Biografi dan Karya Maulana Rumi

Judul    : Akulah Angin, Engkaulah Api
Penulis    : Annemarie Schimmel
Penerbit  : Mizan
Cetakan   :  1-2016
Tebal    : 172 halaman
ISBN    : 978-979-433-986-2
Peresensi  : Al-Mahfud
Penikmat buku, lulusan STAIN Kudus.
Selain menulis ulasan buku, juga menulis artikel dan esai yang dimuat di berbagai media massa, baik lokal maupun nasional.

Menarasikan kehidupan seorang maestro penyair sufi Maulana Jalaluddin Rumi (1207-1273) sekaligus menganalisis karya-karyanya jelas bukan perkara sederhana. Selain pengetahuan tentang sejarah hidup Rumi, orang harus memiliki kedalaman dan kepekaan terutama saat menganalisis syair-syair Rumi yang penuh dengan arti. Di buku ini, Annemarie Schimmel bisa dikatakan cukup mampu melakukan hal tersebut. Sarjana Jerman terkemuka ini tak sekadar menarasikan riwayat perjalanan hidup Rumi. Lebih jauh, pengkaji tradisi spiritual di Turki sekaligus pengagum Rumi ini menganalisis secara mendalam karya-karya Rumi–yang kemudian menggambarkan dimensi lahiriah dan batiniah seorang Rumi.
Schimmel menarasikan awal mula bagaimana Maulana Rumi tiba di Konya. Saat kecil bersama ayah dan ibunya, Rumi tinggal di Wakhsy, sebuah wilayah yang menjadi bagian dari kekuasaan Ghuriyyah. Ketika Rumi berusia lima tahun, Bahaudin Walad ayahnya, hijrah ke Samarkand. Wakhsy dikepung Khawarizmsyah yang hendak memperluas wilayahnya. Di karya-karya Rumi, Kwarizm, rumah masa kecilnya, muncul sebagai metafor yang menggambarkan kemiskinan spiritual (faqr), hati sang terpuji, dan rumah yang begitu indahnya (hlm 26).
Pada tahun 1231, Baha’i Walad, sang ayah meninggal dan Rumi menjadi penerusnya dengan mengajar teologi (kalam) tradisional. Selama tahun 1230 dan awal 1240, Rumi menjalani kehidupan sebagai seorang alim, mengajar, dan bermeditasi. Pada tahun 1244, ia bertemu seorang darwis bernama Syamsuddin Tabriz, yang kemudian menjadi sahabat dekatnya dalam mendalami tasawuf. Rumi bahkan menganggap Syams sebagai mataharinya. Dalam salah satu syairnya, Rumi menulis, Wajahmu bak sang mentari, Wahai Syamsuddin/Yang dengannya hati berkelana bagai cawan! (hlm 31).
Namun, suatu hari, Syams menghilang. Rumi sedih dan sangat merindukannya. Sejak saat itulah dia mulai berubah. Dia menjadi seorang penyair, mulai mendengarkan musik, bernyanyi, berputar-putar, selama berjam-jam. Setelah kepergian Syams, Rumi memerlukan kawan spiritual jiwa yang dapat diajak berbagi pengalaman. Kita pun sampai pada sebuah kisah yang konon menjadi awal mula munculnya inspirasi tari sufi (Sema) atau Whirling Dervishes (Darwis yang berputar-putar) yang dikenal luas hingga sekarang. Ketika Rumi berjalan-jalan di suatu pasar pandai emas, suara palu para pandai emas terdengar olehnya dan membuatnya ekstase. Dijelaskan, dalam berbagai miniatur karya para ahli hagiografi, tergambar sang penyair sedang membimbing tangan si pandai emas, Shalahuddin Zarkub untuk menari berputar-putar bersamanya di sepanjang jalan.
Menurut Schimmel, cerita tersebut memang benar, namun Shalahuddin sebenarnya sudah sejak lama menjadi teman Rumi (hlm 39-40). Dan sejak saat itu, Rumi mulai menulis beberapa puisi dengan nama pandai emas tersebut. Saat Rumi mengajar dan menulis, menyanyi dan berdoa, para siswanya mulai melakukan pendekatan terhadapnya agar menyusun suatu karya mistis Matsnawi. Suatu ketika, murid kesayangan Rumi, Hasamuddin Syalabi, meminta sang guru menulis sebuah puisi didaktik untuk kepentingan murid. Rumi kemudian membacakan delapan baris puisi pertama dari Matsnawi yang kemudian terkenal dengan “Nyanyian Seruling Buluh”.
Sama’ (Sema), musik yang diiringi dengan berputar-putar, menjadi bagian sentral dalam tarekat Maulawi sebab sebagian besar syair Rumi lahir berkat suara musik dan tarian berputar selama berjam-jam. Dalam “Kidung Seruling Buluh” tergambar kecintaan Maulana Rumi pada musik, Aduhai dengar seruling buluh, betapa ia mengaduh/dan betapa ia bertutur tentang pedihnya berpisah.. Seruling–yang diambil dari pohon buluh, menjerit-jerit karena kesepian dan mengungkapkan rasa rindunya untuk pulang; sebuah ungkapan pada dunia tentang rahasia-rahasia kemanunggalan primordial dan cinta abadi kepada Illahi (hlm 254).
Melalui karya-karya termasyhur Rumi seperti Diwan-i Kabir, Fihi Ma Fihi, Matsnawi-yi Ma’nawi, penulis menggali mutiara kehidupan dan pesan spiritual dari kedalaman pemikiran Rumi. Tentang Cinta misalnya, dalam pendahuluan Matsnawi, Rumi menulis, “Akal yang berusaha menjelaskannya adalah seperti keledai di dalam paya. Dan pena yang berusaha menggambarkannya akan hancur berkeping-keping”. Menurut Schimmel, Rumi sadar tak pernah dapat berbicara tentangnya (Cinta) dengan benar, tetapi segenap karyanya merupakan upaya untuk menjelaskan Cinta ini. Dalam sebuah syair panjang yang mengupas aspek-aspek Cinta, Rumi menyebutkan bahwa hingga Hari Kebangkitan pun, kita tak mungkin dapat berbicara secara memadai tentang wilayah Cinta, sebab, Mana mungkin mengukur samuderamu/dengan piring?.
Membaca buku ini di samping akan membuat kita lebih dekat dan mengenal sosok Maulana Jalaluddin Rumi, juga akan membawa kita berselancar dalam luasnya samudera pemikiran beliau. Ulasan penulis, Annemarie Schimmel, telah berhasil menghadirkan dimensi lahiriah dan batiniah Rumi, tanpa kecuali renungan-renungan mendalam tentang cinta dan kerinduan kepada Tuhan yang terkandung dalam puisi-puisi Rumi. Wallahu a’lam…

                                                                                                            ———– *** ————

Rate this article!
Tags: