Blackpink: Globalisasi dan Hemogenisasi Budaya

Oleh :
Najamuddin Khairur Rijal
Dosen Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Muhammadiyah Malang

“Ayah, Blackpink lho ada di Indonesia, sekarang.” Demikian tiba-tiba kata anak perempuan penulis, yang tahun ini usianya baru akan tujuh tahun. “Blackpink?” Segera dia melanjutkan, “Itu lho cewe-cewe penyanyi Korea yang sering ada di TikTok.”
Ilustrasi perbincangan ayah dan anak perempuannya di atas bermaksud untuk menggambarkan betapa budaya Korea Selatan dengan segala variannya telah menjadi tren yang digandrungi di Indonesia. Salah satunya adalah Blackpink, girl band kenamaan Korea yang eksis sejak 2016 dengan empat personelnya: Jisoo, Jennie, Rosé, dan Lisa.
Media sosial di Indonesia dalam beberapa hari ini memang diramaikan oleh perbincangan tentang Blackpink. Diskusi netizen di jagat maya menjadi heboh. Sebabnya, Blackpink menyelenggarakan konser di Indonesia, tepatnya Stadion Utama Gelora Bung Karno Jakarta (11-12 Maret).
Beragam aksi dan reaksi Blink, sebutan untuk fans Blackpink, bermunculan di media sosial. Bukan hanya netizen biasa, beragam pesohor juga membincangkan bahkan ikut meramaikan konsernya. Konser di Indonesia itu disebut-sebut sebagai konser dengan jumlah penonton terbanyak, dibanding tur Blackpink di berbagai negara.

Korean Wave
Bukan tentang Blackpink. Tulisan ini sejatinya tidak memiliki tendensi untuk membahas Blackpink dan Blink lebih jauh. Tetapi lebih dari itu, adalah tentang budaya Korea Selatan yang telah diadopsi, dinikmati, digemari, hingga dipuja-puji di berbagai negara, terkhusus Indonesia.
Masifnya penyebaran beragam varian budaya Korea Selatan di berbagai negara dikenal dengan istilah Korean Wave atau hallyu. Bahkan ada pula yang menyebutnya Korean Tsunami, untuk menggambarkan betapa popularitas budaya pop Korea (K-pop) menghempas begitu dahsyat para penggemarnya. Tidak hanya girl band, boy band, drama Korea (drakor), tetapi juga aneka makanan dan kuliner ala Korea dinikmati banyak orang, bahkan hingga produk kecantikan (skincare).
Korean Wave menunjukkan bahwa produk budaya populer Korea Selatan menjadi kekuatan tersendiri bagi negara itu. Dalam konteks nation branding, Korean Wave adalah instrumen bagi Negeri Gingseng itu yang menyebarkan nilai-nilai budayanya melalui soft power. Tujuannya, menaikkan citra positif terhadap negara. Korean Wave merupakan sebuah strategi ekspansi untuk meningkatkan perekonomian Korea Selatan, terutama setelah terjadi krisis di akhir 1990-an (Valentina dan Istriyani, 2013). Implikasi positifnya kemudian bukan hanya pada dampak ekonomi, pariwisata, tetapi juga pada aspek politik dan hubungan antar negara.
Korean Wave adalah power. Power yang bersifat lunak (soft power). Kekuatan bagi Korea Selatan yang mampu membuat orang secara sadar atau tidak sadar mengenal dan mempelajari Korea. Kekuatan yang mendorong jutaan orang di dunia secara sukarela belajar budaya, bahasa, dan mengenal aneka produk budaya Korea. Bukan dengan kekuatan militeristik yang koersif, bukan pula dengan paksaan dan moncong senjata. Tetapi dengan cara-cara persuasif lewat produk budaya populer, yang membuat banyak orang mengenal negara itu tanpa ia harus memperkenalkan dirinya.
Menurut Hendytami dkk (2022), beberapa faktor yang mempengaruhi penyebaran Korean Wave secara massal antara lain karena seperti sikap sopan yang ditunjukkan oleh idol atau artis Korea. Juga lirik lagunya yang terdiri dari campuran bahasa Inggris sehingga mudah diingat. Artisnya juga memiliki wajah yang rupawan hingga membuat penggemarnya begitu mengaguminya.

Globalisasi Budaya
Korean Wave juga adalah produk globalisasi. Globalisasi yang ditandai dengan revolusi teknologi informasi dan komunikasi melalui internet dengan beragam fiturnya adalah instrumen masifikasi budaya Korea. Dalam diskursus globalisasi, hubungan antara globalisasi dan budaya melahirkan tiga skenario. Dikenal dengan Triple H Scenario, yakni Homogenisasi, Heterogenisasi, dan Hibridisasi.
Heterogenisasi menunjukkan bahwa budaya dari luar (budaya asing) akan mengalami resistensi oleh budaya lokal. Hibridisasi menunjukkan adanya pencampuran budaya dari luar (budaya asing) dengan budaya lokal yang melahirkan produk budaya varian baru, sebagai pencampuran keduanya. Sementara homogenisasi menunjukkan bahwa budaya asing yang dari luar melebur dalam budaya lokal hingga menjadikannya diadopsi secara masif. Alih-alih direspons secara resisten, budaya luar itu diterima sebagai suatu hal yang tak dapat terhindarkan.
Korea Wave lewat aneka produk populernya menunjukkan adanya homogenisasi itu. Hari ini, para muda-mudi disebut tidak gaul jika tidak gandrung pada girl band, boy band, atau jika tidak menjadi penikmat drakor. Mereka belum keren jika belum mencoba kimbab, tteokbokki, ramyeon, kimchi, dan aneka panganan ala Korea lainnya yang seolah telah menyatu dengan lidah bercita rasa lokal.
Tentu tidak yang salah dengan euforia pada produk budaya populer Korea itu. Apalagi perkembangan globalisasi meniscayakan itu. Nyaris siapa pun tidak bisa menghindarkan dirinya dari persentuhan dengan aneka budaya Korea. Apalagi media sosial kita setiap hari menyuguhkan tentang itu.

Jangan Lupakan Budaya Kita
Tetapi jangan lupa bahwa produk-produk budaya lokal juga butuh perhatian. Jangan sampai generasi kita hanya mengenal Blackpink dengan aneka gerak tari-jogetnya, yang melahirkan komunitas Blink. Hanya menghafal lagu Bangtan Sonyeondan (BTS) dan Super Junior, yang melahirkan komunitas Army dan Everlasting Friends (ELF). Lalu kemudian lupa tentang kekayaan tari dan lagu daerah yang lahir dari produk tradisi Nusantara. Jangan sampai generasi kita hanya mengenal rasa aneka makanan ala Korea dan aneka rasa makanan negara lain, lalu lupa bahwa cita rasa aneka bumbu dan rempah Nusantara adalah tradisi yang terpelihara turun-temurun.
Bahwa selain gandrung terhadap budaya luar yang diekspor oleh proses globalisasi melalui fasilitas internet dan media sosial, generasi kita juga harus tetap melek terhadap produk budaya daerah dan lokal. Penikmat dan penggemar produk budaya lokal juga kembali perlu dihidupkan lewat komunitas-komunitas pemuda. Agar mereka tidak hanya mengenal Blink, Army, ELF, EXO-L, atau lainnya. Di sinilah tugas dan peran kita bersama. Kamsahamnida. Gamawo.

———– *** ————

Tags: