BI Jatim : 2016, Perekonomian Global Belum Menunjukkan Hasil

Gubernur-Jatim-Dr-H-Soekarwo-Hadiri-Pertemuan-Tahunan-2016-Bank-Indonesia-dan-Memberikan-Penghargaan-kpd-Perusahaan-Pelaku-Usaha-di-Hotel-Shangrila-Surabaya.

Gubernur-Jatim-Dr-H-Soekarwo-Hadiri-Pertemuan-Tahunan-2016-Bank-Indonesia-dan-Memberikan-Penghargaan-kpd-Perusahaan-Pelaku-Usaha-di-Hotel-Shangrila-Surabaya.

Surabaya, Bhirawa.
Perekonomian global selama tahun 2016 belum menunjukkan momentum perbaikan sebagaimana perkiraan semula. Pelemahan perekonomian global masih terus berlangsung, diikuti dengan harga komoditas yang masih rendah, serta volume perdagangan dan investasi global yang menurun. Fenomena ini semakin diperparah oleh isu proteksionisme perdagangan dunia serta pelemahan Global Value Chain, sehingga ekonomi global diprakirakan tumbuh sekitar 3,0% di tahun 2016, lebih rendah daripada tahun 2015 (3,2%).
Demikian, Ka BI Jatim Benny Siswanto saat di temui pada acara pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) 2016 di hotel Shangrila Selasa (6/12) kemarin.
Pada kelompok negara-negara maju, pemulihan ekonomi Amerika Serikat, Jepang, dan kawasan Eropa masih belum solid. Amerika Serikat yang diharapkan dapat menjadi motor pertumbuhan ekonomi global, belum menunjukkan perkembangan ekonomi yang signifikan, dan bahkan saat ini masih menanti kepastian kebijakan ekonomi pasca pemilihan Presiden di bulan November yang lalu. Demikian pula pemulihan ekonomi Eropa yang masih terhambat dan diwarnai ketidakpastian pasca referendum Brexit yang membawa Inggris keluar dari zona Ekonomi Eropa. Adapun ekonomi Jepang juga masih belum cukup kuat sebagaimana harapan.
Di pihak lain, tekanan perekonomian di negara berkembang mulai berkurang meskipun masih membutuhkan perhatian. Ekonomi Tiongkok tumbuh 6,6%, membaik ditopang oleh upaya konsolidasi dan penyesuaian sumber-sumber pertumbuhan ekonominya. Berkurangnya tekanan perekonomian juga tampak di Brazil dan Rusia. Namun di sisi lain, perekonomian India mulai menunjukkan gejala pelemahan.
Sebagaimana tahun sebelumnya, ekonomi global yang belum kondusif berdampak pada rendahnya harga komoditas global. Harga minyak dunia masih dalam tren menurun, sedangkan harga komoditas non-migas diperkirakan hanya sedikit meningkat dibandingkan tahun 2015.
Situasi ekonomi global tersebut juga mempengaruhi pasar keuangan global. Antisipasi kenaikan Fed Fund Rate, serta kondisi geopolitik di Timur Tengah dan Amerika Serikat telah meningkatkan ketidakpastian di pasar keuangan global, sehingga berdampak pada menurunnya aliran modal ke negara berkembang, yang diikuti dengan meningkatnya volatilitas perpindahan dana global.
“Di tengah dinamika ekonomi global tersebut, perekonomian nasional masih mampu tumbuh mengesankan dibandingkan dengan pencapaian negara berkembang lainnya. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2016 diprakirakan sebesar 5,0%, dengan inflasi yang terjaga pada level rendah di sekitar 3,0-3,2%. Tren permintaan domestik yang masih meningkat mampu mengkompensasi penurunan kinerja sektor eksternal.
Kemampuan perekonomian nasional dalam merespons perlambatan ekonomi global tidak terlepas dari konsistensi dan sinergi kebijakan Pemerintah dan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas ekonomi. Hal tersebut dicerminkan oleh inflasi yang rendah dan stabil, nilai tukar rupiah yang terkendali, defisit APBN 2016 yang berada dalam level sehat, serta industri perbankan dan sistem keuangan yang kuat. Stabilitas ekonomi yang terjaga dan risiko ekonomi yang terkendali tersebut juga memberikan basis keleluasaan gerak yang positif bagi pelaku ekonomi di tanah air.
Pemerintah juga semakin berkontribusi dalam meningkatkan keyakinan berusaha di Indonesia. Langkah tersebut ditunjukkan dengan pemberian stimulus fiskal yang besar, termasuk untuk belanja infrastruktur, serta upaya deregulasi dan debirokratisasi melalui berbagai paket kebijakan dalam rangka reformasi struktural.
Bank Indonesia dalam kiprahnya juga turut mendorong perbaikan permintaan domestik. Dalam setahun terakhir, Bank Indonesia telah melakukan pelonggaran kebijakan moneter berupa penurunan suku bunga kebijakan dan Giro Wajib Minimum (GWM) masing-masing hingga 150 bps, disertai dengan pemberlakuan BI 7-days Reverse Repo Rate menggantikan BI-Rate untuk memperkuat efektifitas kebijakan moneter dan mendorong pendalaman pasar keuangan. Kebijakan moneter tersebut juga disinergikan dengan kebijakan makro prudensial berupa relaksasi Loan to Value (LTV) serta peningkatan batas bawah GWM Loan to Funding Ratio (LFR).” Jelas Benny Siswanto, Kepala BI Jatim.
Sejalan dengan perekonomian nasional, pada tahun 2016 Provinsi Jawa Timur menunjukkan pertumbuhan ekonomi impresif dengan inflasi yang terjaga rendah. Ekonomi Jawa Timur di tahun 2016 diproyeksikan tumbuh sebesar 5,61%, lebih tinggi dibandingkan tahun 2015 yang tumbuh 5,44% terutama didorong oleh oleh peningkatan permintaan masyarakat dan investasi. Adapun inflasi diprakirakan terkendali di rentang 2,9-3,1%, terutama disebabkan oleh inflasi inti dan inflasi administered price yang relatif stabil.
Pencapaian pertumbuhan ekonomi tersebut merupakan cerminan kerja keras segenap pihak baik Pemerintah Daerah, maupun Bank Indonesia, pelaku usaha dan stakeholders lainnya. Kiprah Bank Indonesia tersebut diwujudkan dalam bentuk membantu penguatan perekonomian daerah melalui peran aktif di bidang moneter, stabilitas sistem keuangan, sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah.
Di bidang moneter, Bank Indonesia Jawa Timur melaksanakan fungsi sebagai strategic advisor bagi pemerintah daerah untuk mendukung perumusan kebijakan ekonomi daerah. Selain itu Bank Indonesia Jawa Timur berperan secara aktif dalam Tim Pengendalian Inflasi Daerah melalui berbagai kegiatan dalam kerangka strategis “GADIS REMO KANGEN”. Pengendalian inflasi tersebut juga didukung oleh pengembangan klaster komoditas strategis di berbagai daerah. Pengembangan UMKM, terutama industri kreatif, juga terus kami lakukan melalui bantuan teknis, pelatihan maupun fasilitasi usaha. Lebih lanjut, kami juga berkomitmen mendorong pemanfaatan potensi Jawa Timur sebagai regional ekonomi dan keuangan syariah terbesar di Indonesia.
Dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan, Bank Indonesia Jawa Timur melaksanakan Regional Financial Surveillance (RFS) dan menyusun Regional Financial Account and Balance Sheet (RFABS). Di sisi pengembangan sistem pembayaran, kami terus mendorong implementasi Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT), melalui fasilitasi terwujudnya penggunaan transaksi elektronik, serta meningkatkan inklusivitas daerah melalui peningkatan kualitas dan layanan sistem pembayaran. Sementara itu, dalam pengelolaan uang Rupiah, kami semakin mengintensifkan berbagai kegiatan dalam rangka Clean Money Policy.
Secara umum, perekonomian nasional menghadapi tantangan jangka pendek dan tantangan struktural domestik. Tantangan jangka pendek berasal dari pengaruh stimulus fiskal yang belum secara merata mampu menarik peran swasta untuk berinvestasi, Di sisi lain, pelonggaran kebijakan moneter melalui penurunan suku bunga kebijakan belum sepenuhnya ditransmisikan secara efektif dalam bentuk penurunan suku bunga kredit perbankan.
Sementara itu, tantangan struktural domestik berkaitan erat dengan beberapa aspek di sektor riil dan sektor keuangan. Di sektor riil, tantangan yang dihadapi khususnya terkait komposisi produk ekspor yang masih tergantung kepada sumber daya alam, kebutuhan akan ketersediaan pasokan energi dan penyesuaian harga energi yang mendorong daya saing industri, struktur pasar dan tata niaga perlu lebih efisien, dan peran industri pengolahan yang terus menurun.
Sektor keuangan juga memiliki beberapa tantangan besar yang perlu menjadi perhatian bersama. Tantangan yang mengemuka adalah struktur pembiayaan domestik belum beragam, struktur dana perbankan belum seimbang, pasar keuangan belum dalam, serta tantangan daerah dalam memperoleh sumber-sumber pembiayaan baru khususnya guna mendorong pembangunan infrastruktur sektor publik.
Upaya untuk mendorong peningkatan peran sektor industri disadari masih menghadapi tantangan yang cukup besar. Berdasarkan pendalaman yang kami lakukan dengan sejumlah pelaku industri besar, dunia industri dihadapkan pada berbagai tantangan, yaitu: (1) Kualitas SDM, produktivitas tenaga kerja, dan rigiditas pasar tenaga kerja; (2) Ketersediaan dan harga energi yang kurang mendukung; (3) Efisiensi logistik dan dukungan infrastruktur yang perlu ditingkatkan; (4) Kebijakan industri yang belum terintegrasi; (5) Struktur industri yang belum berimbang; (6) Perlunya peningkatan IKM dalam industri manufaktur; serta (7) Sumber pembiayaan industri yang masih terbatas diversifikasinya.
Adanya permasalahan struktural pada perekonomian global secara langsung mengimplikasikan bahwa kelesuan ekonomi global masih akan berlangsung dalam waktu yang panjang. Lebih lanjut, tantangan jangka pendek dan struktural domestik perlu dicermati agar dapat dilakukan upaya antisipasi berupa optimalisasi potensi dan penguatan resiliensi perekonomian nasional untuk mereduksi berbagai tantangan yang mengemuka.
Kami mencermati adanya beberapa potensi perekonomian domestik yang dapat menjadi basis untuk memperkuat perekonomian nasional. Pertama, tingkat kepercayaan dan keyakinan pelaku ekonomi yang tinggi terhadap pemerintah seiring dengan reformasi struktural yang tengah dilakukan oleh pemerintah. Survei yang dilakukan oleh Bank Indonesia juga menunjukkan bahwa kepercayaan dan keyakinan masyarakat terhadap kondisi ekonomi semakin meningkat. Selain itu, kepercayaan dan keyakinan pelaku ekonomi juga tinggi terindikasi dari proyeksi hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha triwulan IV 2016 yang menunjukkan sebagian besar pelaku usaha lebih optimis.
Potensi kedua, adalah sumber pembiayaan ekonomi yang besar, antara lain tampak dari keberhasilan program pengampunan pajak yang sampai posisi 25 November 2016 mampu mengumpulkan tebusan sebesar Rp94,89 triliun. Kondisi ini menjadi momentum yang kuat bagi pemerintah untuk mempercepat reformasi perpajakan di Indonesia dan diharapkan dapat diikuti dengan intensifikasi pajak guna meningkatkan peran pajak sebagai sumber pembangunan.
Potensi selanjutnya, yaitu keberadaan teknologi digital yang berkembang pesat. Teknologi digital untuk mendukung kegiatan sharing economy dan digital economy sebagaimana terlihat dari aktivitas financial technology (fintech) dan e-commerce, yang apabila dimanfaatkan dengan tepat akan dapat meningkatkan efisiensi dan mendukung kegiatan ekonomi domestik.
Ketiga potensi di atas diyakini akan semakin menggandakan dan memperkuat potensi yang sudah ada sebelumnya, yaitu Sumber Daya Manusia (SDM) dan Sumber Daya Alam (SDA). Jawa Timur sebagai provinsi yang memiliki jumlah penduduk terbanyak kedua di Indonesia atau memiliki bonus demografi, memiliki potensi yang besar dari sisi tenaga kerja untuk menopang produksi maupun dari sisi basis konsumen untuk mendukung permintaan domestik melalui konsumsi rumah tangga. Sementara itu, Jawa Timur juga memiliki potensi dari sisi SDA khususnya terkait ketersediaan energi yang termasuk tinggi bila dibandingkan dengan Provinsi lainnya di Indonesia. [ma]

Tags: