulah kesempatan ia belajar dan berusaha mengoptimalkan potensi yang ia miliki.

Psikolog Carol Dweck juga menyebutkan bahwa jenis respon kedua tersebut termasuk kategori individu yang memiliki growth mindset, yakni individu yang terus mencoba memikirkan usaha-usaha apa yang perlu diperbaiki dan dilakukan untuk bisa mengatasi keadaan.

Beberapa individu akan menganggap bahwa saat berada di fase krisis ini, ia mulai menyadari berbagai kekurangan yang ia miliki, merasa tidak mampu dan tidak bisa mencapai karir yang cemerlang seperti yang lainnya. Faktanya, kekurangan dapat dijadikan patokan kita untuk terus belajar dan memperbaiki diri menjadi lebih baik lagi.

Sebagaimana dikatakan oleh Howard Garner, dengan konsep teori multiple intelligences-nya, bahwa individu yang berbakat dan cerdas adalah ia yang dapat mengindentifikasi kekuatan serta kekurangan yang ia miliki. Melalui hal tersebut, individu akan mudah memahami mana peluang karir yang cocok untuknya, dan mana yang perlu ia pelajari dan kembangkan.

Tidak ada tantangan berarti tidak akan ada perolehan. Kita tidak akan bisa mencapai kesuksesan, tidak bisa bertumbuh, tanpa melewati tantangan. Seperti halnya yang terjadi ketika individu mengalami QLC di masa pandemi. Saat bimbang memutuskan masa depan, dengan growth mindset, individu akan senantiasa melakukan berbagai usaha dan rencana untuk melewati fase krisis ini.

Sejak kecil, manusia dilahirkan untuk menyukai proses belajar. Termasuk untuk tantangan yang cukup sulit sekalipun seperti berjalan dan berbicara. Hal ini berlaku pula ketika dihadapkan dengan fase krisis seperempat abad di masa pandemi ini, individu bisa belajar untuk beradaptasi dengan dunia baru dan menciptakan inovasi.

Seperti belajar mengenai teknologi dan informasi yang ilmunya tersebar di berbagai media dan pelatihan online. Kebutuhan akan sumber daya manusia di bidang ini akan meningkat khususnya di era revolusi industri 4.0. Sehingga mempersiapkan diri untuk memiliki kemampuan di bidang ini, terlepas dari latar belakang jurusan yang dimiliki, menjadi mutlak untuk dilakukan.

Dapat pula dengan mencoba bisnis start up yang artinya membuka peluang pekerjaan untuk diri sendiri. Diawali dengan kritis mencari peluang bisnis dari setiap problem yang ada di masyarakat, kreatif menciptakan inovasi, serta belajar mengenai komunikasi dan branding di media sosial. Bisnis start up bukanlah hal yang tidak mungkin untuk dipelajari dan diwujudkan.

Terakhir, penting juga menjalin kolaborasi untuk memperluas jaringan. Tidak lagi menganggap bahwa dunia ini hanya diisi dengan kompetisi. Karena untuk bisa menghadapi tantangan, perlu saling membantu dan bekerja sama dalam menciptakan berbagai peluang dan kesempatan. Jangan ragu untuk mulai berkenalan dan berjejaring ke berbagai pihak.

Anak muda harus bisa memandang sisi positif yang sebenarnya dimiliki namun terkadang tidak disadari. Sudah sepatutnya optimis memandang tahun 2021 ini sebagai tahun pemulihan pasca pandemi. Semoga.

——– *** ——–

Rate this article!
Bertumbuh di Kala Krisis,5 / 5 ( 2votes )
Tags: