Bidak Catur: Kiai yang Berpolitik

Oleh:
Salman Akif Faylasuf
Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Penulis juga Wartawan di PT AULA MEDIA NAHDLATUL ULAMA
.

Menelaah relasi antara ulama dan pemerintah dari kacamata politik ini tidak bisa lepas dari konstalasi dan konspirasi politik global. Ideologi atau kepentingan politik apakah yang berada dibalik kedua pemain ini? Ketika kedua kepentingan ini bertemu, maka keduanya akan bersinergi untuk mencapai tujuannya. Tetapi ketika terjadi kontradiksi maka keduanya pasti akan saling menjatuhkan. Karena ulama khususnya di Indonesia mempunyai basis massa dan akar historis yang kuat.

Tak heran jika setiap perbuatan dan perkataannya berimplikasi pada stabilitas nasional baik politik, ekonomi pendidikan dan kebudayaan. Apalagi kiai yang aktif dalam ranah politik adalah representasi dari sebuah golongan atau kelompok tertentu dengan hidden agenda tertentu pula.

Mengapa demikian? Karena dalam peta politik global, tidak sedikit ulama yang menjadi pemimpin sukses dan membawa banyak kemajuan, bahkan lintas sektoral. Ini yang harus menjadi landasan kritis ketika mengkaji kiai dari sisi politik. Sayangnya, kadang sebagian kiai juga tidak betul-betul mengerti apa tujuan mereka berpolitik praktis yang memang menggiurkan siapapun di dalamnya.

Sisi positifnya adalah bahwa pergeseran pemikiran sebagian ulama yang aktif dalam dunia politik pada saat ini, tidak bisa dianggap sebagai sebuah dekadensi integritas moral para kiai dalam ranah politik. Karena, secara historis, peran kiai dalam proses kelahiran bangsa ini sangat vital, sehingga keberadaannya tidak bisa dihapuskan dalam percaturan politik di negeri ini.

Yang jelas, diantara karakter yang harus dimiliki ulama adalah kiblat pengetahuan, kearifan, kebijaksanaan. Bahwa mereka adalah orang-orang yang merupakan imam dan harapan umat serta mengedepankan kemanusiaan. Nabi saw bersabda: “Sesunggubnya perumpamaan Ulama di muka bumi laksana bintang-bintang yang ada di langit yang menerangi gelapnya bumi dan laut. Apabila padam cahayanya maka jalan akan kabur.” (HR. Ahmad).

Namun sebaliknya. Yang harus diingat oleh kaum santri dan masyarakat pesantren, bahwa dalam negara sekuler, biasanya politik lebih di dasarkan pada “Politik Machiavellis” yang ditulis dalam bukunya The Prince. Machiavelli mengajarkan bahwa: pertama kekerasan, brutalitas, dan kekejaman merupakan cara yang diperlukan penguasa; kedua, penaklukan total atas musuh-musuh politik dinilai sebagai kebajikan puncak; ketiga, dalam menjalankan kehidupan politik seseorang harus dapat bermain seperti binatang buas.

Itu sebabnya praktik politik sekuler merupakan homo homini lupus, manusia menjadi serigala terhadap manusia yang lain. Kasarnya, serdadu harus membunuh dan politikus harus menipu. Fakta politik seperti inilah yang menjadikan sebagian kalangan Islam tertipu hingga menyimpulkan bahwa politik itu kotor.

Lalu Bagaimana Jika Kiai Berpolitik?
Syahdan, konsep tentang kepemimpinan politik kiai selain karena memang interpretabel, juga diartikan sebagai perbincangan tentang peran agama didalam politik. Bagaimana nilai-nilai agama memancarkan pengaruhnya dengan sistem penafsiran seseorang atau sebuah komunitas masyarakat terhadap ranah politik yang dapat mempengaruhi sistem tindakan. Lebih dari itu, kebijaksanaan politik para penguasa terhadap perkembangan suatu agama.

Karena itu, sejumlah kiai mengambil peran untuk mengembangkan organisasi masyarakat NU misalnya secara politis. Aspek politis kepemimpinan kiai perlu diperhatikan karena mengungkapkan pola patronase hubungannya dengan masyarakat. Otoritas dan kekuasaan kiai dalam masyarakat menimbulkan asumsi bahwa pengaruh kiai tidak sebatas hubungan sosial saja, tapi juga dapat diterapkan dalam bidang politik.

Pengaruh kiai sangat jelas di kalangan umat Islam yang sering mengikuti langkah politik kiai. Tetapi, ketundukan umat Islam ini bukan tanpa reserve, karena mereka juga mempunyai prinsip-prinsip dasar yang digunakan untuk menguji. Misalnya, apakah langkah-langkah politik kiai bisa di benarkan secara agama.

Tentu dapat dibuktikan secara teoritis, bahwa peran kiai dalam membangun masyarakat dan menggerakkan aksi sosial politik anggota-anggotanya adalah sangat kritis. Ini karena kiai adalah tokoh pemimpin dalam masyarakat Islam. Ada hubungan yang sangat erat antara kiai sebagai patron dan para pengikutnya yang menjadi subordinat atau klien.

Pola atau patron dilihat sebagai sumber yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan materiil dan spiritual para pengikutnya. Pun, hubungan seperti ini sangat mengakar di kalangan penduduk desa Indonesia, dan sering dimanfaatkan untuk melayani kepentingan politik. Kenapa? Karena masyarakat dapat dengan mudah dimobilisasi hanya dengan memobilisasi lapisan patron yang lebih tinggi. Selain itu, perubahan apapun dalam sikap politik yang dibuat oleh patron akan menyebabkan perubahan serupa dalam sikap politik pengikutnya.

Peran penting kiai terletak pada keberadaannya sebagai pemimpin agama, sehingga pengaruh mereka mengakar kuat di masyarakat semenjak pemerintahan Hindia Belanda. Para kiai di Indonesia dulu pernah tergabung dalam partai Islam yang dalam beberapa kesempatan menentang kekuasaan pemerintah. Ini terjadi karena dasar mereka adalah mempertahankan umat yang komprehensif dalam melawan dunia luar yang sekuler.

Misalnya, dari perspektif pemerintah, kekuasaan kiai cukup kuat untuk mempengaruhi tindakan sosial politik masyarakat. Seperti di Indonesia, membutuhkan legitimasi kiai untuk melakukan hal-hal duniawi mereka, karena kiai telah memegang posisi penting sejak kedatangan Islam di Indonesia.

Tak hanya itu, hubungan antara kiai dengan masyarakat telah terlembaga melalui norma-norma patron klien. Pemerintah saat ini sadar bahwa posisi kiai yang begitu menentukan dalam mempengaruhi tindakan sosial politik masyarakat serta dalam membimbing mereka untuk menerima langkah-langkah tertentu.

Saat ini kiai telah mengejar strategi tertentu untuk mencapai cita-cita mereka. Pembentukan partai politik ( misalnya PPP atau NU) adalah indikasi bahwa mereka mempunyai cita-cita yang berbeda dengan pemerintah orde baru.

Berbeda ketika era Reformasi, para kiai segera berkonsolidasi untuk menciptakan kondisi masyarakat yang resah akibat krisis multi dimensi. Krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah terbukti ketika ada beberapa unjuk rasa terhadap pemerintah yang dianggap tidak bersih dan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Posisi kiai di pesantren dan keterlibatannya dalam organisasi kemasyarakatan seperti NU dapat menjadi seorang pemimpin nasional umat islam Indonesia. Pesantren adalah lembaga penting yang terkait dengan seorang kiai. Melalui pesantren seorang kiai membangun pola patronase yang menghubungkan dengan lingkungan sosialnya.

Secara umum kepemimpinan kiai terus berhubungan langsung dengan pemerintah. Kedekatan seorang kiai merupakan suatu hal yang dipandang penting dalam kehidupan sehari-hari mereka. Hal ini seolah membuktikan bahwa peran kiai sebagai seorang pemimpin maupun pengajar agama seringkali disertai dengan kepemimpinan pola pendekatan yang kharismatik.

Sebagai penutup, ulama pada dasarnya tidak harus melepaskan diri sama sekali dari dunia politik. Dalam hal ini, selama eksistensinya tetap membawa misi kemanusiaan (nilai-nilai emansipatoris) dan sebagai rahmatan lil alamin. Inilah ulama yang dirindukan umat dan bangsa keberadaan dan kiprahnya. Wallahu a’lam bisshawaab.

———- *** ————-

Rate this article!
Tags: