Bisa (mulai) Ekspor Beras Tahun 2018

Penggunaan Teknologi Tanam dan Panen Padi

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior, Penggiat Dakwah Sosial Politik

Tanaman padi yang disemai mulai menghijau, tetapi pengharapan panen besar telah tergambar. Rata-rata petani telah menggunakan benih unggul, disertai teknologi pemeliharaan yang baik. Termasuk bertani dengan cara organik yang menghasilkan beras jenis premium (berharga mahal). Pemerintah (dan daerah) optimis, musim panen tahun 2018 menghasilkan lebih banyak. Kelebihan panen akan diekspor, memenuhi permintaan negeri tetangga.
“Minta apa pun saya beri,” kata Presiden Jokowi seusai acara pemberian penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara, di Balai Besar Tanaman Padi, Subang, Jawa Barat, Januari (2015) lalu. Presiden merasa malu, ketika ditawari beras oleh Presiden Vietnam. Tetapi dengan penerbitan Inpres impor beras, berarti merespons positif tawaran berbagai negara tetangga (India, China, dan Vietnam). Swasembada beras, sudah semakin nyata setelah tiga tahun usaha intensif.
Intensifikasi pertanian (beras), sebenarnya tidak sulit benar. Walau harus berpacu dengan alih-fungsi lahan. Banyak lahan pertanian tergerus kepentingan kapitalisasi modal. Berubah menjadi kawasan permukiman, dan kawasan industri. Termasuk berbagai proyek pemerintah. Antaralain tol yang menerjang lahan subur di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Padahal sudah terbit UU (Undang-Undang) Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Maksudnya, dengan regulasi itu, penyusutan lahan bisa direm. Tetapi pelepasan lahan pertanian (seolah-olah) tak dapat dihindari Boleh jadi, juga disebabkan harga pembebasan lahan yang sangat mahal. Petani kepincut. Setelah menjual lahan, petani beralih profesi menjadi pedagang, atau menggeluti pertukangan.
Berdasar catatan FAO (organisasi pangan yang dibawahkan PBB), Indonesia telah menempati peringkat ketiga penghasil beras terbesar se-dunia. Masih dikalahkan China, dan Vietnam. Namun, seperti China, panen yang besar masih belum mencukupi kebutuhan dalam negeri. Sehingga masih harus impor. Ironisnya, harga beras impor (asal Vietnam) lebih murah. Biaya produksi beras nasional ditaksir senilai US$ 0,369 (sekitar Rp 4.930,-) per-kilogram.
Teknologi Tepat Guna
Di China, harga produksi beras hanya US$ 0,331 (sekitar Rp 4.420,-). Serta di Filipina US$ 0,292 (sekitar Rp 3.900). Ketika di-ekspor, di negara tujuan (jika ke Indonesia) harga beras China sekitar Rp 6.500,- per-kilogram. Serta beras Filipina seharga Rp 6.100,-. Di tingkat pasar, ditambah Rp 2.000,- (ongkos transportasi dan keuntungan pedagang. Harga tersebut lebih murah dibanding HET (Harga Eceran Tertinggi) beras Indonesia, rata-rata sebesar Rp 9.450,-.
Salahsatu biaya paling besar produksi beras, adalah proses panen padi yang masih menggunakan tenaga manusia. Bisa meliputi lebih dari 30% hasil panen. Namun beberapa daerah (antaralain Jeneponto, Sulawesi Selatan), telah digunakan mesin diberi nama Combat. Nama ini berasal dari combine harvaster, merupakan kombinasi tiga fungsi sekaligus: menuai, merontokkan, dan menampi. Hamparan satu hektar sawah, bisa diselesaikan hanya dalam tiga jam.
Dengan mesin Combat, batang padi dipotong sudah berupa setara gabah kering giling (GKG). Ongkosnya sebesar 10% dari hasil panen, juga dibayarkan dalam bentuk gabah. Harga mesin panen ini sekitar Rp 170 juta per-unit. Namun sudah bisa balik modal hanya dalam sekali musim panen!Kelebihannya, faktor kehilangan saat panen dapat di-minimalisir. Petani memperoleh lebih banyak gabah, penghasilan lebih besar.
Sedangkan di Jombang, dan Mojokerto, beberapa kelompok tani menggunakan mesin derep (penanaman). Rice transplanter (mesin tanam padi) bisa dirakit sendiri oleh kelompok tani. Ada pula produk pabrik mesin (impor maupun buatan dalam negeri).Dengan menggunakan teknologi pertanian, ongkos berladang bisa dihemat sampai 20%. Sehingga biaya produksi beras bisa mencapai Rp 4.000,- per-kilogram. Di ujungnya, harga beras (medium) akan semakin murah.
Murahnya harga beras (di dalam negeri) niscaya mesti dijaga pada kalkulasi ke-ekonomi-an. Selama ini petani terbebani ongkos produksi yang mahal, sehingga indeks diterima (It) selalu lebih rendah dibanding indeks yang dibeli (Ib). Usaha ke-pertani-an tidak feseable, petani selalu tekor. Kerugian petani tergambar pada NTP (Nilai Tukar Petani) rerata nasional masih sebesar 105. Artinya, petani hanya menerima kelebihan sebesar 5%.
Padahal, NTP ditetapkan pada tahun 2012, sesuai dengan harga-harga pada tahun itu pula. Sedangkan inflasi selama lima tahun, secara akumulatif telah mencapai sekitar 27%. Jadi, untuk impas saja, seharusnya NTP telah mencapai 127. Bahkan benar-benar terancam bangkrut, manakala iklim mengalami perubahan ekstrem. Usaha ke-pertani-an tidak feseable. Sehingga petani (dan pedesaan) masih identik dengan kemiskinan.
Ekspor Beras Meluas
Karena tidak menguntungkan, usaha ke-pertani-an menjadi tidak populer. Hampir tiada anak-anak di desa bercita-cita menjadi petani. Banyak petani enteng saja menjual ladangnya, panen padi semakin terancam terus menyusut.Wajar Pemerintah pusat membuka keran impor beras dalam jumlah besar (berdasar Inpres Nomor 5 tahun 2015). Toh beras impor (asal Vietnam) lebih murah dibanding beras dalam negeri yang tidak feseable.
Maka gagasan penerapan teknologi tepat guna (sederhana). Ternyata pula, beberapa daerah malah ekspor beras. Berkualitas pula (beras premium)! Faktanya, beberapa daerah memang surplus beras, sekaligus tergiur harga jual yang lebih tinggi. Kawasan surplus beras, antaralain Banyuwangi, dan Sukabumi, diam-diam sudah impor beras. Bahkan di Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan, juga sudah ekspor beras.
Banyuwangi, misalnya, sudah ekspor beras premium sebanyak 100 ton per-tahun. Harganya Rp 10.500,- per-kilogram. Tujuan ekspor ke Malaysia, China, dan Eropa. Berdasar data Kementerian Pertanian, Indonesia akan mensuplai 20% kebutuhan beras Malaysia, atau sekitar 170 ribu ton per-tahun. Ekspor beras juga akan dikirim ke negara-negara kawasan Pasifik selatan (Fiji, Vanuatu, dan Samoa). Juga ke Papua Nugini.
Namun tidak mudah meng-ekspor beras (jenis premium). Perubahan cara bertani dari an-organik menjadi pertanian organik, memang cukup njelimet. Sertadiperlukan sertifikasi benih setalah uji-coba selama 4 musim tanam (setidaknya tiga tahun). Beberapajenis beras premium adalah, IPB3s, beras organik, dan padi jenis aromatik spesial lainnya. Seluruhnya berharga mahal di pasar internasional maupun dalam negeri.
Masih diperlukan sokongan fasilitasi untuk menghasilkan beras premium. Penerapan teknologi tepat guna (dan sertifikasi) pembiayaan cukup besar pada awalnya. Tetapi telah terdapat cara mudah. Tak lain, melalui DD (Dana Desa) yang ditransfer dari APBN ke setiap desa (melalui Pemerintah Kabupaten). BUM-Des (Badan Usaha Milik Desa) bisa menjadi lembaga pembiayaan pengadaan mesin panen dan mesin tanam padi.
Tak lama lagi, tanaman padi akan mulai menampakkan butir-butir yang ditunggu-tunggu. Total hasil panen 2017 lalu, menghasilkan sebanyak 68 juta ton gabah kering giling. Akan menjadi beras sebanyak 39 juta ton. Musim panen tahun 2018 (mulai Pebruari), diperkirakan lebih dari 70 juta ton gabah. Sedangkan konsumsi beras sekitar 35,584 juta ton beras. Dus, masih surplus beras sebanyak 3,5 juta ton. Tidak seluruh surplus bisa di-ekspor, karena tidak tergolong premium.
Namun setidaknya, impor beras (seharusnya) tidak diperlukan lagi. Presiden patut merealisasi janji, akan memberi apa saja. Terutama kepada petani. Pemberian paling berarti kepada petani, adalah subsidi benih dan pengadaan mesin tanam dan mesin panen padi. Yang benar-benar subsidi(bukan kalkulasi harga ke-ekonomi-an dan keuntungan BUMN).

——— 000 ———

 

Rate this article!
Tags: