Bijak Mengkonsumsi Informasi

Oleh:
Rafyq Panjaitan
Alumni Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Ada dua dampak signifikan bagi kemajuan teknologi komunikasi-informasi yang hari ini sedang dinikmati Indonesia: memperkuat integrasi nasional atau malah memicu disintegrasi nasional. Akhir-akhir ini media sosial seperti kehilangan arah. Terutama menjelang, saat dan paska Pilkada DKI. Kita tidak lagi menemukan sebuah tulisan-tulisan yang menyejukkan, yang kita temukan hanya kicauan pengguna media sosial yang penuh kebencian disertai penyebaran tautan-tautan berita yang akurasi kebenarannya masih diragukan.
Tampaknya, fenomena semasif ini baru kali ini terjadi. Ada pihak yang mengaitkan ricuhnya perang hate speech(ujaran kebencian) di sosial media dengan panasnya suhu politik di ibu kota yang tak akan pernah surut.
Entahlah, yang pasti ini adalah ujian bagi peradaban demokrasi kita. Demokrasi yang telah kita rawat dan disepakati dengan susah payah sebagai asas dan landasan kehidupan bernegara tidak boleh dinodai dengan penyesatan-penyesatan dalam penyebaran informasi!
Negara harus cepat bereaksi, jangan sampai kebebasan berekspresi yang berlindung di balik ‘interpretasi kebebasan’ yang justru kebablasan merusak tatanan sosial bahkan menimbulkan pertumpahan darah.
Keterbelahan rakyat yang meluber akibat ‘Ahok effect’ menjalar kemana-mana. Perang urat syaraf terus terjadi hingga kini terutama di media sosial. Kaum Pro dan kontra semakin menjadi-jadi tanpa keraguan menyerang satu sama lain bahkan menjurus kepada hal-hal sensitif berbau SARA.
Tentu, di satu sisi kita menghargai kebebasan menyampaikan pendapat, tetapi suatu hal yang perlu diingat adalah dimensi penyebaran informasi akurat dan dimensi ‘ethics’. Jangan sampai informasi atau tautan informasi yang kita sebarkan menyinggung, menghina, mencaci sebagian pihak atau bahkan menyulutkan api amarah yang berbasiskan SARA (suku, agama, ras dan antar golongan).
Harus Bijak!
Teknologi informasi merupakan antitesis dari keresahan masyarakat dunia akan pentingnya mendapatkan informasi yang cepat dan tepat. Walhasil, proses menemukan teknologi terbaik dalam hal informasi (berita) terus berdialektika menemukan skema terbaik.
Teknologi informasi digital adalah jawaban yang hari ini dinikmati oleh umat manusia. Dengan adanya informasi digital, kerja-kerja jurnalistik menjadi mudah. Informasi yang dulu hanya kita temukan dari koran dan televisi saja, kini melalui smartphone semua informasi bisa diakses.
Dalam bahasa Thomas L Friedman ‘the world is flat’, melalui teknologi informasi dunia menjadi datar, tanpa sekat. Kejadian di berbagai belahan dunia bisa diketahui dengan cepat oleh masyarakat bahkan di daerah pelosok sekalipun. Kemajuan ini adalah anugerah yang harapannya tidak disalahgunakan untuk kepentingandevide et impera(memecah-belah)
Pengguna sosial media atau yang acapkali disebut netizen, di era teknlogi informasi ini dituntut untuk bijak dalam memfilter informasi. Pasalnya, informasi yang begitu deras tersebut bercampur aduk antara peristiwa atau kejadian yang sebenarnya dengan berita bohong, fitnah atau yang biasa disebut dengan ‘hoax’.
Kecenderungan masyarakat di negara dunia ketiga yang begitu reaksioner menyikapi informasi, membuat masyarakat begitu mudah untuk menyebarluaskannya (share) ke publik. Perilaku seperti ini harus dipikirkan ulang, jangan sampai agar kelihatan kaya informasi padahal hanya menyebarluaskan informasi yang hoax.
Sangat penting untuk berhati-hati dalam men-share segala informasi ke media sosial. Kasus Buni Yani adalah contoh kecil bagaimana pentingnya kehati-hatian dalam menyebarluaskan informasi. Dengan narasi atau transkrip yang ‘menurutnya’ sudah benar, ternyata membuat spektrum konflik yang tidak terduga. Karena setiap ucapan, informasi yang kita utarakan di media publik: bukan lagi menjadi milik kita, tetapi telah menjadi konsumsi publik.
Artinya, ketika kata-kata sudah terlontar ke publik, maka publik berhak mengkritisi, mendukung, menolak, menganggap tindak pidana dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, berhati-hatilah dalam menyebarluaskan informasi di media publik, seperti halnya media sosial.
Ada beberapa langkah yang perlu dipertimbangkan sebelum menyebarluaskan informasi ke tengah-tengah publik media sosial. Pertama: pastikan situs media tersebut terpercaya dan nyata. Media sosial seringkali menjadi sasaran empuk bagi kelompok kepentingan (interest group) guna melancarkan aksi propagandanya.
Tak perduli dengan simbol organisasi, yang terpenting informasi (bahan propaganda) menembus kepala netizen.Oleh sebab itu, penting untuk kritis pada sumber media yang memuat informasi tersebut, pastikan ia berasal dari perusahaan media ataupun organisasi terpercaya. Kedua: lakukan filterisasi pada isi berita. Salah satu poin penting dalam kode etik jurnalistik adalah ‘penyajian informasi yang berimbang’. Jadi, ketika kita mendapat suatu link berita, periksalah apa konten dan isi berita. Cermati penggunaan bahasa yang digunakan, apakah menggunakan bahasa-bahasa tendensius dan provokatif atau menggunakan bahasa yang sederhana namun jelas, tegas dan tepat. Periksa ulang data dan fakta yang disajikan.
Derasnya informasi digital yang menghiasi media sosial kita akan memuat berita bohong, fitnah dan kejadian yang sebenarnya. Fluktuasinya bahkan ‘bisa jadi’ lebih masif diisi dengan berita fiktif. Oleh sebab itu, netizen dituntut untuk benar-benar cermat dalam membaca berita/informasi di media sosial.
Ketiga: pikir matang sebelum menyebarluaskan informasi.Jika infomasi berisi kebencian pada suatu kelompok sebaiknya jangan disebarluaskan. Berita bernada kebencian bukanlah informasi yang layak kita konsumsi bahkan disebarluaskan. Karena seperti penulis sebutkan sebelumnya, bahwa membuat informasi yang ‘berat sebelah’ bukanlah ciri khas pekerjaan jurnalistik, itu adalah produkkelompok kepentingan (interest group) yang hendak memanfaatkan iklim media sosial.
Pembentukan badan siber nasional oleh pemerintah patut kita apresiasi. Melalui lembaga ini kita berharap dunia media sosial kita bisa jernih dari hasutan-hasutan subjektif dan disintegrasi bangsa dapat ditangkal.
Kondisi sosial kultural masyarakat Indonesia yang masih tradisional sebagaimana kata Emile Durkheim (1983) memiliki kesadaran sosial tinggi (solidaritas kelompok) jika telah terhasut dan tidak cepat diantisipasi, berpotensi menimbulkan huru-hara yang besar. Belum lagi tingkat pendidikan yang belum merata, juga menjadi penyebab betapa mudahnya masyarakat Indonesia digiring oleh opini.
Apalagi, Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan agama serta berbagai karakteristik unik lainnya di dalam masyarakat kita tentu sangat sulit untuk menyatukannya namun untuk memecah-belahnya sangatlah mudah.
Demokrasi bukanlah berarti bahwa setiap individu berhak untuk melampaui batas kenyamanan orang lain. Justru demokrasi menggariskan untuk saling menghargai perbedaan dan keberagaman. Anugerah Tuhan yang Maha Agung bahwa Indonesia dapat menikmati kemajuan informasi teknologi dengan begitu leluasa, kita sangat bersyukur Indonesia tidak seperti negara negara di dunia yang rawan konflik, seperti misalnya di Timur tengah.
Oleh karena itu, kita wajib melalui media sosial turut menguatkan integrasi nasional. Kerukunan di dalam negeri mutlak harus dijaga sekuat tenaga. Dengan bijak mengkonsumsi informasi dan tidak menyebarkan informasiberisi kebencian serta hoax, maka harmoni di negara yang majemuk ini menjadi keniscayaan. Semoga!

                                                                                                     ————– *** —————–

Rate this article!
Tags: