Bijak Menata Air

foto ilustrasi

Hujan sebagai daya pembangkit hidup flora dan fauna terasa kehilangan keberkahan. Ekosistem esensial resapan air semakin menyusut, ditandai dengan alih fungsi lahan, dan penebangan pohon makin masif. Musim hujan selalu menyebabkan banjir dan tanah longsor. Musibah bencana hidro-meteorologi semakin kerap terjadi seiring perubahan iklim. Cuaca ekstrem diperkirakan makin sering terjadi. Pada musim kemarau juga selalu terjadi kesulitan air.

Fenomena Bengawan Solo tak berair di desa Dukuh Kembar, Gresik (Jawa Timur). Seolah-olah menjadi misteri, air lenyap. Namun sebenarnya menandakan telah terjadi kerusakan parah pada hilir sungai terpanjang di Jawa itu. Bisa menimbulkan dampak bencana. Pada musim hujan membawa dampak banjir. Maka diperlukan aksi nyata bersama menjaga ketersediaan air, dengan melindungi ekosistem esensial, terutama tidak menebang pohon tegakan tinggi.

Hilangnya air, ternyata tidak tersimpan (meresap ke dalam tanah). Karena daya dukung kawasan hulu tidak mampu menyimpan air. Bahkan kemarau selama lima tahun terakhir menyebabkan kerontokan daun, dan ranting. Berdampak bencana kebakaran hutan dan lahan. Sampai dilakukan penyemprotan melalui udara dengan pesawat water bomber, berjuta-juta liter air disemprotkan. Juga rekayasa cuaca.

Seluruh dunia memulai aksi konservasi air, digagas United Nations Water. Badan Dunia yang mengurus sumber daya alam air, telah memulai kampanye ketersediaan air konsumsi sejak tahun 1993. Pada dua tahun terakhir mengusung tema “Water and Climate Change,” (Air dan Perubahan Iklim). Selaras dengan warning BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika). Bahwa ekstremitas cuaca akan lebih kerap terjadi.

Bisa setiap musim terjadi curah hujan ekstrem, lebih dari 150 milimeter per-hari. Menyebabkan banjir, dan longsor. Sedangkan musim kemarau di-ikuti peningkatan suhu harian ekstrem. Menyebabkan areal ladang retak menganga, dan seluruh sumber air surut sampai habis. Bisa berujung kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Maka diharapkan seluruh negara berpartisipasi dalam konservasi sumber air. Diantaranya menguatkan kawasan catchment area (area resapan).

Sebagai kantung air, catchment area wajib dilindungi dalam kesatuan ekosistem esensial (utama dan strategis). Terutama wadah air konsumsi, untuk minum dan masak. Namun seiring alih fungsi lahan, banyak sumber air, serta danau (dan air waduk) telah hilang. Pada musim kemarau tidak mampu mensuplai air. Kecuali wadah air yang memiliki ekosistem terjaga lestari. Seperti sumber air Umbulan di desa Umbulan, kabupaten Pasuruan (Jawa Timur).

Sumber air Umbulan telah dieksploitasi selama 100 tahun lebih. Bahkan sejak tahun 1915, pemerintah kolonial Belanda telah menjadikannya sebagai penyediaan air minum secara sistemik. Sampai saat ini Umbulan masih menjadi sumber air yang terbesar, dengan kualitas air terbaik di Indonesia. Masih layak diminum langsung setelah diciduk dari sumbernya. Berdasar penelitian fakultas MIPA Universitas Brawijaya, Malang, kadar PH (Power of Hydrogen) Umbulan sebesar 6,35. Serta memiliki kadar konduktifitas air sangat baik berdasar standar FAO.

Secara lex specialist telah diterbitkan payung hukum, berupa PP (Peraturan Pemerintah) Nomor 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Pada pasal 4 ayat (1) dinyatakan, “Pengelolaan kualitas air dilakukan untuk menjamin kualitas air yang diinginkan sesuai peruntukannya agar tetap dalam kondisi alamiahnya.” Serta dalam pasal 8 tercantum ketentuan baku mutu air minum.

Sumber air Umbulan kini telah memasuki penataan sebagai “mega-proyek” sistem penyediaan air minum (SPAM). Dengan debit sampai 5.000 per-detik, niscaya sangat diminati investor. Namun SPAM Umbulan masih perlu menata kepemilikan, dan tanggungjawab, terutama pelestarian ekosistem.

——— 000 ———

Rate this article!
Bijak Menata Air,5 / 5 ( 1votes )
Tags: