Bioterorisme Penyakit Mulut dan Kuku

Oleh :
Sutawi
Guru Besar Agribisnis Universitas Muhammadiyah Malang

Setelah dinyatakan bebas penyakit mulut dan kuku (PMK) sejak 32 tahun lalu, wabah PMK kembali menyerang ribuan ternak sapi, kerbau, kambing, dan domba di Indonesia. Kasus PMK kali pertama ditemukan di Kabupaten Gresik pada 28 April 2022 sebanyak 402 ekor sapi potong terinfeksi PMK. Kasus kedua dilaporkan di Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Sidoarjo pada 1 Mei 2022 dengan jumlah ternak terinfeksi masing-masing 102 ekor sapi dan 595 ekor sapi perah dan kerbau. Sampai Kamis (13/05/2022) tercatat sebanyak 3.481 sapi terinfeksi PMK di Kabupaten Gresik, Sidoarjo, Lamongan dan Mojokerto dengan kasus kematian 54 ekor sapi. Kasus PMK juga terjadi di Kabupaten Aceh Tamiang Provinsi Aceh sebanyak 2.558 ekor dengan 13 kasus kematian. Kementan menetapkan Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Aceh sebagai daerah darurat wabah PMK. Sampai Rabu (17/05/2022) wabah PMK dikabarkan telah meluas ke Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Nusa Tenggara.

Sejarah PMK di Indonesia dilaporkan kali pertama terjadi di Malang tahun 1887, kemudian menyebar luas ke seluruh Nusantara. Melalui serangkaian kebijakan dan tindakan masif dan berkelanjutan selama satu abad, Indonesia berhasil mendeklarasikan status bebas PMK tahun 1986 melalui Kepmentan No. 260/1986 dan mendapatkan pengakuan dunia status bebas PMK dalam Resolusi Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (Office International des Epizooties, OIE) No. XI Tahun 1990. Ditjen Peternakan (2002) mencatat kerugian ekonomi Indonesia menangani PMK selama 100 tahun (1887-1986) mencapai USD 1,66 miliar (Rp 29 triliun). Pada tahun 2013 Indonesia menetapkan PMK sebagai penyakit hewan menular strategis (PHMS) yang harus diwaspadai dan dicegah. Indonesia dinyatakan bebas PMK tanpa program vaksinasi dengan Resolusi OIE No. XV Tahun 2019.

PMK merupakan penyakit hewan bersifat akut yang disebabkan oleh virus dengan genus Apthovirus dari famili Picornaviridae. Virus PMK terdiri dari tujuh serotipe yang secara immunologi berbeda satu sama lain yaitu: O, A, C, Asia 1, Southern African Territory (SAT)-1, SAT-2 dan SAT-3. PMK dikenal juga sebagai “airborne desease” (penyakit yang menyebar lewat udara) dengan jangkauan mencapai radius 10 km. Penularan PMK berlangsung melalui kontak langsung maupun tidak langsung dengan tingkat penularan mencapai 90-100%. Penularan PMK dari hewan sakit ke hewan lain terjadi karena adanya kontak langsung dengan hewan sakit, kontak dengan sekresi dan bahan-bahan yang terkontaminasi virus PMK, serta hewan karier. Penularan PMK juga dapat terjadi karena kontak dengan bahan/alat yang terkontaminasi virus PMK, seperti petugas, kendaraan, pakan ternak, produk ternak berupa susu, daging, jerohan, tulang, darah, semen, embrio, dan feses dari hewan sakit. Badan Kesehatan Hewan Dunia memasukkan PMK sebagai penyakit hewan paling berbahaya dan ada di daftar A, tetapi tidak bersifat zoonosis (tidak menular kepada manusia). Mortalitas sapi dewasa yang terinfeksi PMK mencapai 1-3%, sedangkan kematian anak sapi sebesar 50-60%.

Terdapat tiga faktor yang dapat dikaitkan dengan meledaknya kembali wabah PMK di Indonesia. Pertama, hilangnya asas keamanan maksimum. Keberhasilan Indonesia membebaskan diri dari PMK setelah 100 tahun adalah berkat penerapan kebijakan keamanan maksimum (maximum security) dengan memberlakukan sistem country based, yaitu hanya melakukan pemasukan/impor ternak dan produk ternak ke dalam negeri dari negara yang bebas penyakit PMK. Kebijakan country based ini kemudian diubah menjadi zona based menurut UU No. 18 Tahun 2009 dan perubahannya yaitu UU No 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Melalui kebijakan berbasis zona ini sangat dimungkinkan mengimpor produk ternak dari suatu wilayah (provinsi) di suatu negara yang memiliki zona bebas PMK walaupun status negaranya belum dinyatakan bebas. Tujuan kebijakan ini adalah memperluas sumber pasokan sapi/kerbau dan produknya, sehingga tidak bergantung pada Australia dan Amerika Serikat. Perubahan UU yang mengubah country based menjadi zona based dari asas maximum security menjadi minimum security tersebut sangat membahayakan baik secara ekonomi, kesehatan, maupun politik. Kebijakan tersebut berdampak langsung terhadap keberlangsungan kehidupan manusia, peternakan dan kesehatan hewan secara keseluruhan di Indonesia. Dalam perdagangan Internasional Indonesia berpotensi kehilangan statusnya sebagai negara yang bebas PMK.

Kedua, impor daging sapi/kerbau dari India. Indonesia membutuhkan sekitar 700 ribu ton daging (setara 4 juta ekor sapi) setiap tahun untuk memenuhi kebutuhan konsumsi 273 juta penduduknya. Produksi daging sapi dalam negeri hanya mampu memenuhi sekitar 500 ribu ton (setara 3 juta ekor sapi), sehingga 200 ribu ton (setara 1 juta ekor sapi) kekurangannya harus dipenuhi dari impor ternak sapi dan daging sapi. India, negara yang belum dinyatakan bebas penyakit PMK, merupakan salah satu negara asal utama daging sapi impor Indonesia. Nagendrakumari et al. (2009) menyatakan bahwa PMK endemik di India dan serotipe yang paling sering muncul adalah serotipe A, O dan Asia 1. Share impor daging sapi/kerbau beku tanpa tulang yang berasal dari India terus meningkat selama tahun 2016-2020. Pada tahun 2016 share impor daging sapi beku dari India sebesar 33,81% dari total impor daging sapi 116.761 ton dan terus meningkat hingga mencapai 51,91% dari total impor daging sapi 170.305 ton pada tahun 2020. Indonesia juga mengimpor daging sapi dari Brazil yang belum dinyatakan bebas PMK.

Ketiga, bioterorisme. Bioterorisme merupakan tindakan teror dengan menggunakan agen biologi untuk menyebarkan penyakit pada manusia, hewan, maupun tanaman. Aksi ini bervariasi, mulai dari penyebaran agen penyakit sampai kontaminasi pada produk makanan dan sumber air. Teror dengan agen biologi ini jauh lebih murah, mudah dan sangat efektif dibanding dengan senjata kimia atau konvensional. Bioterorisme pada hewan sangat efektif untuk membunuh secara massal dengan kerugian sosial ekonomi sangat besar. Pada tahun 2003-2004 Indonesia mengalami wabah flu burung (Avian Influenza, AI) yang menyebabkan 9,4 juta ekor unggas mati dengan total kerugian lebih dari Rp 10 triliun. Wabah PMK di Taiwan tahun 1997 memusnahkan 4 juta ternak dengan kerugian USD 6,6 milyar. Wabah PMK di Inggris tahun 2001 yang berlangsung tiga bulan menyebabkan pemusnahan 6,24 juta ekor ternak dengan kerugian sekitar GBP 3,5 milyar. Wabah PMK di Korea Selatan (2010-2011) memusnahkan 3,4 juta ternak dengan kerugian USD 2,78. Kerugian akibat wabah PMK di dunia selama 15 tahun terakhir rata-rata mencapai USD 1,5 milyar (Rp 22 triliun) per tahun. Naispospos (2020) memperkirakan kerugian ekonomi wabah PMK di Indonesia mencapai USD 761,3 juta (Rp 9,9 triliun).

——— *** ———–

Rate this article!
Tags: